Rabu, 17/07/2019 08:58 WIB
Kesalahan Paradigma dalam Memandang Pendidikan
DAKTA.COM - Oleh: Sururum Marfuah Hash (Mahasiswa Institut Pertanian Bogor)
Isu mengenai Biaya Pengembangan Infrastruktur dan Fasilitas (BPIF) tengah ramai diperbincangkan dibeberapa kampus ternama. Pandangan atasnya pun beragam, ada yang setuju karena institusi butuh dana dan translokasi pembiayaan mahasiswa yang kurang mampu, dan ada pula yang tidak setuju karena tidak adanya transparansi penggunaan dana BPIF sehingga benar-benar mengkomersialkan pendidikan.
Menelisik lebih dalam mengenai permasaahan ini, maka sejatinya ada hal yang telah luput dari kita, yaitu kesalahan paradigma dimana pendidikan hari ini bukanlah hak, melainkan bisnis. Sekali lagi, bukan "hak", melainkan "bisnis". Kita terjebak pada kewajaran bahwa "pendidikan itu mahal", tapi melupakan subtansi pendidikan dalam negara yang sejatinya adalah "hak".
Ketika suatu negara telah menganggap bahwa pendidikan adalah bisnis maka negara menjadi abai atasnya. Padahal hak pendidikan sejatinya tidak hanya untuk yang kaya tetapi juga yang miskin.
Ketika pendidikan telah dijadikan sebagai bisnis, maka outputnya pun adalah untuk bisnis. Baik dari memenuhi tenaga kerja industri sampai kehebohan berbagai institusi yang diinstruksikan istana untuk menggenjot enterpreneurship.
Mahasiswa mau tidak mau harus menjadi gila "IPK" dibandingkan dengan gila ilmu dan adab? Karena orientasi sekolahnya adalah "bisnis". Siapa kalah bersaing, maka siap-siap terdepak karena bisnis hanya peduli soal pendapatan dan untung, bukan kualitas. Kalaupun berkualitas maka kualitasnya buat "bisnis", bukan "memperbaiki peradaban".
Tidak berlebihan kiranya jika saya berkata “Selamat datang di era kegagalan” atau yang biasa kita kenal dengan Failure Era, ketika teknologi maju, tetapi ketimpangan dimana-mana. Era ketika sistem kapitalisme telah membuat orientasi otak manusia adalah pada "uang dan uang". Era ketika sistem kapitalisme berhasil menjadikan manusia budak dari uang dan uang,
Posisi kita sama, yakni sebagai "korban" pada sistem ini. Baik itu kampus, negara, dan bahkan saya, dan Anda. Kita terjebak pada kubangan kotor yang telah menodai hakikat pendidikan yang sebenarnya, yakni untuk "memperbaiki peradaban", yakni dengan output yang tidak hanya puas dengan ilmu tetapi juga tinggi akan iman.
Kita perlu belajar dari bagaimana cara Peradaban Islam yang pernah berjaya hingga 13 Abad lamanya dalam memuliakan pendidikan karena dari pendidikanlah akan lahir manusia-manusia unggul yang bukan seperti indikator hari ini, yakni yang cerdas dan kreatif tapi semua kecerdasan dan kekreatifannya adalah untuk dirinya sendiri.
Sedangkan dalam perdaban Islam maka manusia unggul adalah yang cerdas dan kretaif dan semua itu dituntun dalam indahnya iman sehingga outputnya pun adalah orang-orang yang siap untuk memberikan perubahan di tengah-tengah peradaban. **
Editor | : | |
Sumber | : | Sururum Marfuah Hash |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments