Daktatorial /
Follow daktacom Like Like
Senin, 02/10/2017 08:15 WIB

Komunisfobia dan Pengiblisan Islam: Kisah Cinta Antara Anak Bangsa

ilustrasi pudarnya komunisme
ilustrasi pudarnya komunisme
Oleh: Tri Shubhi Abdillah, Pemred Komunitas Nuun
 
Beberapa tahun lalu, sebuah lembaga yang mengaku lembaga kebudayaan melaksanakan pertunjukan yang diberi judul “Opera Tan Malaka”. Beberapa pihak angkat suara menyatakan bahwa opera itu mengandung unsur komunisme. Opera itu ditengarai mengandung muatan penyebaran paham kiri. Saya menonton opera itu.
 
Di awal pertunjukan, bendera merah bergambar palu arit di tengah memang dikibarkan. Tentang Tan Malaka juga dipaparkan sepanjang pagelaran. Di opera itu, Tan Malaka disebut sebagai “terlalu rumit” untuk keadaan bangsanya, dipertanyakan “di mana Tan Malaka ketika proklamasi dibacakan”, dan diejek sebagai berang-berang. Di opera itu komunis dielek-eleki dalam permainan ironi khas orang-orang soska. Malam itu Tan Malaka dicibir sebagai “selalu bersembunyi sepanjang sejarah”. Dan beberapa orang takut opera itu membangkitkan kembali komunisme.
 
Tan Malaka sendiri memang berbalut misteri. Seorang peneliti yang sangat tekun telah menelusuri hidup Bung Tan sampai ke kuburannya. Lelaki itu, Harry Poeze namanya, telah menghabiskan banyak waktu untuk menyisir perjalanan hidup lelaki bernama asli Ibrahim itu. Dari karya-karyanya dan dari penelitian Pak Poeze, orang lelaki ini memang berbahaya. Tan Malaka memang berbahaya. Pikirannya berbahaya, khususnya untuk komunisme itu sendiri. Ada laten dalam karya Pak Poeze yang dapat mengarah kepada pengungkapan konflik internal PKI yang telah menyingkirkan Tan Malaka. Suatu hari (atau suatu malam), bedah buku Pak Poeze dibubarkan sekelompok orang yang kuatir komunis akan bangkit lagi.
 
Ketakutan pada komunisme telah menjadi bayangan bersama (imajinasi kolektif) sebagian bangsa kita. Ada dua hal yang sepertinya melandasi ketakutan umum itu.
 
Pertama, ada semacam trauma terhadap komunisme. Tindakan PKI masa dahulu kala memang menjengkelkan. Propaganda dan pemainan politik risiko tinggi telah membuat PKI masyhur sekaligus bikin susah kita sebagai bangsa. PKI memang disiplin, berani, dan kadang-kadang mengerikan.
 
Untuk mencapai tujuan politiknya, PKI memainkan permainan berisiko tinggi. Menggiring massa pengikutnya ke garis depan pertarungan yang berbahaya. Para pengikutnya (macam Pemuda Rakyat) dimainkan ke baris depan, diradikal-radikalkan, dibikin jago berdemo dan sangat suka mengancam-ancam. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dibikin mahir menggunakan bahasa Indonesia untuk menghardik banyak orang. HB Jassin, Hamka, dan lain-lain kenyang diserapahi di muka umum. PKI juga pandai memanfaatkan kepercayaan tertentu di daerah tertentu. Kaum kebatinan banyak disorong PKI untuk berhadapan dengan Islam. “Agama Karuhun kita Siliwangi!!!” sering diteriakkan orator-orator berisik PKI untuk dihadapkan dengan Islam.
 
Semua hal itu menciptakan trauma umum. Dalam ingatan bersama, muncul kesan bahwa PKI itu bedebah dan bengis.
 
Celakanya, permainan risiko tinggi itu gagal. PKI kalah karena beberapa pemimpinnya ceroboh dan tidak sabar. Risikonya, pendukung mereka yang telah diseret ke garis depan pertarungan harus berhadapan dengan musuh. Dan kalah.
 
Perang sipil yang ditunggangi tentara pada 1965 itu memang mengerikan. Sebagai bangsa, kita harus berhenti bersikap sok jago satu sama lain. Tahun 1965 itu harus kita hadapi dengan lebih jernih. Kita tidak perlu mengulanginya.
 
Kedua, perkara pengetahuan yang kurang memadai tentang komunisme dan “kiri”. Kalau mengikuti alur mereka yang senang ber-cas-cis-cus agak filosofis dan betul filosofis, sebenarnya komunisme telah almarhum secara pemikiran. Anak-anak muda yang sedang ramai berposmo-posmoan sangat sulit untuk menalar bagaimana sebenarnya gagasan komunis dalam PKI itu menjadi mungkin.
 
Sudah terlalu banyak kontradiksi. Kapitalisme sudah tidak lagi sungguh-sungguh dilawan. Perlawanan sudah sering berubah menjadi proposal, menjadi barang dagangan.
 
Celakanya, banyak orang memandang semua yang merah dan “kiri” itu pasti PKI, pasti memberontak dan pasti mengancam keberadaan yang lain—mengancam keutuhan bangsa. Memang, ada anak-anak muda yang menyatakan diri sebagai “kiri”. Tapi, untuk mengulangi tindakan dan strategi PKI, tampaknya anak-anak muda itu cukup waras untuk tidak melakukannya. Dan lagi pula, gambar palu arit kuning itu sudah jadi kaos berwarna merah, diproduksi dalam skala industri bersama wajah sablonan Che Guevara di kaos pink. Tembok Berlin sudah lama runtuh.
 
Perlu pengetahuan yang memadai untuk menempatkan “kiri”, “merah”, komunis, komunisme, dan PKI di tempat yang wajar dan pantas. Selama ini tampaknya pendekatan-pendekatan ilmiah atau paling tidak agak sedikit mikir terhadap persoalan ini susah ditemukan..,
 
Fobia atau ketakutan terhadap komunisme memang ada. Orang-orang yang merasa difobiai seharusnya tidak perlu kuatir. Mereka sebaiknya belajar kepada umat Islam. Sejak lama Islam telah diibliskan; diejek-ejeki sebagai antipengetahuan dan terbelakang. Islam dan umat Islam sering dicibir sebagai teroris. Menyebut Islam dalam ilmu pengetahuan dianggap tidak ilmiah. Umat ini dipojokkan, dipinggirkan, dan disingkirkan dari sejarah, dari politik, dari tindakan kolektif bangsa. Umat Islam ditempatkan tidak penting dan dianggap tidak punya peran penting dalam perjalanan bangsa.
 
Orang-orang berjilbab diejeki, orang-orang yang menjalankan perintah Tuhannya dicibiri, direndah-rendahkan atas nama pengetahuan dan kemajuan. Meyakini Islam, beriman kepada Nabi Muhammad dan Al Qur’an dianggap tidak ilmiah dan tidak berhak bicara di ruang-ruang akademis. Tidak boleh membawa Islam ke ruang-ruang akademis itu. Umat Islam didiskreditkan. Diintimidasi secara sosial.
 
Zaman Orde Baru dulu, pengajian-pengajian tidak hanya dibubarkan, tetapi juga ditembaki peluru tajam. Zaman Orde Lama dulu, umat Islam dipecah belah, diadu domba, disingkirkan, disebut pemberontak. Zaman kemerdekaan dulu, umat Islam dikejar-kejar kaum penjajah. Semua itu tidak dihadapi umat Islam dengan merengek. Tidak menyebut-nyebut diri sebagai korban dan kemudian minta dikasihani.
 
Umat Islam bukan umat yang merengek-rengek, menempatkan diri jadi korban agar dunia kasihan. Umat Islam tidak begitu. Ketika umat ini merasa terzalimi, umat ini melawan. Silakan catat pertarungan panjang Buya Natsir dan Masyumi melawan PKI dan Soekarno. Ketika dizalimi, ya melawanlah, jangan merengek. Periksa sepanjang sejarah Orde Baru. Kami melawan. Umat ini melawan. Banyak juga yang terbunuh. Periksa santri-ulama di Aceh yang tewas, periksa di Tanjung Priok.
 
Tapi ingatlah ketika Soekarno wafat, Buya Hamka mengimami shalat jenazahnya. Mendoakan agar Tuhan menerima segala amal Bung Besar dan memintakan ampun bagi dosa-dosa si Bung. Umat ini pandai memaafkan demi keutuhan bangsa.
 
***
 
Hari ini, yang kita perlukan ialah kemampuan untuk saling menghargai. Ketakutan tak berdasar terhadap kebangkitan PKI harus digantikan kewaspadaan yang beralas pengetahuan, semacam penelaahan tekun Pak Poeze itu. Agar sikap kita wajar, pantas, dan bermartabat.
 
Hari ini, pengiblisan terhadap Islam akan terus kami lawan. Kami akan terus berdiri menghadapi ejekan dan cibiran itu. Kami akan tetap mencintai Indonesia ini meski dituduh sebagai teroris. Kami akan perbaiki kekurangan-kelemahan kami, tetapi kami tidak akan pernah merasa rendah dengan agama kami. Akan kami pegang teguh keyakinan ini.
Editor :
Sumber : Nuun.id
- Dilihat 21156 Kali
Berita Terkait

0 Comments