Nasional / Budaya /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 12/03/2015 13:38 WIB

Pembentukan Budaya Masyarakat Bekasi

Dari sisi antropologi-fisik, budaya Bekasi telah terbentuk sejak jaman batu muda (neolithicum).
Munculnya situs-situs akeologi di sepanjang pantai utara Jawa Barat tentunya tidak akan terlepas dari perkembangan garis pantai. Penelitian geologi terhadap sejarah perkembangan garis pantai utara Jakarta dan sekitarnya, telah memperoleh data adanya perubahan muka laut, yang menyebabkan terjadinya pergeseran garis pantai yang semakin maju ke arah utara. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka paling tidak telah terjadi empat fase perubahan garis pantai.

Fase pertama, 40.000 tahun silam (pada masa plestosen awal) muka laut berada pada ketinggian 25-35 meter dari permukaan laut sekarang, sehingga garis pantai berada pada daerah-daerah yang sekarang pada ketinggian antara 25-35 dari permukaan laut sekarang yaitu panjang daerah-daerah bagian selatan Tangerang.

Pasar minggu dan sebagian selatan Cikunis. Fase Kedua, sekitar 4.500 tahun yang lalu (pada masa neolitik) muka laut berada pada ketinggian 4-5 meter di atas muka laut sekarang. Sehingga garis pantai pada saat yang lalu terletak pada wilayah utara Teluk Naga, Rawa Burung, Utara Kapuk, dan Pantai Makmur.

Fase Ketiga, sekitat 1.500 tahun yang lalu, yaitu persamaan dengan kehadiran dinasti Suit-Tsang (581 M-906M) Muka laut sekarang. Hal ini ditunjukkan oleh endapan pematangan pantai purba yang kini berada pada ketinggian 2-3 meter diatas muka laut sekarang, yang tedapat pada darega pangkalan 1, utara kandang, serta daerah di antara Marunda dan Pantai Makmur. Fase keempat, sekitar 500 tahun yang lalu, yaitu bersamaan dengan kehadiran dinasti Ming-Qing (Manchu) 1368- 1600M, muka laut berada pada ketinggian sekitar 1 meter diatas muka laut sekarang, yang terdapat pada daerah Dadap, Pluit, Sunda Kelapa, dan Segara Makmur.

Wilayah Bekasi mulai masuk dalam kancah percaturan sejarah sejak ditemukannya situs arkeologi di Desa Buni, Babelan yang terletak disebelah barat kali Bekasi. Penelitian ini situs pertama kali dilakukan pada 1960 oleh Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Kegiatan ini dilakukan berupa eksavasi.

Penyelamatan terhadap benda-benda arkeologi dan situsnya dari gangguan penduduk. Serta bertujuan pula untuk menemukan situs-situs yang masih utuh belum terganggu oleh penggalian liar. Namun kenyataanya di lapangan menunjukkan bahwa semua situs sudah hancur dan temuan-temuannya sudah bercampur aduk.

Kemudian pada 1964,1969, dan 1970 LPPN mengadakan survey di daerha Buni dan sekitarnya. Hasil berupa tembikar terdiri dari macam-macam bentuk dan ukuran berupa periuk, mangkuk berkaki, kendi, dan tempayan. Selain itu ditemukan adanya beliun persegi, artefak logam perungggu dan besi, gelang dari batu dan kaca, perhiasan emas, manic-manik, bandul jala dari terakota, dan tulang belulang manusia. Tampaknya masyarakat Buni telah mengenal tradisi penguburan langsung tanpa wadah dengan tembikar sebagai bekal kuburnya. Namun demikian tidak menutuo kemungkinan bahwa tembikar – tembikar tesebut dimanfaatkan pula untuk keperluan sehari-hari.

Dalam Sejarah Bekasi 1 (1973) juga mencatat di Buni Wates ditemukan periuk berhias. Di Huni Babelan ditemukan alat-alat berupa kerang, peruk, tengkorak, dan tulang manusia, gelang,manic-manik dalam berbagai bentuk dan warna. Cincin dalam berbagai ukutan, dan kapak persegi terbuat dari batu. Penemuan berbagai aneka perhiasaan dari emas dan tulang-belulang manusia yang menggemparkan terjadi pada 1950-an sampai 1970-an. Penemuan pertama tatkala seorang warga Kampung Buni, Dogol, membuat kalenan 9 kali kecil) yang menghubungkan kali Bekasi dengan sawahnya pada 1958. Tiba-tiba cangkul yang diayunkan mengenai benda keras Setelah diperhatikan, ternyata benda tersebut berupa tulang belulang dan tengkorak manusia. Ditulang-belulang itu menempel perhiasan terbuat dari emas berupa kuta (seperti tasbeh) dalam kondisi sudah tercerai berai.

