Kajian Keislaman /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 19/05/2015 07:48 WIB

Chaos, Celah Mengembalikan Khilafah

Demonstrasi di Mesir untuk menumbangkan rezim Husni Mubarok
Demonstrasi di Mesir untuk menumbangkan rezim Husni Mubarok

Oleh: Abdullah bin Muhammad

(Bagian kedua)

 

Perang Yaman,  yang terjadi sekarang ini adalah bagian  dari  yang diharapkan oleh para mujahidin.  Sebab,  salah satu target  dari  revolusi Arab (Arab Spring) adalah muncul perang di Yaman untuk memudahkan para mujahidin masuk ke Yaman dalam melaksanakan strategi dua lengan. Itu sebabnya  revolusi yang terjadi di Aljazaer, Tunisia, Mesir, Lybia,  Suria dan di negara-negara Afrika adalah bagian dari gerakan Islam (Harokah Islam) untuk mengembaalikan pemerintahan  Khilafah Islamiayah. ( Redaksi).

Kembali ke revolusi Arab, kita melihat buah pertama dari revolusi-revolusi ini adalah lenyapnya satu-satunya sistem yang kuat di negara tersebut. Setelah itu terjadi “keseimbangan kekuatan”  diantara komponen-komponen yang ada, baik dari sisa-sisa rezim sebelumnya, tentara oposisi  tradisioanal, pemuda revolusi, partai-partai Islam, Kaum sekularis, atau komponen-komponen lain.

Tunisia.

Di Tunisia sendiri, Departemen Dalam Negeri telah meneriman 100 permintaan izin pendirian partai politik 80 di antaranya telah disetujui. Negara ini masih berada dalam konflik idiologi seputar identitas dan tujuan revolusi. Kendati revolusi telah menghapus rezim Ben Ali dan rezin-rezim lainnya, Prancis masih menempel di Tunisia dan masih memegang peranan penting di sana.

Misalnya, seperti yang diungkapkan Menteri Dalam Negerinya yang mengatakan bahwa para jenderal militer di Al Jazair memberi dorongan kepada komandan tentara Tunisia untuk mengatur kudeta yang dilakukan umat Islam dalam mengambil alih kekuasaan. Tindakan ini persis seperti yang dilakukan kepada FIS (Front Islamic du Salut), tahun 1992. Dalam kedua kasus tersebut ada dukungan dan perlindungan Prancis.

Mesir

Situasi di Mesir lebih serius dan lebih rumit lagi. Pasca revolusi, ada lima kekuatan berbeda yang tarik menarik negara ini, menurut visi mereka masing-masing. Kelima kekuatan tersebut adalah dewan militer, Kristen, Islam, kaum sekuler, dan revolusioner muda. Setiap kekuatan memiliki agendanya sendiri yang ingin diwujudkan. Dewan  Tinggi ( The High Council) memiliki kekuasaan yang luar biasa dan sebagai satu-satunya solusi untuk menjamin stabilitas Mesir.

Masyarakat regional dan internasional berharap dewan ini menjadi pengganti (kekuasaan) terbaik. Hanya saja, dewan ini berbenturan dengan realitas yang sama sekali berbeda dengan realitas sebalumnya.

Situasi keamanan sangat buruk. Tiga provinsi telah menolak kembalinya aparat keamanan negara, sementara negara sendiri berada di ambang kebangkrutan; mendapat  tekanan dari masyarakat; kerusuhan dan pemogokan terus  menyebar di departemen-departemen pemerintahan. Hal ini dibutikan dengan lemahnya kerja dewan dalam penyelenggaraan negara  secara regional dalam penertiban keamanan. Dan mereka tidak mampu melindungi pipa gas di Sinai-Israel, yang telah meledak empat kali hingga sekarang.

Sementara itu, kaum Nasrani merasa bahwa merekalah orang yang paling dirugikan dalam setiap revolusi ini. Oleh karena itu, keluarlah suara-suara di antara mereka yang menyerukan kemerdekaan kaum Kristen Koptik di negara mereka sendiri. Ini adalah  proyek lama yang baru mendapat dukungan Koptik luar negeri, yaitu oleh beberapa kalangan politik  di Washington dan Dewan Gereja Dunia. Di setiap konfrontasi berdarah dengan umat Islam, selalu keluar suara-suara yang menyerukan kepada masyarakat Internasional untuk ikut campur tangan melindungi orang-orang Koptik.

