Oleh: Dr. Budiharjo, M.Si, Wakil Direktur Program Pascasarjana Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
Mayoritas pahlawan kemerdekaan Indonesia adalah kiai yang memiliki ribuan santri di seluruh pelosok Nusantara. Bahkan, elit politik dan pejabat negara saat ini kebanyakan adalah santri di masa muda mereka. Ini menjadi bukti peranan santri yang begitu besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Begitu besarnya jasa santri sehingga membuat Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober.
Semua berangkat dari fatwa jihad pendiri Nahdhatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945. Fatwa tersebut begitu heroik membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia saat itu, hingga pecah perang 10 November 1945 yang kemudian diperingati Hari Pahlawan setiap tahunnya.
Yang menarik, meski berjasa besar dalam merebut kemerdekaan, tidak membuat kaum santri lupa bahwa Indonesia adalah rumah bagi seluruh umat beragama. Oleh sebab itu, dalam pertemuan pada 1936 di Banjarmasin, para ulama NU menegaskan format ideal Indonesia sebagai negara adalah Darus Salam (negara damai), bukan Darul Islam (negara Islam). Tentunya ini berangkat dari realita bahwa Indonesia terdiri dari berbagai pemeluk agama, ras, suku dan antar golongan. Multikulturalitas ini merupakan modal besar Indonesia menjadi bangsa yang besar dan kuat.
Para kiai pun menegaskan Indonesia sebagai negara bangsa (nasionalisme), bukan negara agama. Dengan demikian, pemikiran para kiai ini menjadi format ideal dalam pembentukan dasar bernegara. Ini juga yang kemudian menginspirasi Pancasila dan UUD 1945, yang dibahas dalam sidang konstituante.
Berbeda dengan Timur Tengah, kaum santri di Indonesia tidak mempermasalahkan entitas agama dan nasionalisme. Hubbul wathan (cinta negara) sejalan dengan semangat hubbud diin (cinta agama). Sehingga bagi mereka tidak ada persoalan antara agama dan kebangsaan. Keseimbangan antara agama dan bangsa ini menjadi sangat penting.
Jika umat tidak pandai membawa semangat Islam yang benar, maka dampaknya adalah disintegrasi. Melalui ribuan lembaga pendidikan yang dimilikinya, kaum santri telah memperkuat prinsip kebangsaan dan nasionalisme dalam kehidupan agama mereka.
Kehidupan keagamaan seperti itu akan memperkuat budaya dan jati diri kaum santri. Selain juga tetap mengambil kemajuan dan perkembangan teknologi mutakhir. Contoh konkretnya adalah kaum santri tetap berpegang pada kitab kuning, dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tuntutan zaman. Namun, kita dengan mudah mendapatkan aplikasi kitab-kitab kuning yang banyak ditemukan di dunia maya ataupun ponsel pintar.
Kaum santri telah menunjukkan sikap politik negara yang luar biasa. Dalam beberapa isu di media massa, kaum santri lebih mengangkat isu kedaulatan negara, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Pilar negara tersebut menjadi komitmen mereka untuk senantiasa dijaga dan dipertahankan. Tentunya hal ini menjadi penting ketika Indonesia berada dalam pusaran pengaruh globalisasi liberalisme dan radikalisme.
Sementara di sektor lain, sebut saja ekonomi dan kebudayaan, pengaruh asing sudah menerobos hingga ke ruang privat. Hal itu tidak lepas dari pengaruh kemajuan teknologi informasi. Pengaruh dunia internasional yang dikendalikan oleh kapitalisme global kian liberal, dan begitu jauh dengan kultur berpikir, sikap dan tindakan masyarakat santri Indonesia.
Pengaruh globalisasi liberalisme itu merusak nilai-nilai agama, budaya dan tradisi, termasuk nilai-nilai Pancasila. Propaganda liberalisme disebarkan demikian gencar dengan peralatan teknologi dan strategi yang sangat canggih.
