Internasional / Asia /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 10/07/2019 19:50 WIB

Hongkong: 1 Negara Dengan 2 Sistem

Demonstrasi Ekstradisi (Foto/Hong Kong Free Press)
Demonstrasi Ekstradisi (Foto/Hong Kong Free Press)

CAMBRIDGE, DAKTA.COM - Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam mengumumkan pada Selasa (9/7/2019) waktu setempat, bahwa pemerintah Hongkong membatalkan upaya pengesahan RUU Ektradisi yang menuai kontroversi.

Sebelumnya, ratusan ribu orang memadati sejumlah jalan di Hong Kong pada Ahad (7/7), yang merupakan bagian dari gerakan protes lanjutan dalam menentang wacana kebijakan Pemerintah Hongkong terkait RUU Ekstradisi dimana individu-individu yang dituduh melakukan kejahatan tertentu agar dikirim ke daratan Tiongkok untuk diadili.

Banyak pandangan yang berpendapat, bahwa demonstrasi terkait RUU Ekstradisi ini adalah yang terbesar sejak 1997 ketika Pemerintahan Kolonial Inggris digantikan Oleh Pemerintahan Beijing, dimana satu negara memiliki dua sistem.

Salah satunya dari Direktur Ash Center for Democratic Governance and Innovation and Daewoo Professor dari Departemen Hubungan Internasional Harvard Kennedy School, Tony Saich mengatakan ketegangan dan keresahan yang dirasakan oleh masyarakat Hongkong akibat intervensi pemerintah Cina yang dinilai melanggar perjanjian Otonomi  Pemerintah Hongkong. Karena sejak 1997, masyarakat Hongkong memiliki perjanjian dengan Pemerintahan Cina bahwa mereka memiliki otonomi atau kewenangan mengurus negara mereka selama 50 tahun, yaitu tepatnya hingga 2047. Protes itu muncul untuk mempertahankan kedaulatan, hak demokrasi mereka yang hanya berlaku 50 tahun sejak 1997.**

Tony berpendapat, bahwa Apa yang telah terjadi, adalah upaya Cina untuk menunjukkkan otoritas atau kekuasaannya di Hongkong.

"Sejumlah peristiwa yang terjadi belakangan ini akan menentukan identitas masyarakat Hong Kong yang sesungguhnya," ujarnya.

 

Menurutnya, tentu itu telah menciptakan ketidakpastian tentang berapa lama kepemimpinan pemerintahan Beijing atas Hongkong, mungkinkah akan sesuai perjanjian, itu patut disangsikan.
 

"Akankah Pemerintah Cina menepati janjinya, tentu kepentingan ekonomi-politik menjadi salah satu faktornya," Pungkas Tony.**

Editor :
Sumber : The Harvard Gazette
- Dilihat 6351 Kali
Berita Terkait

0 Comments