Orang-orang mungkin mengatakan bahwa seruan-seruan itu tidak lebih dari reaksi verbal dan luapan amarah dan akan hilang dengan sendirinya. Namun, faktanya bahwa kelompok Kristen Mesir membeli senjata secara intens dan dengan harga berapapun, menunjukan hal yang sebaliknya.

Adapun partai-partai Islam, apakah itu ikhwanul Muslimin, Salafi, atau pecahan-pecahan dari mereka atau kelompok-kelompok independen, adalah pemain terkuat di Mesir. Referendum konstitsi dan keinginan rakyat  akan membuktikan ketepatan asumsi ini. Sementara itu, gerakan sekuler telah memasuki konflik idiologis dengan gerakan Islam dalam upaya mempertahankan model negara sekuler. Beberapa pihak dari mereka telah menjalin  kerjasama terbuka dengan Amerika Serikat, sebagai pihak penerima anggaran khusus untuk mendukung partai-partai tertentu.

 

Selanjutnya, pusat kekuatan yang kelima adalah kaum muda pengusung revolusi. Mereka adalah salah satu penyebab situasi chaos di Mesir. Besarnya pengorbanan yang mereka keluarkan menjadikan revolusi identik dengan nama mereka. Hal ini mengharuskan mereka bertanggungjawab untuk melindungi revolusi dari penyeleweng. Peran ini menempatkan mereka dalam konflik yang berkepaanjangan dengan  Dewan Tinggi.

Struktur yang tidak beraturan seperti ini menunjukan bahwa situasi tidak akan mereda dalam waktu dekat dan menengah. Namun begitu, saya yakin bahwa pertempuran paling menentukan akan mengerucut  antara kekuatan terbesar dengan gerakan Islam.

Bahaya pertama ialah ketika gerakan Islam meraih kekuasaan di Mesir melalui kerjasama dengan gerakan sekuler, menghalangi setiap rencana pembangunan yang dicanangkan pemerintahan yang memiliki warna Islam. Fenomena ini akan mengulangi situasi politik pemerintahan di Gaza.

Ada skenario lain, dan saya tidak berfikir itu masih jauh---menurut Dr. Aiman Al Zawahiri kemungkinan besar itu akan terjadi---yaitu Dewan Militer akan mengambil peran sebgai pelindung sekularisme di negeri itu, persis seperti yang dilakukan militer  Turki di Turki.

Rezim-rezim Arab lainnya mengambil pelajaran dari revolusi Tunisia dan Mesir. Beberpa rezim memilih untuk melakukan negosiasi damai dan menyerah pada keinginan mmasyarakat semaksimal mungkin, seperti di Yordania, Maroko, dan Oman. Beberapa rezim lainnya memilih konfrontasi berdarah seperti di Lybia, Suriah dan Yaman.

Beberapa rezim lainnya menghidupkan semangat sektarian agar mayoritas rakyat berdiri di belakangnya, seperti di Bahrein, Arab Saudi, dan Kuwait. Namun, langkah-langkah tersebut  tidaklah lebih dari sekedar obat penenang sementara.

Situasi revolusi di jalanan Arab membuktikan bahwa ia bukan sekedar kekerasan reaksional. Dan perundingan (rezim dan massa) hanya akan mendatangkan tuntutan yang lebih banyak lagi. Sementara itu, kaum intelektual di wilayah Teluk telah memainkan peran lebih dari yang seharusnya.

Memicu semangat sektarian yang juga merupakan solusi dari revolusi menjadikan mereka berada dalam konfrontasi yang tidak seimbang melawan Iran. Kemudian mereka mulai menyadari bahwa perang sudah diambang pintu.

Tentu saja ada negara-negara tertentu yang tidak memerlukan revolusi sehingga harus mengalami situasi chaos, seperti lainnya. Ada pontensi untuk menyalakan perang saudara dan sektarian di Sudan, Irak, dan Libanon, dan pontensi itu sangat besar. Ia memiliki faktor-faktor yang tidak ditemui di Daerah lain. (Bersambung)

 

 

Editor :
Sumber : Ulil Albab
- Dilihat 2934 Kali
Berita Terkait

0 Comments