Rabu, 18/09/2019 09:40 WIB
UU KPK Hasil Revisi DPR dan Presiden Potensial Cacat Formil
BEKASI, DAKTA.COM - DPR dan Presiden telah mengesahkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pengesahan revisi UU KPK menabrak sejumlah ketentuan yang besar, dan kemungkinan menjadikan proses revisi UU KPK ini menjadi cacat formil.
Peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Ferdian Andi menilai proses masuknya revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR hingga pembahasan bersama DPR dan Presiden secara nyata telah mengabaikan partisipasi masyarakat. Partisipasi yang muncul dari publik melalui berbagai saluran tidak dijadikan bahan masukan oleh Presiden dan DPR dalam pembahasan draf perubahan UU KPK.
"Padahal, prinsip dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana rumusan di Pasal 5 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di antaranya adanya keterbukaan," papar Ferdian dalam keteranganya kepada Dakta, Rabu (18/9).
Ia menekankan, partisipasi masyarakat ini sebagai ajang "konsultasi publik" sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat 1-3 Perpres No 87 Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perlu dicatat, partisipasi masyarakat itu letaknya mulai dari proses penyiapan RUU, pembahasan RUU hingga pelaksanaan UU.
"DPR dan Presiden mengabaikan elemen dasar dalam pembentukan perubahan UU KPK ini, yakni keterbukaan dan partisipasi masyarakat. Keduanya ibarat koin mata uang, tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya dalam pembentukan UU," ucapnya.
Sementara soal materi perubahan, kata dia, bisa saja tidak ada soal dalam konteks penyusunan peraturan perundang-undangan. Meski, dari sisi substansial materi sangat terbuka untuk diperdebatkan dan dimaknai sebagai bagian dari pelemahan KPK di satu sisi, tapi di sisi lain ada juga yang menilai sebagai penguatan KPK.
Dalam konteks ini DPR dan Presiden dapat berdalih materi perubahan merupakan bagian dari open legal policy (pilihan kebijakan pembentuk UU). Ini situasinya mirip dengan penambahan jumlah pimpinan MPR menjadi 10 orang atau perubahan mekanisme pemilihan Pimpinan DPR pada tahun 2014 lalu. Dengan kata lain, secara materi UU ini sulit dibatalkan di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ada baiknya, pihak-pihak yang keberatan dengan perubahan UU KPK ini dapat masuk melalui pintu pengujian formil, yakni menguji atas proses pembentukan UU ke MK. Satu poin yang dapat dijadikan pintu masuk tak lain adalah berkenaan dengan pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan UU baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusann atas RUU menjadi UU," kata Dosen di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ini. *
Reporter | : | Warso Sunaryo |
Editor | : |
- BP Haji: Sesuai Perintah Presiden, Sudah ada 7 Penyidik KPK yang dilantik menjadi Eselon 2 dan 1 orang lagi akan menjadi Eselon 1 di BPH
- Saudi Berencana Batasi Usia Jemaah Haji Lansia di Atas 90 Tahun pada 2025
- Kritik OCCRP, Pakar Hukum: Nominasikan Tokoh Korup Tanpa Bukti adalah Fitnah
- 5 Profil Finalis Tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024 Versi OCCRP, Jokowi Salah Satunya
- Akal Bulus BI, CSR Dialirkan ke Individu Lewat Yayasan, Ada Peran Heri Gunawan dan Satori?
- Promo Libur Akhir Tahun Alfamidi
- 85 PERSEN PROFESIONAL INGIN REFLEKSI DIRI YANG LEBIH INTERAKTIF
- ARM HA-IPB DISTRIBUSI 210 PAKET BANTUAN TAHAP 2 KE CILOPANG DAN PANGIMPUNAN, SUKABUMI
- Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12 Persen Berpotensi Perparah Kesenjangan Ekonomi
- KPK Sita Dokumen & Bukti Elektronik Terkait CSR Bank Indonesia
- Kemana Ridwan Kamil Usai Kalah di Jakarta?
- RIDO Batal Gugat Hasil Pilkada Jakarta ke Mahkamah Konstitusi
- Tinggalkan Anies, Suara PKS Makin Jeblok
- PEMERINTAH MASIH MENGABAIKAN ANGKUTAN JALAN PERINTIS
- Miftah Maulana Mundur dari Utusan Khusus Presiden Prabowo
0 Comments