Oleh: Rahmatika D. Amalia, Pegiat Komunitas Nuun
Memfoto, baik berupa pemandangan, orang lain, ataupun diri sendiri, kini telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Dulu orang tua atau kakek-nenek kita harus berpikir baik-baik sebelum memfoto sesuatu. Namun kini generasi millenial tidak perlu merasakan kesusahan dan kerepotan semacam itu.
Kita dapat berfoto di mana saja, kapan saja, dan di momen apa saja. Tidak harus menunggu suatu peristiwa penting dan berharga untuk bergaya di depan kamera. Di antara berbagai jenis foto itu, yang paling sering kita ambil sepertinya adalah foto diri yang diambil oleh diri sendiri, alias selfie.
Kita bisa ber-selfie kapanpun kita mau. Di jalan ketika menunggu kendaraan, di dalam kendaraan, di kantor atau di sekolah, di restoran ketika akan makan, ketika sedang bosan, senang, ataupun badmood. Kita bisa mengabadikan setiap momen kecil dalam kehidupan kita dan menyimpannya di dalam layar kamera.
Sejak memasuki era digital, kehidupan kita semakin dekat dengan internet dan kecanggihan teknologi informasi. Huffington Post menyebut evolusi selfie bermula sejak hadirnya MySpace, jaringan sosial terbesar di dunia pada masanya. Platform ini menghadirkan fitur foto profil di tahun 2005.
Ketika Facebook semakin populer di tahun 2009, media sosial terbesar di dunia ini mendorong penggunanya untuk mengunggah foto profil dengan menghadirkan kualitas yang lebih baik. Setelah itu, iPhone 4 yang dilengkapi kamera depan hadir di tahun 2010. Kamera depan merupakan 'revolusi besar' yang memberikan kebebasan bagi penggunanya untuk mengontrol selfie sesuai keinginan.
Kehadiran kamera depan dalam setiap telepon pintar membuat kita dapat menghasilkan foto dengan perpaduan yang seimbang antara wajah dan latar. Kita pun belajar mengenali posisi wajah terbaik dan bagaimana menghasilkan foto selfie tercantik. Apakah itu diambil dari atas, dari samping, ataukah dari atas agak ke samping dengan bibir sedikit menyungging 30 derajat ke arah matahari (cahaya), atau justru ala candid seolah tak melihat kamera supaya tampak alami.
Kehadiran Instagram di tahun 2010 menjadi revolusi lanjutan dunia selfie yang mengubah cara pandang kita dalam melihat foto. Sebelum Instagram hadir di muka bumi foto adalah hal pribadi yang tersimpan dalam album di rak buku rumah. Potret-potret yang menangkap hal-hal penting dalam kehidupan kita tersimpan di sana.
Kini Instagram membuat foto menjadi sesuatu yang dapat dinikmati bukan hanya oleh orang-orang terdekat, tetapi juga yang lumayan dekat, hingga yang benar-benar asing. Instagram semakin memanjakan kehendak memamer foto dari umat manusia dengan meluncurkan tanda pagar atau hashtag dan berbagai jenis filter baru di tahun 2011.
Keinginan kita untuk menghasilkan foto yang indah (baik selfie ataupun bukan) semakin tak terbendung lagi. Setelah itu, selfie jadi semakin populer dan pada tahun 2013 Oxford Dictionary memasukkan kata ini ke dalam kamusnya.
Meskipun baru masuk kamus 2013, tetapi kata ini ternyata telah dikenali sejak tahun 2002. Berbeda dengan pernyataan Paris Hilton beberapa waktu lalu bahwa dia dan Britney Spears adalah penemu dan pembawa tren selfie di tahun 2006, Merriam-Webster dan Wikipedia mencatat kata ini pertama kali digunakan di dunia maya oleh seorang lelaki di sebuah forum online Australia di tahun 2002.
Mengenai maknanya, Oxford Dictionary mendefinisikan selfie sebagai “sebuah foto yang diambil seseorang terhadap dirinya sendiri, secara khusus diambil dengan telepon pintar atau kamera web dan dibagikan melalui media sosial”.
Dalam bahasa Indonesia, kata selfie dikenal sebagai 'swafoto' dan termuat dalam KBBI dengan makna yang tak jauh berbeda dengan Oxford Dictionary, yaitu “potret diri yang diambil sendiri dengan kamera ponsel atau kamera digital, biasanya untuk diunggah ke media sosial.”
Jadi, ada dua hal penting yang harus ada dalam selfie, yaitu potret diri dan media sosial. Selfie yang diambil hanya untuk konsumsi pribadi tidak akan menjadi selfie yang sempurna. Ia baru memiliki makna setelah diunggah ke media sosial. Namun, diunggah saja belum cukup. Sebelum disebar ke publik, ia harus menjalani serangkaian proses dan metode, supaya menjadi sebuah foto yang layak—setidaknya menurut standar diri sendiri.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memilih foto terbaik. Biasanya, kita akan mengambil beberapa foto dengan gaya, latar, dan sudut yang sama. Meski mirip satu sama lain, tapi kita akan memilih satu foto yang paling disenangi. Setelah itu, foto akan memasuki proses pengeditan, yang terdiri dari penambahan filter, penambahan kecerahan dan kontras, bayangan, dll. Sesudah itu, barulah ia menjadi satu foto sempurna yang siap diunggah ke media sosial kita. Selepas diunggah, kita akan menanti dengan harap-harap cemas, apakah foto itu akan disukai oleh teman-teman dan follower di media sosial, ataukah tidak.
Menurut hasil penelitian di Inggris oleh lembaga bernama Ofcom, yang dimuat di situs BBC, ditemukan bahwa dari 1000 orang responden, separuhnya mengakui bahwa mereka telah mengedit foto-foto mereka sebelum diunggah. Biasanya dibutuhkan sekitar enam kali ambil sebelum mendapatkan foto yang memuaskan.
Lalu, mereka akan menghabiskan sekitar 1-2 menit untuk mengedit, tapi ada pula yang membutuhkan waktu hingga lima menit. Setelah diunggah, mereka akan menunggu like dari kawan-kawan atau follower-nya. Ada juga yang menetapkan standar berapa jumlah like yang dibutuhkan. Jika jumlah like ada di bawah standar itu, maka ia akan menghapus fotonya karena ternyata foto itu tidak disukai oleh orang-orang.
Kita mungkin pernah mendengar bahwa “Satu foto bermakna seribu kata”. Meski demikian, rupanya tidak semua foto yang ditampilkan di media sosial menggambarkan kehidupan kita yang sesungguhnya.
Menurut penelitian yang sama, ternyata hanya 61% responden yang percaya bahwa selfie menggambarkan kehidupan nyata mereka dengan akurat.
Sementara 27% responden mengatakan bahwa foto-foto di media sosial membuat hidup mereka kelihatan lebih menarik dari yang sesungguhnya.
Kebutuhan manusia untuk ber-selfie telah mendorong teknologi per-selfi-an dengan amat pesat Misalnya saja tongkat narsis atau tongsis, tomsis, lensa fish eye, action camera, hingga aplikasi-aplikasi selfie seperti Camera 360, B612, Snapchat, Snow dsb. Berbagai gaya unik pun dilakukan untuk ber-selfie.
Gaya-gaya dengan tingkat keberbedaan tinggi dibandingkan kebiasaan umum. Beberapa di antaranya bahkan sampai harus mengorbankan nyawa. Meskipun selfie tampak tidak berbahaya, tapi di tahun 2015 ternyata korban meninggal gara-gara selfie lebih banyak dari mereka yang tewas karena serangan hiu. Pada 2015, seorang remaja Rumania tewas tersambar listrik karena memanjat atap kereta demi menghasilkan selfie yang luar biasa. Setahun sebelumnya, sebuah pesawat di Colorado jatuh dan menewaskan dua orang, termasuk pilot.
Penyebab kecelakaan dikabarkan karena sang pilot mengambil selfie melalui kamera GoPro miliknya. Begitu rumitnya selfie hingga pemerintah Rusia mengeluarkan buku panduan untuk mengambil selfie dengan aman. India, negara dengan kematian karena selfie terbanyak, bahkan merancang area bebas dari selfie di beberapa tempat wisata di Mumbai.
Sementara itu di Indonesia, tahun ini diramaikan dengan tren foto selfie yang diambil di dalam terowongan proyek MRT yang sedang dibangun. Meskipun tidak sampai menimbulkan korban jiwa, tapi selain diambil secara ilegal, orang-orang ini juga tidak mengenakan rompi dan helm keselamatan yang menjadi prosedur standar ketika memasuki kawasan proyek.
Sebegitu penting dan tak terpisahkannya selfie dari kehidupan, sampai beberapa dari kita rela menantang bahaya bahkan melanggar hukum untuk mengambilnya. Kebutuhan untuk melakukan selfie juga membuat kita gagal menimbang dengan tepat tempat dan momen yang wajar untuk mengambilnya.
Di tahun 2015 dua orang mahasiswa kedokteran, seorang dari Venezuela dan yang lain dari Meksiko, menimbulkan kehebohan setelah mengambil selfie dengan pasien yang sedang melahirkan dan pasien yang sedang kritis. Beberapa waktu lalu, RADI-AID sebuah proyek dari Bantuan Dana Internasional Pelajar dan Akademik Norwegia memperingatkan para sukarelawan kulit putih yang akan melakukan kerja sosial di Afrika untuk berpikir ulang sebelum mengambil selfie dengan orang-orang kulit hitam di sana.
Mereka menilai ada fenomena white savior complex atau kompleks penyelamat kulit putih karena banyak orang kulit putih yang melakukan kerja sosial di sana bertindak seolah menjadi pahlawan, dengan melakukan selfie dan mengunggahnya ke media sosial. Selfie dan foto-foto itu sering memberi gambaran yang tidak tepat, karena penduduk lokal digambarkan sebagai orang-orang yang pasif, pantas dikasihani, dan perlu bantuan dari mereka (sukarelawan kulit putih).
Proyek ini juga mengeluarkan panduan sosial media. Salah satu isi panduan itu: sebelum mengunggah pastikan untuk bertanya terlebih dulu kepada diri sendiri apa tujuan membagikan selfie ke sosmed, meminta izin kepada orang yang difoto sebelum mengunggah, mengetahui nama dan latar belakang orang yang difoto, dsb.
Bertanya kepada diri sendiri kenapa kita mengambil selfie atau foto dan apa tujuan kita membagikannya ke media sosial adalah hal penting, yang mungkin jarang kita lakukan. Kita bisa mengemukakan banyak alasan kenapa kita mengambil selfie, tapi pernahkah kita berpikir baik-baik, mengapa kita perlu mengambil foto-foto itu? Bisa jadi kita mengambil selfie sebagai kenang-kenangan atas suatu peristiwa yang penting bagi diri kita.
Bisa jadi kita mengambilnya karena ingin mendapat pengakuan atas diri kita. Atau bisa juga karena ada kebutuhan dari diri untuk menunjukkan foto kepada orang lain sebagai bukti bahwa kita pernah ke suatu tempat dan mengalami suatu peristiwa. Selfie dan foto dianggap menjadi bukti tak terbantahkan, sehingga meskipun kita bisa menceritakan suatu peristiwa dengan begitu rinci seperti Ibnu Battutah atau mendeskripsikan suatu tempat sebaik Marco Polo, tetap saja ada yang kurang jika tanpa foto. Karena bukankah orang bijak di media sosial mengatakan, “No picture= hoax, gan!”
Jika kita mengambil selfie atau foto lainnya demi menyimpan kenangan atas momen atau tempat tertentu, maka manakah yang lebih penting, diri kita ataukah momen dan tempat itu? Tentu tidak ada yang salah jika kita menganggap dua-duanya penting. Tapi jangan-jangan, saking sibuknya dalam memenuhi telepon pintar dan kamera digital dengan foto-foto, kita tak ingat lagi kenangan penting dan berharga dari momen dan tempat itu.
Jangan-jangan yang kita ingat hanya momen pengambilan fotonya, karena kita tidak menggunakan segenap indra kita untuk mengingatnya. Kita tidak melihat, membaui, meraba, mendengar, dan mengecap pengalaman di momen itu dengan indra, tetapi dengan lensa. Kita tidak mengukir kenangan itu di dalam pikiran dan hati, tapi hanya di dalam gawai canggih kita.
Ketika mengambil foto diri, dengan apapun latar di belakangnya, maka secara sadar atau tidak sebenarnya kita sedang mengemukakan kedirian kita. Kita berusaha merekatkan diri kita pada foto-foto di tempat-tempat yang indah, dengan makanan-makanan lezat, dan juga orang-orang penting yang kita temui.
Ketika mengambil foto diri di hadapan Kabah atau pelataran Masjid Nabawi, misalnya, maka selain ingin menangkap kenangan yang tak terlupakan di saat itu, kita juga ingin menunjukkan bahwa kita ada di sana, menjadi satu bagian dengan tempat itu. Sehingga suatu saat ketika melihat kembali foto-foto itu, kita akan teringat lagi kepada saat-saat itu.
Sayangnya, ketika berusaha menangkap momen di dalam gawai, bisa jadi kita justru kehilangan hal lain yang lebih penting. Gawai kita telah mengambil alih apa yang seharusnya dirasakan oleh indra kita. Kita jadi lupa bersyukur kepada Sang Pencipta karena sejak tiba hingga pulang terlalu sibuk dengan aktivitas mengambil foto-foto.
Atau jika kita intip hati kita, jangan-jangan alasan pergi ke tempat-tempat jauh dan indah itu bukanlah untuk merenung dan bersyukur atas ciptaan-Nya, tapi demi mengambil foto-foto yang indah semata. Foto-foto indah itu kemudian akan kita pamerkan di media sosial demi mendapatkan like yang tidak seberapa. Akhirnya, kebahagiaan diri kita ditentukan dari berapa jumlah like yang didapat di akun media sosial kita. Semakin banyak yang suka, maka kita akan semakin bahagia.
Kita pun menjadi semakin semangat untuk mengambil foto-foto yang lebih cantik, lebih indah, dan lebih menakjubkan dari sebelumnya. Diri kita semakin tenggelam dalam aktivitas itu hingga akhirnya ia tidak memiliki makna. Dengan mengambil selfie, kita merasa telah meninggalkan jejak di dunia. Kita merasa memiliki makna, karena foto-foto cantik kita (yang ditambah dengan kutipan bijak atau puisi buatan sendiri) memberi inspirasi kepada orang banyak. Kita membangun ilusi atas siapa diri kita dan semakin jauh dari mengenali siapa diri kita yang sesungguhnya.
Semenjak selfie menjadi populer, penelitian mengenai selfie dan dampaknya telah dilakukan oleh banyak peneliti di seluruh dunia. Selain penelitian yang telah disebut sebelumnya, selfie dikaitkan dengan kepercayaan diri, kesepian, perasaan sedih, bahkan masalah dalam hubungan pribadi dan kesehatan jiwa. Melalui media sosial, kita diberi wadah untuk menunjukkan keakuan kita, tapi tanpa sadar kita justru kehilangan diri kita.
Kita berusaha menunjukkan siapa diri kita tanpa menyadari bahwa kita membangun diri di atas hal-hal yang rapuh seperti jumlah like, follower, selfie, atau foto-foto yang menunjukkan bahwa kehidupan kita bahagia dan sempurna. Kita ingin mendapat pengakuan, tapi semakin besar jumlah like atau follower yang didapat, kita justru merasa semakin kesepian. Memang tidak ada yang salah dengan mengambil selfie (atau pun foto-foto lainnya), karena sebagai manusia kita membutuhkan pengakuan dari orang lain mengenai siapa diri kita.
Namun, supaya tidak terjebak dalam pamer, bangga diri, atau menampilkan gambaran diri yang tidak sebenarnya ada baiknya kita memeriksa lagi ke dalam diri tentang selfie: untuk apa, untuk diperlihatkan pada siapa, dan kenapa kita mengambilnya.
Editor | : | |
Sumber | : | nuun.id |
- Potensi Covid-19 Klaster Industri di Bekasi
- Geliat Ekonomi Bekasi di Tengah Pandemi Covid-19
- Rintihan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi
- Masih Efektifkah Sistem Zonasi Covid-19 di Bekasi?
- Wabah Virus Corona, Haruskah Disyukuri?
- Bekasi Siapa Gubernurnya?
- Ancaman Transgender, Haruskah Kita Diam?
- Kenapa Bekasi Tenggelam?
- Nasib Bekasi : Gabung Jakarta Tenggara atau Bogor Raya?
- Air Bersih atau Air Kotor?
- Agustus Bulan Merdeka Bagi Sebagian Rakyat Indonesia (1)
- Refleksi Emas Kampung Buni di Tengah Gelar Kota Industri
- Apa Kata Netizen: Catatan Mudik 2019 Si Obat Rindu Masyarakat +62
- Diksi Kafir dalam Polemik
- Ironis, Kasus Nuril Tunjukkan Kebobrokan Hukum
0 Comments