Politik kaum santri telah melahirkan perlawanan secara kultural terhadap dominasi asing. Politik tersebut dikembangkan dalam praktik keagamaan yang mengedepankan kemanusiaan. Di dalamnya menjadikan agama sebagai instrumen promosi kemanusiaan melawan hegemoni globalisasi liberalisme. Pengukuhan spiritualitas ini dibutuhkan, karena tanpanya, bangsa ini rentan menghadapi berbagai isu global yang tak seluruhnya sesuai dengan tradisi kebangsaan.
Politik negara kaum santri mengajarkan kekuatan tradisi dan kemandirian bangsa untuk dikembangkan sebagai suatu kesadaran kolektif. Bukan hanya kesadaran elit nasional, namun juga sebagai ruh kehidupan keseharian warga dalam memecahkan berbagai persoalan sosial politik, ekonomi dan keagamaan. Spiritualitas kaum santri mewujud dalam semangat membangun nasionalisme yang bukan sekedar slogan. Dia menjadi wawasan yang tetap segar karena berangkat dari daya spiritual dan kesadaran hidup di setiap warga negara, khususnya kaum santri itu sendiri.
Para kiai sepakat untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem politik untuk mengelola kepentingan bersama dalam negara berbentuk Republik. Dengan demokrasi, aspirasi dan kepentingan yang beragam dapat diolah menjadi kebijakan negara. Demokrasi diterapkan sebagai sarana, bukan sepenuhnya sebagai tujuan (Said Aqil Siradj, 2015: 110).
Politik santri ini melihat demokrasi yang diterapkan di Indonesia berbeda dengan demokrasi liberal ala Barat.
Bagi mereka, demokrasi bukan kebebasan tanpa batas. Dia bukan sekedar prosedur, melainkan juga nilai-nilai yang di dalamnya ada pembatasan moral, hukum, kesepakatan atau konsensus antar warga negara.
Perjuangan kaum santri tidak hanya politik dan ekonomi. Sejarah mencatat bagaimana pondok pesantren berperan besar dalam melahirkan cerdik cendikia. Tidak perlu malu jika kemudian perguruan tinggi “berguru” pada pola pondok pesantren. Pendidikan di pesantren tidak hanya mengenal ta’lim (pengajaran), tetapi juga dilanjutkan dengan tadris (pembelajaran) yang diikuti dengan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sana, ada pendidikan karakter yang diajarkan ke setiap santri.
Pendidikan karakter di pesantren begitu kuat sehingga melahirkan sami’na wa atho’na terhadap para kiai. Tidak heran, jika kemudian santri begitu gagah berani menyambut seruan jihad dari KH Hasyim Asy’ari ketika masa perjuangan dulu. Karakter yang begitu kuat saat ini terancam hilang karena pengaruh negatif globalisasi di bidang pendidikan. Padahal, pendidikan karakter yang berkualitas sangat berguna dalam melahirkan pemimpin yang bisa menjadi pelopor terjadinya perubahan sosial.
Ini yang menjadi penyebab begitu keras kalangan Nahdhiyin menolak Full Day School, karena adanya kekhawatiran terkikisnya budaya pesantren ketika siswa “berlama-lama” di sekolah formal. Ada benarnya juga karena terbukti pesantren mampu memberikan pengaruh positif dalam sistem pendidikan di Indonesia, baik formal ataupun informal.
Di Hari Santri Nasional 2017 ini, maka kita harus menatap lebih baik lagi kehidupan keberagamaan dan kebangsaan kita di masa mendatang. Hari santri ini harus dilihat sebagai dukungan negara terhadap kelompok santri yang memang memiliki jasa besar dalam perjalanan hidup bangsa dan negara kita. Dukungan ini harus dirawat dan senantiasa dijaga agar jasa-jasa para kiai dan santri zaman penjajahan tidak hilang begitu saja.
Editor | : | |
Sumber | : | Radio Dakta |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments