Mau Dibawa Kemana Pendidikan Tinggi Kita?
DAKTA.COM - Oleh : Ayin Harlis (Narasumber Kajian Muslimah MQ Lovers Bekasi)
Tak hanya utang, kini impor pun jadi kegemaran. Bukan komoditas yang sedang kita bicarakan, tapi rektor perguruan. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir mengatakan perekrutan rektor asing akan mulai diumumkan ke publik tahun 2020. “Target tidak usah banyak-banyaklah di dua atau berapa selama 4 hingga 5 tahun ke depan sampai 2024. Bisa dua atau lima perguruan tinggi (yang dipimpin rektor asing),” ungkapnya (babe.news, 27/07/2019).
Rupanya, tak hanya rektor asing yang bakal jadi terobosan Menristekdikti. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan mendata nomor telepon dan media sosial dosen, pegawai, dan mahasiswa pada awal tahun kalender akademik 2019/2020. "Yang kami atur adalah jangan sampai dia menyebarkan radikalisme dalam kampus, intoleransi yang dikembangkan itu enggak boleh”, tuturnya. Kemenristekdikti berencana bekerjasama dengan BNPT dan juga BIN terkait menjaga kampus dari radikalisme dan intoleransi (republika.co.id, 26/07/2019).
Sebaliknya, Menristekdikti Mohamad Nasir mempersilakan para mahasiswa dan civitas akademika mengkaji paham Marxisme di lingkungan kampus. Selain paham Marxisme, dirinya pun mempersilakan mahasiswa melakukan kajian terkait Lesbian, Gay, Transgender, dan Biseksual (LGBT). Akan tetapi, kata dia, mengkajinya dari segi positif, contohnya mengenai dampak kesehatan ketika seseorang melakukan hubungan sesama jenis (tirto.id, 26/07/2019).
Kemana Visi Perguruan Tinggi Kita?
Tak cukup membebek pada standar asing dalam pemeringkatan dan pengelolaan perguruan tinggi, kini negara ini pun tak lagi percaya pada anak negeri yang prestasinya tak kalah mumpuni. Pemilihan rektor berkewarganegaraan asing tentu akan kembali pada standar prestasi pengelolaan perguruan tinggi internasional yang cenderung mengusung jargon toleransi dan multikulturalisme. Ditambah kriteria-kriteria pemeringkatan yang miskin visi.
Kalaupun ada visi, pasti visi ekonomi yang sejalan dengan kapitalisme global. Akreditasi internasional merupakan syarat mutlak harus dicapai oleh perguruan tinggi untuk menjadi world class university. Akreditasi internasional merupakan pengakuan terhadap universitas yang memiliki desain dan kemampuan mencetak lulusan berdaya saing tinggi secara internasional, daya saing meraup materi.
Ketiga manuver Kemenristekdikti di atas semakin menegaskan arah kebijakan perguruan tinggi ke depan. Aroma sekulerisme menyeruak menendang nilai-nilai religius Islam dengan labelling radikal. Hingga Menristekdikti perlu memantau akun media sosial semua dosen dan mahasiswa untuk memastikan kampus steril dari paham ini. Kajian-kajian mengenai Islam politik yang jelas-jelas berdalil dengan Al-Quran dan As-Sunah dikucilkan sebagai propaganda pemikiran tak ilmiah. Kalau kebenarannya tak terbantah, hanya akan dianggap wacana karena tak didasarkan pada pendapat tokoh yang mendunia.
Parahnya, pemikiran Islam politik hingga pembahasan dalil-dalil menyangkut pemerintahan dibilang benih radikalisme. Tak hanya itu, ajaran khilafah dianggap sama berbahayanya dengan konsep negara komunis ala ideologi marxisme. Sebaliknya, dukungan terhadap pemikiran-pemikiran liberal dianggap kemajuan. Kebebasan orientasi seksual menjadi fenomenal, diulas dalam berbagai kajian. Pelakunya tak boleh dicap kriminal. Padahal sudah nyata jadi sebab bencana sosial.
Dengan dalih kesepakatan pendiri bangsa, kita membekukan perubahan, hatta yang menuju kebaikan. Memberi stempel final pada ideologi sekuler liberal. Yang bercokol menihilkan agama sebagai penuntun akal. Bahkan institusi yang menjunjung tinggi berfungsinya akal terpenjara politik praktis kekuasaan. Kehilangan peran kritis. Kaya peneliti tapi miskin implementasi. Kaya retorika tapi tidak peka.
Fungsi Perguruan Tinggi dalam Islam
Islam menuntut perguruan tinggi memiliki tiga fungsi utama bagi sebuah negara. Pertama, perguruan tinggi dibangun di atas falsafah dan tradisi keilmuan yang bersumber hanya dari Aqidah Islam, sehingga lahir generasi berkualitas yang bermental pemimpin dan berintegritas Mukmin, dengan berbagai keahlian dan bidang kepakaran. Prinsip pertama ini nihil di sistem perguruan tinggi yang kita jumpai sekarang. Padahal kepemimpinan dan integritas mukmin dalam falsafah dan tradisi keilmuan wajib dibangun sejak pendidikan dasar.
Kedua, Perguruan tinggi hendaknya mampu membangun sistem penelitian dan pengembangan (litbang), yaitu kemampuan riset/penelitian yang terintegrasi baik dengan lembaga penelitian negara serta departemen-departemen pelaksana kemaslahatan umat. Ketiga, perguruan tinggi menyokong sistem industri strategis yang dimiliki dan dikelola mandiri oleh negara serta berbasis pada kebutuhan militer mutakhir dan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat (Fika Komara, 2019). Dua hal yang terakhir ini menjadikan kedudukan perguruan tinggi istimewa dalam peradaban Islam. **
Editor | : | |
Sumber | : | Ayin Harlis |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments