DAKTA.COM - Oleh: Pengamat Politik Ekonomi Indonesia, Ichsanudin Noorsy
Tiga tahun lalu saat berdiskusi di press room DPR dengan mitra bicara Ara Sirait (Kom XI) dan Azis Syamsudin (Ketua Banggar), Ichsanuddin Noorsy memprediksi bahwa perekonomian Indonesia mendekati lampu kuning.
Sejumlah wartawan yang secara subyektif berada di kubu Joko Widodo menolak prediksi ini. Akibatnya bukan debat sesama pembicara yangg menajam, tapi justru muncul serangan dari wartawan. Argumen saya sederhana. Pertama, pendekatan nilai tukar. Sepanjang reformasi, baik otoritas moneter maupun fiskal tidak mampu mengatasi keluar akibat masuk investasi porto folio. Nilai tukar juga sangat dipengaruhi oleh impor barang modal, barang-barang hajat hidup orang banyak seperti energi, beras, bahkan garam. Lebih parah lagi, juga impor tenaga kerja.
Benar bahwa impor ini tidak memengaruhi inflasi yang berada di kisaran 3,5%, tapi perhatikan dampaknya, harga-harga meroket. Ini berarti pukulan ganda, daya terpukul dan daya beli yang ada dinikmati oleh importir dan negara eksportir. Ini menggambarkan, kerentanan fundamental ekonomi makro.
Kedua, deindustrialisasi terus berlangsung. Maraknya bisnis kuliner menunjukkan pebisnis tidak mau pusing soal siapa dan dari mana barang yang diproduksi untuk dikonsumsi, yang penting tersedia. Ini rumus WTO, barang tersedia, harga terjangkau, kualitas memadai, dan dapat diakses. Dampaknya, perekonomian Indonesia miskin nilai tambah.
Ketiga, defisit transaksi berjalan yang terus menerus. Kini defisit itu mencapai 3% terhadap PDB. Sisi lain adalah defisit keseimbangan primer yang menandai APBN tidak mampu bayar bunga dan cicilan pokok sehingga membutuhkan hutang luar negeri. Walau kini defisit keseimbangan primer itu telah berubah, tidak berarti kinerja makro ekonomi membaik. Jelas target-target APBN 2018 tidak tercapai, kecuali pada pertumbuhan ekonomi.
Setahun lalu, kembali Pengurus Press Room DPR mengundang saya berdiskusi dengan mitra bicara Prof Hendrawan Supratikno (Kom XI PDIP), Johny G Plate (Kom XI Nasdem), dan Nurhayati Assegaf (FPDem). Lagi-lagi saya memprediksi, nilai tukar rupiah terhadp dolar AS akan tembus mencapai Rp15000.
Dua-tiga wartawan Press room DPR menyetujui yang saya indikasikan lewat pertanyaan mereka. Antara lain dari CNN Indonesia dan beberapa wartawan media online.
Dalam prediksi saya, dengan ambang batas Rp15000, otoritas moneter dan fiskal harus fokus. Pada 1998, misalnya, rupiah ambruk dan direspon dengan suku bunga tinggi, tetapi tidak efektif.
Kasus Turki yang liranya jatuh menunjukkan, perang ekonomi tidak mungkin dilakukan jika fundamental ekonomi rentan.
Turki mengandalkan ekspor alumunium dan baja. Turki pun meminjaman USD18miliar dari perbankan AS, dan belasan miliar dolar AS lain dari negara-negara industri. Tapi Turki berani menolak permintaan pembebasan saat ini juga atas pastur Andrew Brunson. Pastur ini menurut Presiden Turki Erdogan terlibat dalam kudeta gagal 2016. Selain itu Turki dinilai tetap berbisnis dengan Iran, mendukung Siria, dan menjadikan negaranya untuk instalasi nuklir Rusia.
Dalam bahasa yang lain, Turki memenuhi tantangan perang ekonomi AS dalam model dan strategi AS. Ini yang disebut perang ekonomi Turki dalam sistem sirkuit terbuka (open circuit system). Akibatnya Turki mudah dipukul.
Demikian juga dengan Indonesia. Walau tidak melakukan perang ekonomi, tetapi Indonesia menerapkan ekonomi terbuka nyaris 100%. Padahal ekonomi terbuka itu adalah medan awal perang ekonomi.
Maka, seperti yang disampaikan Paul Krugman, situasi abnormal akan terus berlangsung. Karena demikian seringnya situasi ini, maka yang abnormal menjadi normal. Ibarat orang berdiri tapi selalu sempoyongan. Ini berarti kita harus cermat mempelajari situasi. Kasus jatuhnya Presiden Mesir Hosni Mubarak dan Muh N Mursi, digulingkannya pemimpin Libya Kadhafi, berantakkannya Tunisia, divonisnya Qatar sebagai donatur teroris, amburadulnya Irak, dan konflik di Suria menunjukkan adalah mustahil menganut ekonomi terbuka atau globalisasi.
Kepada Menkeu Sri Mulyani dan Gub BI Agus D Martowardoyo pada seminar di PTIK 2017 saya mengajukan pertanyaan, jika POTUSA Donald Trump melakukan kebijakan proteksionis sebagai wujud deglobalisasi, kenapa Indonesia masih asyik dengan kebijakan pro global (neoliberal). Sayangnya tidak ada jawaban pasti.
Lalu orang pun mlihat keberhasilan RRC. Ini juga kita harus cerdas. Dunia sedang dihinggapi situasi volatile (rentan, gonjang ganjing), uncertainties (tidak pasti), complex (rumit dan sukar terstruktur), dan ambigue (bersegi banyak, nyaris tidak utuh berpola). Atau disingkat VUCA.
Siapa saja yang terlibat dalam situasi ini dan internalnya rapuh, maka pasti akan merasakan akibatnya. Karena panggung ekonomi global serta merta mengambil sikap menolak risiko dari kemungkinan risiko menular (risk of contagion).
Apakah Capres-Cawapres sekarang mampu memberikan resep pemulihan untuk Indonesia? Lagi di press room DPR dan di berbagai forum diskusi lainnya saya mnyampaikan, tergantung pada sistem dan pelakunya. Jika sistemnya seperti sekarang, Indonesia akan terus sempoyongan. Jika sistem berganti tapi pelakunya penghianat ekonomi konstitusi, Indonesia tetap akan menjadi sapi perah. **
Editor | : | |
Sumber | : | Ichsanudin Noorsy |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments