Kamis, 20/06/2019 09:42 WIB
Di Balik Kelab Malam Halal Pertama di Saudi
DAKTA.COM - Oleh: Ayin Harlis (Narasumber Kajian Muslimah MQ Lovers Bekasi)
Kelab malam pertama yang rencananya dibuka di Arab Saudi Jumat, 14 Juni menjadi topik hangat. Kelab malam yang dibangun di tepi pantai Jeddah ini merupakan cabang venue White yang sebelumnya telah dibuka di Dubai dan Beirut. Pembukaan ini rencananya akan dimeriahkan oleh penyanyi Ne-Yo. Kelab malam yang mematok tarif tiket 500-1.000 Riyal Saudi itu akan melayani pengunjung mulai pukul 10.00 malam hingga 03.00 pagi (hot.detik.com, 14/06/2019).
Sontak warga Saudi riuh dengan kabar ini, termasuk warganet. Seperti biasa mereka melontarkan pendapat baik pro maupun kontra. Otoritas Hiburan Umum Arab Saudi (GEA) membantah memberi lampu hijau pembukaan kelab malam tersebut. Akun Twitter resminya mengumumkan, "Menurut informasi yang diberikan kepada GEA, acara (Project X) itu melanggar prosedur hukum dan peraturan yang berlaku, dan belum disahkan oleh badan tersebut."
Keriuhan pro kontra dibukanya kelab malan ini diprediksi akan menarik perhatian dunia khususnya negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia. Tentu saja mengingat sebagian Muslim menganggap Arab Saudi adalah negara Islam yang ideal dalam segala hal.
Nyatanya, banyak sekali fakta yang menunjukkan kontradiksi kondisi Arab Saudi dengan konsep ideal negara Islam yang digambarkan oleh ulama. Salah satunya bentuk kerajaan dan pewarisan kekuasaan yang diadopsi di negara Arab Saudi bukanlah konsep negara dan pemerintahan yang diajarkan Rasulullah SAW.
Termasuk yang dipertanyakan dalam konteks benarkah Arab Saudi adalah negara Islam yang menerapkan syariat Islam secara ideal adalah dibukanya “White Halal Nightclub.”
Kelab malam ini berani memasang label halal hanya dengan menjanjikan tidak menawarkan minuman beralkohol dan membatasi pengunjung hanya yang berusia lebih dari 18 tahun. Arabian Business melaporkan bahwa White Halal Nightclub hanyalah tempat seperti kafe dan lounge kelas atas di Jeddah. CEO perusahaan milik Addmind Hospitality Group, Tony Habre mengatakan: "Kafe White akan lebih mewah dengan dekorasi yang juga mewah."
Lagi-lagi nampaknya umat Islam akan dibuat kecewa dengan penyematan kata halal itu. Berdasarkan gambar yang diunggah detik.com dengan caption “Penampakan Kelab Malam Halal di Arab Saudi” kelihatannya tak akan jauh beda dengan kelab malam lainnya. Muda-mudi tengah asyik menikmati musik dengan lampu-lampu yang menarik. Bercampur-baur. Di antara wanita yang ada di sana, sebagian auratnya terbuka.
Islam telah menetapkan bahwa wanita hendaknya hidup di tengah-tengah kaum wanita, sedangkan seorang pria hendaknya hidup di tengah-tengah kaum pria. Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Nidzomul Ijtima’iy fil Islam membenarkan bahwa meskipun terpisah, memang Islam tetap membuka ruang interaksi laki-laki dan perempuan dalam memenuhi hajat hidupnya di ruang publik semisal perniagaan, pendidikan, pengobatan, dan da’wah. Adapun hiburan dan bersenda gurau lelaki dan perempuan yang biasanya dilakukan di kelab malam bukanlah interaksi yang diperkenankan.
Tak ayal, label halal patut diduga hanya strategi pasar perusahaan meraup pangsa pasar Arab Saudi yang menjanjikan. Label halal hanyalah pemanis agar kelab malam yang mereka gagas dapat diterima masyarakat Arab Saudi yang masih ketat dalam norma-norma pergaulan.
Lebih dari itu, umat Islam di manapun berada hendaknya mampu menyeleksi upaya-upaya modernisasi yang ditawarkan dunia global. Arab Saudi sendiri sedang getol menyuarakan modernisasi sejak Putra Mahkota Mohammed bin Salman menggawangi reformasi kerajaan yang konservatif.
Tak semua modernisasi merupakan adaptasi taraf hidup karena perkembangan teknologi. Bahayanya, sebagian modernisasi yang lain ditunggangi oleh upaya penyebaran tradisi kebebasan yang jauh dari tuntunan Islam.
Meski akhirnya pembukaan kelam malam White di Jeddah itu dibatalkan, patut menjadi pelajaran bagi umat Islam. Umat Islam sebenarnya telah mewarisi wasiat Nabi dalam melestarikan peradaban Islam di kancah dunia. Tidak lain warisan itu adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad yang telah membuahkan syariah. Hanya dengan syariah itu, umat dapat menilai suatu label halal dalam modernisasi itu hakiki atau majasi. **
Editor | : | |
Sumber | : | Ayin Harlis |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments