Oleh, Chandra Purna Irawan, S.H.,M.H. (Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI & Sekjend LBH PELITA UMAT)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menyerahkan mandat pengelolaan lembaga antirasuah itu ke Presiden Joko Widodo. "Oleh karena itu setelah kami mempertimbangkan situasi yang semakin genting, maka kami pimpinan sebagai penanggung jawab KPK dengan berat hati, kami menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK ke Bapak Presiden," kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam konferensi pers, Jumat (13/8/2019)
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, saya akan memberikan Pendapat Hukum (legal Opini) sebagai berikut:
PERTAMA, bahwa dengan dikembalikan mandat, menurut pendapat saya tindakan pimpinan KPK terhenti, sehingga kewenangan tersebut telah kembali Presiden. Terkait pimpinan KPK yang baru, terbentuknya KPK adalah diantaranya untuk membantu Polri dan Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Apabila pimpinan KPK misalnya dari unsur Polri dan Kejaksaan, maka pertanyaannya keberadaan KPK apabedanya. Selanjutnya apabila unsur pimpinan KPK dari Polri dan Kejaksaan yang masih aktif diinstitusi tersebut berpotensi terjadi ‘konflik kepentingan’;
KEDUA, bahwa berkaitan Pimpinan KPK yang baru terpilih, mengutip pendapat Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai proses seleksi dan pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 seperti sebuah rencana besar. Menurutnya, terdapat catatan negatif yang dibiarkan berbagai pihak sejak tahap awal seleksi capim KPK hingga pemilihan Irjen Firli Bahuri pada Jumat (13/9). Masih menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) ini artinya, proses yang terjadi di Pansel Capim KPK, termasuk sikap politik Presiden Jokowi kemarin, dengan apa yang terjadi di DPR RI adalah sebuah proses yang seirama seolah menjadi bagian dari rencana besar. Terdapat calon yang tidak patuh pada peraturan terkait penyerahan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dan seleksi tersebut menurutnya tidak melibatkan atau tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat, terkait rekam jejak buruk di masa lalu. Salah seorang figur yang dipilih oleh DPR merupakan pelanggar kode etik, hal ini diambil berdasarkan konferensi pers KPK beberapa waktu lalu;
KETIGA, bahwa Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan Surat Presiden nomor R-42/Pres/09/2019 kepada DPR terkait revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam surat itu, Jokowi menugaskan Menteri Hukum dan Asasi Manusia dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR. Jokowi dapat dianggap turut setuju untuk melemahkan KPK dengan keluarnya surpres itu dan mengirimnya ke DPR. Sepatatutnya Jokowi dapat mencium ‘gelagat tidak baik’ dalam usulan revisi UU KPK oleh DPR. Namun dengan menerbitkan surpres itu, artinya Jokowi dapat dianggap tutup mata dengan kejanggalan yang ada;
KEEMPAT, bahwa terkait revisi UU KPK terdapat potensi pelemahan terhadap kedudukan dan kewenangan KPK, diantaranya kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum tidak lagi independen, sebab berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Para pegawainya pun menjadi bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tunduk pada peraturan kepegawaian pemerintah. Menghilangkan independensi KPK berarti membuka ruang terciptanya intervensi eksekutif dalam pengusutan kasus korupsi. KPK tak lagi leluasa menjalankan tugasnya sebab harus taat pada aturan dan kekuasaan pemerintah. Bisa jadi, ketika ada korupsi di tubuh pemerintahan, gerak KPK berpotensi menjadi sempit.
KELIMA, bahwa Usulan lain dalam materi revisi yang disetujui DPR adalah 1). Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi, Penyelidik KPK berasal dari Polri. Hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat Penyelidik dan Penyidik sendiri; 2). Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan Penuntutan Korupsi. Hal ini beresiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara 3). Penyadapan dipersulit dan dibatasi. Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Sementara itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya; 4). Pembentukan Dewan Pengawas. Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti: penyadapan, penggeledahan dan penyitaan;
KEENAM, bahwa masyarakat menilai dan mempertanyakan rezim Jokowi terhadap komitmen penguatan kedudukan dan kewenangan KPK serta komitmen terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Korupsi adalah kejahatan yang dapat dinilai lebih berbahaya dari tindak pidana teroris, karena dampak korupsi sangat luas, massif dan berkelanjutan;
Wallahualambishawab
IG/Telegram @chandrapurnairawan
Editor | : | Dakta Administrator |
Sumber | : | @chandrapurnairawan |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments