DAKTA.COM - Oleh: Dr. Adian Husaini
Tak diragukan lagi, dunia kini mengakui, Perguruan Tinggi memiliki peran penting bagi kemajuan suatu bangsa. Bahkan, bagi negara tertentu, Perguruan Tinggi menjadi alat penting dalam meneruskan dominasi internasional. Philip Coombs, mantan wakil Menteri Luar Negeri AS semasa pemerintahan John F Kennedy, menyatakan bahwa pendidikan dan budaya adalah “aspek keempat” dari politik luar negeri, disamping ekonomi, diplomasi, dan aspek militer. (Philip Coombs, The Fourth Dimension of Foreign Policy: Education and Cultural Affairs) New York: Harper and Row, 1964. Dikutip dari pidato Profesorial Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud di UTM, 2013, Islamization Of Contemporary Knowledge And The Role Of The University In The Context Of De-Westernization And Decolonization).
Dalam perspektif Islam, pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi sejatinya adalah pendidikan untuk orang dewasa. Nabi Muhammad SAW, sebagai pendidik terbaik, mencontohkan bagaimana dalam waktu singkat mampu mengubah bangsa Arab, dari bangsa tak diperhitungkan menjadi bangsa hebat di tingkat global. Bahkan, dalam beberapa tahun saja, Nabi saw mengubah masyarakat jahiliyah menjadi berbudaya ilmu, masyarakat pembelajar. Masyarakat Madinah dikenal haus akan tulis-menulis dan keilmuan. Tradisi miras dihapus dalam tempo singkat.
Rasulullah SAW ketika itu mendidik rata-rata adalah manusia dewasa yang sudah akil baligh. Rasul tidak memulai dakwahnya dengan mendidik anak-anak usia TK, meskipun tentu saja usia TK dan anak-anak adalah ‘usia emas’ untuk masa pembelajaran. Sebab, kualitas dan hasil pendidikan anak-anak pada akhirnya ditentukan oleh kualitas gurunya. Guru adalah orang dewasa dan merupakan produk pendidikan pada tingkat tinggi. Itulah kedudukan penting pendidikan pada peringkat tinggi, yang secara kelembagaan kemudian diwujudkan dalam bentuk Perguruan Tinggi.
Karena itu, betapa memilukan ketika didapati sejumlah Perguruan Tinggi menyalahgunakan fungsinya, dengan melakukan ‘jual-beli’ ijazah secara ilegal. Perburuan ijazah ini juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan yang terlalu menekankan pada aspek formalitas dalam dunia pendidikan, bukan pada kualitas keilmuaan dan akhlak. Orang dihargai dan diakui hanya karena adanya gelar akademik dan ijazah formal. Kini, sehebat apa pun ilmu dan akhlak seseorang, akan tersingkir dari dunia pendidikan, karena tidak bisa menunjukkan selembar kertas ijazah formal atau tidak punya gelar akademik tertentu.
Tidak sedikit pakar pendidikan yang mengingatkan bahaya formalisme yang berlebihan dalam dunia pendidikan. Dunia pendidikan adalah dunia ilmu. Dunia ilmu memerlukan ruang kreativitas dan kebebasan akademik dalam menerapkan konsep-konsep pendidikan. Sebab, kampus bukan pabrik mobil yang bisa diprogram sekian bulan harus menghasilkan sekian ratus mobil. Sekolah dan kampus adalah tempat menempa manusia dengan tujuan yang mulia.
Memang, sesuai fungsinya, menurut UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Perguruan Tinggi bertugas untuk mewujudkan: (a) Berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; (b) Dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; (c) Dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan (d) Terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Sungguh indah kata-kata dalam UU Pendidikan Tinggi itu. Logisnya, kampus adalah tempat menempa mahasiswa-mahasiswa menjadi manusia-manusia mulia luar biasa. Catat sekali lagi! Lulusan Perguruan Tinggi haruslah punya kriteria: Beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya. Di kampus mana tujuan itu bisa dilaksanakan? Apakah para pejabat tinggi kita bisa menjadi contoh seperti itu?
Sepatutnya, Presiden atau Menteri terkait segera merumuskan kebijakan yang lebih terperinci untuk mewujudkan amanah UU Pendidikan Tinggi. Sebagai contoh, untuk menanamkan iman, taqwa, dan akhlak mulia, diperlukan aspek keteladanan dosen, pembiasaan, dan ketegasan sanksi bagi pelanggar. Pemerintah bisa buat target sederhana: tahun 2017, tidak ada lagi lulusan Perguruan Tinggi yang Muslim yang tidak melaksanakan shalat, tidak bisa baca al-Quran, dan berakhlak bejat (berzina, narkoba, durhaka pada orang tua, dan sebagainya).
Sesuai tujuan Pendidikan Tinggi, sepatutnya aspek-aspek formalitas dan standar proses pendidikan yang kaku bisa dilonggarkan. Mahasiswa yang sangat cerdas dan berakhlak mulia, dipersilakan menyelesaikan studinya lebih cepat dari yang lain. Tidak perlu menunggu empat tahun untuk S-1. Sebaliknya, yang memang lemah, silakan saja menyelesaikan selama enam atau tujuh tahun.
Rasio dosen mahasiswa tidak bisa ditentukan secara kaku. Banyak bukti, seorang kyai atau ulama hebat mampu mendidik puluhan santrinya menjadi manusia-manusia yang menguasai berbagai bidang ilmu, meski ia hanya seorang diri. Dunia kampus sepatutnya lebih menghargai manusia yang berilmu tinggi dan berakhlak mulia. Itu bisa dibuktikan dari karya ilmiah dan pengakuan dari komunitas ilmuwan. Jika kertas dan gelar formal lebih dipentingkan, maka tidak dapat dihindari, kampus akan menjadi arena perburuan gelar dan jabatan akademik. Jual beli ijazah dan gelar akademik baik legal maupun ilegal akan mendominasi budaya pendidikan tinggi.
Memilukan jika setiap tahun kita meluluskan ribuan sarjana guru termasuk guru-guru agama, tetapi sekolah-sekolah kesulitan mencari guru-guru yang baik, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, ikhlas beramal (sesuai dengan semboyan Kementerian Agama). Bandingkan dengan lulusan Mu’allimin dari berbagai pesantren dan Madrasah di masa lalu yang siap mengabdi dan diterjunkan ke tengah masyarakat menjadi guru dan pendidik masyarakat.
Tidak ada salahnya melakukan introspeksi (muhasabah). Saatnya Perguruan Tinggi Berhijrah dari alam materialisme dan formalisme sempit serta arena perburuan ijazah dan gelar akademik. Menuju alam keilmuan, adab, dan akhlak mulia. Saatnya kampus menjadi taman ilmu (the garden of knowledge), di mana para dosen dan mahasiswa menjadi manusia-manusia yang cinta, bahkan haus ilmu. Bukan haus jabatan dan harta! **
Editor | : | |
Sumber | : | Dr. Adian Husaini |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments