Terdampar di Selat Malaka Aceh Utara
Pengungsi Rohingya 34 Orang Tewas
JAKARTA_DAKTACOM:Perahu-perahu yang membawa ratusan Pengungsi Rohingya asal Myanmar kembali terdampar di Aceh. Dilaporkan, lebih dari 500 orang Rohingya dievakuasi oleh Tim SAR Indonesia, Ahad (10/05/15) di perairan Selat Malaka, Aceh Utara. Sebanyak 34 orang Rohingya diberitakan tewas dalam perjalanan laut tersebut.
Menurut penuturan salah seorang Rohingya, kepada Heri Aryanto, kordinator Advokasi Pengungsi dari SNH Advocacy Centre, mereka telah terkatung-katung menjadi manusia perahu selama 3 bulan lamanya. Kabarnya saat ini mereka ditampung terpisah di rumah-rumah warga di Desa Matang Raya Barat, di mushola-mushola, dan di pesatren-pesatren sekitar di Aceh Utara.
Konflik yang mendera Rohingya sejak berpuluh-puluh tahun lamanya kata Heri memang tak kunjung selesai. Bahkan secara terang-terangan Pemerintah Myanmar menolak Resolusi PBB tertanggal 29 Desember 2014 untuk mengakui hak kewarganegaraan penuh Rohingya.
Konflik yang memanas di bulan Juni 2012 ini telah menyebabkan terusirnya Rohingya secara paksa dari tanah kelahirannya di Arakan (sekarang Rakhine-red). Diperkirakan, saat ini lebih dari ribuan orang Rohingya telah terdampar di wilayah Indonesia. Berdasarkan data UNHCR Indonesia bulan Februari 2015, lebih dari 748 Rohingya telah memperoleh Status Pengungsi. Ratusan lainnya masih dalam proses menanti Status Pengungsi, dan selebihnya lagi menjadi Pencari Suaka.
Lebih lanjut, Heri Aryanto, mengatakan pengungsi Rohingya terdampar di Indonesia, pertama, karena tujuan pengungsian mereka sebenarnya adalah Australia dan Malaysia, namun karena dibohongi tekong, mereka akhirnya terdampar di Indonesia. Kedua, mereka yang telah bosan tinggal di Malaysia kemudian melarikan diri dan mencari peruntungan ke Indonesia. Ketiga, mereka yang tinggal di Malaysia menikah dengan TKI dan pengungsi Rohingya ikut tinggal di Indonesia dengan TKI tersebut. Dan keempat, mereka yang tanpa tujuan, mengarungi perjalanan laut dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan bahkan bulan ke bulan, dengan tujuan bisa keluar dari Arakan dan mencari perlindungan di negara lain.
Heri, mengungkapkan saat ia ke Sittwe – Myanmar, tahun 2013, bahwa Indonesia hingga saat ini belum memiliki undang-undang yang mengatur pengungsi dan Pencari Suaka. Indonesia juga belum meratifikasi konvensi status pengungsi tahun 1951 dan protokolnya.
Perangkat Hukum kata heri masih jadi andalan Indonesia dalam menangani pengungsi adalah UU No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Ironisnya, dalam UU Keimigrasian tersebut tidak memuat ketentuan mengenai Pengungsi dan Pencari Suaka. Undang-undang tersebut hanya mengatur bagaimana menempatkan orang asing yang masuk wilayah Indonesia tanpa Dokumen Perjalanan yang sah di dalam Rumah Detensi Imigrasi (“Rudenim”).
“Para pencari suaka yang masuk tanpa dokumen perjalanan yang sah menurut UU Keimigrasian diperlakukan sama seperti orang asing yang melakukan kejahatan Imigrasi di wilayah Indonesia”, ujar Heri.
Dijelaskan, upaya menahan para pengungsi dan pencari suaka dalam Rudenim akan menimbulkan persoalan hak asasi manusia. Menurut hasil pantauannya ke Rudenim Tanjung Pinang Kepulauan Riau, Rudenim Belawan Medan, dan Rudenim Kalideres Jakarta pada tahun 2013, kondisi Rudenim tersebut seperti halnya Rutan dan Lapas. Ruangan dengan jeruji besi menjadi penanda khas kamar para deteni. Pengungsi dan Pencari Suaka yang ditahan di Rudenim juga tidak dapat bergerak bebas dan beraktifitas layaknya manusia pada umumnya. Mereka tidak bisa bekerja dan bersekolah. Akibatnya, banyak pengungsi yang tinggal dalam Rudenim selama bertahun-tahun.
“Kelamaan di dalam Rudenim banyak yang melarikan diri, ada yang tewas pada saat melarikan diri, ada yang depresi, bahkan ada yang bunuh diri”, imbuhnya.
Heri mengingatkan bahwa Pemerintah Indonesia bisa dituntut atas dugaan Pelanggaran HAM Para Pengungsi dan Pencari Suaka. “Kemerdekaan bergerak, memperoleh pekerjaan, dan pendidikan adalah Hak Asasi Manusia yang berlaku secara Internasional”, tegasnya. Hak-hak Pengungsi dan Pencari Suaka sebagai seorang manusia dilindungi di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (“DUHAM”) tahun 1948. Di samping itu, Resolusi PBB No.39/46 tanggal 10 Desember 1984 juga melarang segala bentuk tindakan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, pungkas Heri.
Editor | : | |
Sumber | : | SNH Advocacy Centre |
- Malaysia Cabut Kewajiban Penjatuhan Hukuman Mati
- Dua Orang Israel Tewas Ditikam Warga Palestina
- Malaysia Hapus Kewajiban Masker di Pesawat
- China Ancam Balas Dendam jika AS Jual Senjata Rp16 T ke Taiwan
- Takut China-Rusia, Jepang Ngebut Produksi Massal Rudal Balistik
- PM Jepang Copot Menteri yang Punya Hubungan dengan Gereja Unifikasi
- Junta Militer Myanmar Didukung Rusia, Apa Alasannya?
- Jokowi ke China Atas Undangan Xi Jinping
- Korut Hentikan Impor Produk Pencegahan Covid-19 dari China
- 47 Negara Desak PBB Segera Terbitkan Laporan Penyelidikan Xinjiang
- Jet Tempur China Jatuh
- India Berjuang Selesaikan Masalah dengan Dunia Muslim
- Ekstremis Hindu Mau Hapus Situs Muslim di India, Termasuk Taj Mahal
- AS akan Bertindak Tegas Terhadap Uji Coba Rudal Korut
- Palestina: Penggerudukan Al-Aqsa oleh Israel Tindakan Penistaan
0 Comments