Sabtu, 19/10/2019 11:50 WIB
Melahirkan Generasi Sehat dan Cerdas dengan Model Layanan Kesehatan Berkelas
Oleh : Rizki Sahana
(Praktisi Homeschooling, Pemerhati Persoalan Perempuan, Keluarga, dan Anak)
Wacana sanksi dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bagi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang tidak patuh membayar iuran menuai kritik. “Kalau sanksi bagi peserta BPJS Kesehatan dikaitkan dengan hak untuk masuk sekolah, ini jelas sudah kelewat batas," kata Sukamta, Anggota Badan Anggaran (Banggar), melalui siaran pers pada Selasa (3/9) di Jakarta. Menurutnya, sesuai amanah konstitusi, pendidikan dan kesehatan merupakan hak dasar masyarakat.
Wacana tersebut adalah salah satu upaya merespon penyelenggaraan BPJS Kesehatan yang setiap tahun mengalami defisit. Laporan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan BPJS Kesehatan mengalami defisit karena diantaranya pemanfaatan layanan lebih tinggi daripada jumlah peserta, adanya perusahan yang mengakali iuran, status peserta aktif rendah, data peserta tidak valid dan persoalan manajemen klaim. Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan sejumlah praktik fraud (kecurangan) yang dilakukan, baik oleh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pihak pendukung, maupun penyelenggara yakni, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Melihat kenyataan penyelenggaraan layanan kesehatan yang penuh carut marut, maka anak-anak generasi tentu akan menanggung kerugian yang teramat besar. Tumbuh kembang mereka akan dipertaruhkan, baik fisik, mental emosional, maupun akal pemikirannya. Sebab, mereka bukan hanya kesulitan mengakses layanan kesehatan, namun juga akan kesusahan dalam mendapatkan pendidikan yang jelas sangat dibutuhkan seandainya sanksi pencabutan hak sekolah diberlakukan.
Lalu bagaimana bisa melahirkan generasi sehat dan cerdas dengan model layanan kesehatan yang penuh borok lagi menghambat akses belajar anak bangsa?
Tentu, mustahil kita mengandalkan model layanan kesehatan hari ini yang bertumpu pada konsep bathil yang diimpor dari Barat. Liberalisasi-komersialisasi layanan kesehatan sekaligus liberalisasi fungsi negara, jelas tak menghasilkan penyelesaian. Negara yang seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap penyelenggaraan layanan kesehatan justru berlepas diri dalam pengurusan hajat publik tersebut dengan semata berfungsi sebagai regulator bagi kepentingan korporasi khususnya korporasi BPJS Kesehatan. Sementara rakyat dibebani kewajiban membiayai layanan kesehatan berbasis asuransi yang sangat memberatkan.
Layanan semacam itu akan mengorbankan nilai kemanusiaan, bahkan lebih jauh mengancam nyawa jutaan manusia. Manusia tidak lebih sekadar dipandang sebagai obyek bisnis ketimbang makhluk mulia yang layak diperjuangkan. Sebab layanan kesehatan semata komoditas bisnis untuk meraih sebesar-besarnya keuntungan, bukan tanggung jawab periayahan (pengurusan) negara terhadap rakyatnya.
Berbeda dengan fakta layanan kesehatan berbasis industri dan kapitalisasi di alam demokrasi, Islam sepanjang sejarah emas penerapannya menyelenggarakan layanan kesehatan terbaik dengan dilingkupi atmosfir kemanusiaan yang sempurna. Negara hadir dan bertanggung jawab penuh serta secara langsung terhadap pemenuhan hajat layanan kesehatan gratis berkelas bagi setiap individu muslim maupun non-muslim. Sebab Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam telah bersabda, “Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al-Bukhari dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).
Apapun alasannya, Islam mengharamkan negara berfungsi sebagai regulator dan fasilitator yang memuluskan agenda hegemoni dan bisnis korporasi. Negara wajib memfasilitasi berbagai aspek layanan kesehatan demi mewujudkan standar pelayanan medis terbaik. Apakah aspek penguasaan sains dan keahlian paling mutakhir, ketersediaan obat dan alat kedokteran terbaik hingga gaji dan beban kerja tenaga medis yang manusiawi.
Semua itu bisa terwujud ketika negara mengadopsi Islam kaffah dalam mengatur seluruh urusannya, termasuk pembiayaan kesehatan berbasis baitul mal yang bersifat mutlak dengan sumber-sumber pemasukan baitul dan pintu-pintu pengeluarannya mengikuti ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan itu, niscaya negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk melaksanakan berbagai fungsi pentingnya, termasuk pembiayaan kesehatan generasi yang berkelas sekaligus antidefisit.
Dengan model layanan kesehatan semacam itu, maka melahirkan generasi sehat dan cerdas akan lebih mudah dilakukan. Terlebih, bangsa ini membutuhkan generasi berkualitas dalam jumlah signifikan untuk meninggikan kehormatannya di kancah peradaban global juga untuk mempersembahkan mutiara terbaik investasi jariyah kehidupan yang kekal.**
Editor | : | Dakta Administrator |
Sumber | : | Rizki Sahana |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments