Nasional / Politik dan Pemerintahan /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 27/05/2015 07:50 WIB
Jika Tak Hati-Hati

Penangan Rohingya Dapat Timbulkan Konflik

SaveRohingyaSaveHumanity   Copy
SaveRohingyaSaveHumanity Copy

JAKARTA_DAKTACOM:  Terdamparnya ribuan pencari suaka asal Rohingya di Indonesia memunculkan dilema bagi Indonesia. Satu sisi Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional tidak boleh menolak kedatangan Rohingya yang hendak mencari suaka di Indonesia. Asas non-refoulement melarang Indonesia untuk mengusir balik Rohingya dari wilayah Indonesia. Namun di sisi lain, ribuan Rohingya yang datang ke Indonesia bisa menimbulkan konflik di antara masyarakat Indonesia sendiri. 

Pendapat itu disampaikan Basrie Effendi, Ketua Aliansi Masyarakat Aceh Peduli Rohingya (AMAPR), di Aceh Selasa (26/5/15), saat melakukaan konsolidasi dengan SNH Advocacy Center, yang mewakili lembaga SEHAUM (South East Humanitarian.

Dilema itu munccul katanya,  ketika ratusan Rohingya yang hendak dipindah dari Aceh Timur ke Langsa ditolak oleh Pemerintah Langsa dengan cara menurunkan Satpol PP turun ke jalan untuk menghadang kepindahan Rohingya tersebut. Alasannya, karena Pemerintah Langsa sudah tidak sanggup menampung pencari suaka yang berjumlah 682 orang, dimana 425 di antaranya orang Bangladesh.

 Basrie Effendi menegaskan bahwa penanganan pencari suaka di Indonesia bisa menimbulkan konflik sosial apabila tidak ditangani secara baik. Ketegangan yang terjadi antara pemerintah Langsa dan Aceh Timur menjadi bukti tidak terintegrasinya penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia. "Penolakan Pemerintah Langsa sangat mungkin terjadi pula di daerah lain", tegas Basrie. 

Heri Aryanto dari SNH Advocacy Center menambahkan bahwa sumber ketegangan antara Pemerintah Langsa dan pemerintah Aceh Timur disebabkan tidak adanya undang-undang yang mengatur secara sui generis mengenai penanganan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia sehingga penanganan Rohingya bersifat parsial tergantung kebijakan masing-masing daerah.

Menurut Heri, Indonesia masih mengandalkan UU No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dalam menangani dan memperlakukan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia. Oleh karenanya, Rohingya di Indonesia disamakan dengan imigran gelap dan ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi. "Seharusnya Indonesia punya UU tersendiri (UU Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka-red)", imbuhnya 

Imam Rulyawan selaku presiden SEAHUM menyatakan bahwa beberapa lembaga kemanusiaan yang tergabung dalam South East Asia Humanitarian Commitee telah melakukan upaya-upaya respon bagi pengungsi Rohingya, di antaranya melalui bantuan layanan kesehatan, makanan hingga sekolah untuk anak-anak pengungsi. Respon dan inisiatif dukungan masyarakat Indonesia pun juga sangat masif untuk memberikan bantuan bagi pengungsi, ujar Imam.

Di samping itu, Imam juga mengusulkan untuk diadakannya koordinasi antar pemerintah daerah agar terjalin penanganan Rohingya yang lebih terpadu dan tentunya dapat mencegah munculnya konflik sosial sebagai ekses penanganan Rohingya yang tidak terkoordinasi, pungkasnya (HA)

 

Editor :
Sumber : SNH Advocacy Center
- Dilihat 2279 Kali
Berita Terkait

0 Comments