Ahad, 01/09/2019 13:30 WIB
Pencemaran Pertamina Makin Buruk, Pemerintah Diminta Carikan Solusi
JAKARTA, DAKTA.COM - Kondisi masyarakat korban pencemaran minyak di perairan Karawang semakin parah. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan setidaknya masyarakat pesisir, khususnya nelayan, di tujuh kecamatan terus mengalami kualitas penurunan kehidupan. Tujuh kecamatan yang dimaksud adalah Cibuaya, Tirtajaya, Pedes, Cilamaya Kulon, Batu Jaya, Pakis Jaya, dan Cilebar.
Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) tahun 2019 mencatat, lebih dari 1.200 keluarga nelayan terdampak pencemaran minyak ini.
Situasi di lapangan terkini menunjukkan sejumlah keluarga nelayan merasakan sesak napas parah, infeksi kulit, kepala pusing-pusing, dan batuk-batuk. Hal ini mereka rasakan sejak terjadinya pencemaran minyak yang telah sampai ke wilayah perairan mereka.
Sekjen KIARA, Susan Herawati menuturkan pada 28 Agustus 2019, ketebalan limbah di pesisir Desa Mekarjaya, Kecamatan Cibuaya mencapai 50 cm, hal itu menyebabkan masyarakat mengalami sesak napas. Terdapat salah satu korban yang mengalami sesak napas dan nyaris saja kehilangan nyawa.
"Artinya, limbah dari Pertamina ini sudah tidak lagi dianggap sebagai hal yang biasa, ini adalah kiamat industri bagi perairan Karawang. Salah satu korban yang terdampak adalah Ibu Taso, merupakan Perempuan Nelayan Desa Bangun Jaya. Ibu Taso mengalami gatal-gatal pasca desanya terdampak limbah Blow Up,” katanya dalam keterangannya yang diterima Dakta, Senin (2/9).
Selain dampak kesehatan, sektor ekonomi keluarga nelayan juga paling terpukul. Diperkirakan, 1.689 perahu terkena ceceran limbah. 5000 ha tambak udang dan bandeng yang dominan tersebar di 10 desa terpaksa dikeringkan untuk mencegah limbah masuk, juga 108,2 ha tambak garam gagal panen.
Sebelum ada pencemaran, nelayan tangkap bisa mendapat penghasilan rata-rata Rp.350.000/ hari. Perempuan nelayan pengupas rajungan Rp.70.000/ hari, sementara pemilik warung ikan bakar di kawasan wisata mencapai Rp.2000.000 / hari, kemudian nelayan bagan tancap rajungan dan udang berpenghasilan Rp.1000.000 / hari.
Di tengah persoalan pencemaran ini, pemerintah, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karawang menyatakan bahwa limbah menjadi berkah bagi nelayan karena mereka memiliki penghasilan. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Dinas Perikanan dan Kelautan Karawang, Bapak Abu Bukhori kepada salah satu media.
“KIARA mengutuk keras pernyataan dari Sekretaris Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Karawang, Bapak Abu Bukhori, semburan minyak ini bukan berkah tapi bencana besar bagi nelayan, perempuan nelayan, pesisir, laut dan masa depan bangsa. Seharusnya perkataan seperti itu tidak disampaikan di tengah perjuangan warga yang sedang berjuang membersihkan limbah dari lautnya,” ujar Susan.
Temuan di lapangan, tidak semua nelayan mampu dipekerjakan oleh Pertamina, terutama nelayan lanjut usia dan perempuan. Adapun yang telah direkrut, proses pekerjaannya mesti menunggu giliran.
Akibat tidak ada aktivitas perikanan, sejumlah Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sepi transaksi. TPI berubah menjadi tempat penampungan limbah. Seperti TPI Pasir Putih dan TPI Pantai Pelangi.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah yang semakin hari semakin parah.
“Kami menuntut pemerintah pusat untuk turun dan membereskan persoalan ini. Masyarakat terdampak semakin menderita akibat kecerobohan Pertamina,” tegasnya.
Tak hanya itu, Susan meminta Pertamina untuk segera membuka informasi kepada publik mengenai penyebab terjadinya kebocoran minyak di Perairan Karawang. Termasuk ketika pada tahun 2003 melakukan pengeboran sesmik di perairan Pasir Putih. Sebab, sejak aktivitas pengeboran tahun itu terjadi intrusi air laut. Hingga kini kondisi air berjarak sekitar 200 m dari bibir pantai menjadi asin, namun jarak ½ meter dari bibir pantai malah tawar.
“Lebih jauh, Pertamina harus segera melakukan pemulihan ekologis karena pencemaran telah menyebar sangat jauh ke Kepulauan Seribu. Di Karawang sendiri kawasan mangrove seluas 420 hektar telah tercemar,” pungkasnya. **
Reporter | : | Ardi Mahardika |
Editor | : |
- Hari Karantina ke-147, Barantin Terus Tingkatkan Perlindungan Keanekaragaman Hayati
- Aksi Tanam Sejuta Pohon Penyuluh Agama Kemenag Kabupaten Bekasi
- Petualangan Menegangkan: Menaklukkan Track Terjal Menuju Curug
- Inovasi Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi; Pemanfaatan Ulang Sampah (Puasa) dengan Pembangunan Sorting Centre Dan Eco System Advance Recycling (So CESAR)
- Produsen Kemasan Daur Ulang FajarPaper Ikut Serta Dalam Festival Peduli Sampah Nasional 2023
- HUT BSIP, Plt. Wali Kota Bekasi Gelorakan Semangat Menjaga Lingkungan Sehat
- Program Ketahanan Pangan Mengorbankan Lingkungan dan Petani
- Ridwan Kamil Akan Bangun Jalur Khusus Truk Tambang Akhir Tahun Ini
- Kendalikan Pencemaran Udara, DKI Gandeng Tangsel dan Bekasi untuk Uji Emisi
- Mikroplastik di Muara Sungai Menuju Teluk Jakarta Alami Peningkatan Semasa Pandemi
- Waspada, Cuaca Panas Ekstrem Bisa Sebabkan Risiko Kesehatan yang Cukup Mengkhawatirkan
- PP Pelindungan ABK Diterbitkan, ABK Penggugat Presiden: “Perjuangan Belum Berakhir!”
- Greenpeace Kritik Pemerintah Bungkam soal Kualitas Udara DKI Terburuk
- Keindahan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
- Warga Keluhkan Ada Polusi Udara, Kepala KSOP Marunda: Udara Tercemar Bukan dari Pelabuhan
0 Comments