Oleh: Dr. Budiharjo, M.Si, Wakil Direktur Program Pascasarjana Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
Kehidupan sosial politik kita kian dinamis, khususnya menjelang Pemilu 2019. Meski masih dua tahun lagi, riak-riak "pertarungan" kian terasa dan mesin-mesin politik sudah mulai dihidupkan. Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, banyak pihak memproyeksikan pemilu 2019 akan lebih "panas" karena dipengaruhi sosial politik pasca pilkada DKI Jakarta 2017.
Untuk menciptakan situasi yang kondusif terhadap pelaksanaan pemilu, Pemerintah harus menjalin koordinasi dengan berbagai pihak. Khususnya KPU sebagai penyelenggara pemilu dan Bawaslu sebagai pihak yang memiliki kewenangan mengawasi jalannya pemilu. Dari koordinasi tersebut, harus ditempuh kesepakatan untuk memecahkan masalah yang krusial. Memang masih dua tahun lagi, namun tentunya prakarsa ini bisa dimulai dengan pertimbangan adalah penyelenggaraan pemilu yang adil, demokratis, jujur dan terbuka.
Selain dengan KPU dan Bawaslu, Pemerintah pun harus mengantisipasi informasi yang menyesatkan yang disebar secara massif di media sosial. Mengatasi masalah krusial ini, menjadi tantangan tersendiri karena belakangan ini, kondisi sosial politik kita memang diwarnai dominasi medsos. Upaya Kementerian Kominfo untuk melawan hoax layak diapresiasi dan didukung semua lapisan masyarakat. Sebaran informasi sesat sangat mengganggu iklim demokrasi kita. Jika dibiarkan, maka itu akan sangat mengganggu pemilu yang tinggal dua tahun lagi.
Penyelenggaraan pemilu yang demokratis, tentunya akan membawa dampak positif bagi kehidupan kita. Mengaca pada pemilu sebelumnya, setidaknya ada tiga skenario yang harus diperhatikan. Pertama, skenario optimis pemilu akan berjalan lancar. Kedua, skenario moderat, sedikit ada gangguan. Ketiga, terjadi gejolak yang lebih besar.
Dari tiga skenario di atas, Pemerintah harus memiliki "exit strategy" yang sudah disiapkan jauh-jauh hari. Tekad untuk menyelenggarakan pemilu yang kondusif harus terus digelorakan. Mengapa? Karena pemilu menjadi momentum untuk menyelamatkan dan membangun kembali Indonesia. Apa bukti pemilu bisa memperbaik Indonesia.
Kita lihat Pemilu 2004, ketika makro Indonesia makin mendekati posisi pada tahun 1997, saat menjelang krisis ekonomi. Bahkan, inflasi saat itu mencapai 4,8% jauh lebih rendah dari tahun 1997 yang mencapai 11,05%. Nilai tukar rupiah menjelang 2004, meski belum mencapai posisi seperti di tahun 1997, juga telah stabil dalam waktu lama dan tetap terjaga. Kondisi ekonomi yang terus membaik di tahun 2004, salah satunya adalah karena pemilihan Presiden dan legislatif saat itu sangat demokratis.
Kondisi makro tersebut memiliki implikasi yang positif bagi penyelamatan dan pembangunan kembali Indonesia. Investor mempercayai Indonesia sebagai negara besar yang memang meletakkan suksesi kepemimpinan nasional melalui proses yang demokratis.
Pemilu 2019 pun demikian. Begitu strategisnya, maka Pemerintah tidak boleh setengah-setengah dalam mendorong pesta demokratis tersebut, agar bisa berjalan secara demokratis. Jajaran intelijen, kepolisian dan TNI harus membuat perkiraan keadaan sejak sekarang. Semua kemungkinan harus dibaca dalam sebuah rencana besar, termasuk rencana kontijensi. Kemungkinan keterlambatan logistik dan distribusi dengan peralatan biasa, maka Pemerintah harus mengambil langkah antisipatif. Meski memang klasik, persoalan distribusi logistik bisa dibilang menjadi persoalan yang berulang saat perhelatan pesta demokrasi berlangsung.
Kekhawatiran benturan antarmassa pun harus menjadi perhitungan. Kesiapan langkah-langkah pengamanan harus melibatkan semua pihak. Begitu pentingnya pengamanan pemilu 2019, upaya mengadu domba TNI-Polri harus diakhiri. Kita harus mewaspadai kemungkinan adu domba TNI-Polri berkaitan dengan pemilu 2019. Oleh sebab itu, harus diambil tindakan tegas siapa yang menghembuskan adu domba tersebut.
Pemerintah pun harus menyerukan partai politik agar diarahkan untuk berkompetisi secara fair, terbuka dan bertanggung jawab. Kaitannya dengan masalah keamanan, harus mampu menghindarkan diri dari tindakan radikal dan agresif emosional.
Peranan pers pun sangat besar. Media massa harus menjadi bagian dalam komunitas politik yang terbuka, informatif dan edukatif. Pers memiliki fungsi kontrol, dan mampu mengungkap setiap persoalan secara terbuka, obyektif dan memperhatikan etika serta sendi-sendi moralitas. Dengan demikian, pemilu 2019 menjadi pemilu yang demokratis, jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia.
Editor | : | |
Sumber | : | Radio Dakta |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments