Opini /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 05/12/2017 06:00 WIB

Calon Panglima TNI Pilihan Jokowi Lemah

Jaka Setiawan Pengamat Intelijen  Pertahanan
Jaka Setiawan Pengamat Intelijen Pertahanan
Oleh: Jaka Setiawan, Pengamat Intelijen & Pertahanan
 
Polemik tentang penting-tidaknya posisi Panglima TNI dijabat rotasi/bergiliran kerap berulang menjelang pergantian. Jokowi dalam konteks mengajukan nama KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai calon tunggal sangat mengecewakan, lebih mengedepankan aspek rotasi ketimbang aspek strategis dan tantangan Indonesia di masa depan.
 
Dari sisi profil Marsekal Hadi Tjahjanto lemah dan tidak memiliki kapasitas yang mumpuni dalam menghadapi tantangan strategis Indonesia di masa depan.
 
Jika kita merujuk pada studi tentang manajemen pertahanan, setidaknya ada 3 isu yang juga harus diperhatikan dalam memilih Panglima TNI.
 
Pertama, aspek temporal yang menitikberatkan pada isu perubahan ideologi di level menengah sampai pimpinan TNI yang sudah mulai menerima nilai liberalisme/demokrasi dan yg masih murni Pancasila. Ke depan bisa jadi ada juga yang mulai berkiblat ke sosialisme RRC  
 
Kedua, isu kultural di grassroot yang belakangan menghangat dan semakin meruncing jika tidak dikelola dengan baik dan objektif berpotensi menyebabkan ancaman keamanan. Panglima Gatot Nurmantyo, lumayan bisa mengelola dinamika ini dengan baik.
 
Ketiga adalah isu dinamika ancaman. Dalam topik ini, adanya identifikasi dinamika risiko, tantangan, dan ancaman menjadi sebuah keharusan. Sengketa Laut Natuna menjadi tantangan tersendiri, karena penguasaan Flight Information Region (FIR) Singapura, wilayah udara Natuna tidak bisa kita kendalikan.
 
Instruksi Presiden Jokowi sejak pertengahan bulan September 2015 tentang realignment FIR sampai sekarang 2017 belum jelas arah nya. Keberadaan FIR Singapura dalam pelaksanaannya telah banyak menimbulkan kendala, baik dari penerbangan sipil Indonesia maupun pelaksanaan operasi dan penegakan hukum di wilayah sekitar Tanjung Pinang dan Natuna.
 
Ruang udara nasional merupakan salah satu kekayaan ekonomi yang dimiliki oleh Indonesia. Namun pada kenyataannya, keuntungan tersebut harus rela dilepaskan begitu saja. Dalam hukum penerbangan internasional, kita mengenal istilah Rans Charges, yaitu penerbangan pesawat udara yang melewati rute tertentu pada sebuah wilayah negara,   berkewajiban membayar penggunaan media udara untuk navigasi udara, sesuai dengan jarak yang ditempuh oleh sebuah pesawat.
 
Menurut beberapa sumber, Fee yang dibebankan kepada pesawat yang melintas di wilayah kedaulatan Indonesia yang dikuasai FIR Singapura nilai potensi ekonominya cukup fantastis, jumlahnya mencapai 15.288.759 Dolar pada tahun 2009.
 
Selain ekonomi, masalah yang sering luput dari pandangan masyarakat Indonesia adalah kontrol terhadap ruang udara nasional yang kini dikuasai FIR Singapura, sering digunakan untuk latihan militer pasawat tempur Singapura. 
 
Walaupun Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dengan Singapura sudah dihentikan sepihak oleh Indonesia pada tahun 2003, namun Satuan Radar 213 Tanjung Pinang dan Satuan Radar 212 Natuna sering menangkap pergerakan pesawat asing, khususnya pesawat militer Singapura yang melakukan black flight di wilayah yang dulu dikenal dengan Military Training Area 1 (MTA 1) dan Military Training Area (MTA 2).   
 
Jangan lupa, sejak awal, Presiden Jokowi tegas menyebutkan visi poros maritim  akan dijalankan selama kepemimpinannya. Visi ini diturunkan dalam kebijakan pemerintah yang tertuang pada Rencana Jangka Pendek dan Menengah Nasional (RJPMN) 2015-2019. 
 
Salah satunya meningkatkan anggaran pertahanan hingga 1,5 persen dari PDB guna membangun TNI sebagai kekuatan maritim regional yang disegani di kawasan Asia Timur. Tidak mungkin ini terjadi disaat pengadaan pertahanan di korupsi dan FIR Natuna masih dikuasai Singapura.
 
Presiden Jokowi sama sekali tidak melihat Pemilihan Calon Panglima Sebagai suatu yg strategis. Setelah memperhatikan isu ini, langkah lain yang hendaknya dilakukan adalah melakukan kaji ulang pertahanan strategis. Kaji ulang ini memainkan peranan penting untuk mengukur kesesuaian dan kapabilitas kekuatan pertahanan dalam merespons dinamika lingkungan strategis.
 
Sudah semestinya Jokowi memulai tradisi baru dalam meneruskan reformasi TNI. Arahan politik yang jelas dari seorang panglima tertinggi angkatan bersenjata pada sektor pertahanan sangat diperlukan. Sebab, pada akhirnya kepemimpinan politik yang menentukan arah pembangunan kekuatan pertahanan untuk mencapai tujuan dan kepentingan nasional. Tentunya tetap dalam koridor menempatkan profesionalisme, kualitas pendidikan, dan pelatihan prajurit yang baik sebagai kekuatan utama TNI pada masa mendatang.
Editor :
Sumber : Jaka Setiawan
- Dilihat 5095 Kali
Berita Terkait

0 Comments