Rupanya, setelah dilakukan penggalian disektiar lokasi, ditemukan pula tulang-belulang dan perhiasan lain. Setiap kali ditemukan perhiasan,disitu pula terdapat tulang manusia. Perhiasan yang ditemukan, diantaranya berbentuk mute, cincin, bintang, kembang kelapa, stambul, topeng, dan mahkota. Dari hasil perbandingan anatar bentuk dan kreasi perhiasan yang ditemukan dengan kreasi tahun 1950-an, ternyata emas temuan tersebut amat berbeda stempel dan berbentuk polos. Penemuan harta karun kampong lain, Kota Bekasi, Jakarta, dan wilayah lain untuk mengadu nasib di Buni. Dampaknya, Buni tempat ditemukannya perhiasan emas itu menjadi ramai laksana pasar. Itu sebabnya, pada perkembangan Kampung Buni lebih dikenal dengan julukan Kampung Buni Pasar Emas.

Tidak jauh dari Kampung Buni Pasar Emas dan Buni Pendayakan, perhiasan juga ditemukan di kampong Kedungringin, Desa Sukaringin, Kecamatan Sukawangi. Disana ditemukan perhiasan emas berbentuk telor ikan, kembang kelapam tali sepatu, songko haji berbahasa arab bertuliskan “Aji Saka”, crong lampu, pedang, kendi. Bersamaan dengan ditemukannya perhiasan emas, juga ditemukan tulang dan tengkorak manusia. Dari Situ menunjukkan, masyarakat kala itu percaya perhiasan tersebut harus digunakan untuk orang-orang yang sudah meninggal dunia.

Perkembangan kemudian menunjukkan bahwa Buni bukan hanya sekear sebuah situs kecil, melainkan suatu kompleks kebudayaan yang cukup luas dengan cakupan disepanjang pantai utara Jawa Barat, di daerah aliran sungai Cisadane, Ciliwung Bekasi, Citarum dan Cipagare. Sehingga dinamakan dengan Komplek Kebudayaan Buni. Kompleks ini mempunyai wilayah sebaran yang dikelompokan menjadi tiga, yaitu kKlompok Tangerang, Kelompok Bekasi, dan kelompok Rengasdengklok, Kelompok Tangerang terdiri atas situs-situs Serpong, Curug dan Mauk. Kelompok Bekasi terdiri atas Bumi, Kerangkeng, Pulo Glatik, Pulo Rengas, dan Tugu. Kelompok Rengasdengklok terdiri atas babakan Pedes, Tegalkunir, Kampung Krajan, Pulolapa, Cibutek, Kebakkendal, Karangjati, dan Cilogo.

Di daerah Cariu, Cibarusah, misalnya telah ditemukan alat untuk memukul kulit kayu. Kulit Kayu itu setelah dipukul-pukul, seratnya ditenun dan lantas dijadikan pakaian. Pada Jaman logam, Bekasi juga memiliki sisa peninggalan. Sebagai contoh, di Kecamatan Setu ditemukan ubaban, yaitu alat yang digunakan untuk Tradisi pembuatan perhiasan menggunakan ubaban sampai saat ini masi lestari. Di sana, sebagian masyarakat Bekasi bermata pencaharian atau jenis usahanya sebagai pengrajin kemasan, khususnya di desa Taman Rahayu Kecamatan Setu.

Kerjaan Tarumanegara yang terletak di antara dua sungai memberikan keuntungan tersendiri, khususnya di bidang pertanian. Pemilihan diantara dua sungai tersebut memberikan peluang bagi Tarumanegara untuk mengembangkan bidang Teknologi, seni, agama dan perdagangan. Namun di sisilain posisi pemukiman yang terletak diantara dua sungai itu juga sangat rentan dan khususnya terhadap bahaya banjir. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada masa pemerintahan Purnawarman saja telah dua kali dilakukan penggalian kanal pengelak banjir. Proyek prestisius itu tertuang dalam prasasti Tugu, yang ditemukan di Cilincing Bekasi, (Sekarang Jakarta Utara).

Pura rajadhirajena guruna pinabahuna Khata khyatam purim prapya Candarabhagarnnavam yayau.
Pravarddhamana dvavincad-vatsare crugunaujasa
Narendadhajabutena Crimata Purnnavarmana
Caitracuckla-trayedcyam dinais siddhaikavincakaih
Ayata satsahasrena dhanimas sacatena ca
Dvavincena nadi ramya Gomati nirmalodaka
Pitamahasya rajarser yyidarya cibiravanim
Brahmanair gg-sahasrena prayati krtadaksina

Artinya:

“Dulu (kali yang bernama) Candrahbaga telah digali oleh Maharaja yang mulia dan mempunyai lengan kencang dan kelaut. Setelah (kali ini) sampai di istana kerajaan yang raja Purnawarman yang berkilau-kilauan karena kepandaiannya dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja (maka sekarang) belaiu menitahkan pula menggali kali yang permai dan berair jernih. Gomati Namanya, setelah sungai iyu mengalir di tengah-tengah tanah kediaman yang mulia Sang pendeta neneknda (Sang Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari tanggal 8 paro-petang bulan phlaguna dan disudai pada hari tanggal 13 paro-terang bulan caitra, jadi hanya 21 hari saja, sedang galian itu panjangnya 6.122 tumbak Selamatan baginya dilakukan oleh para brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”.

Dari benda bersejarah itu menunjukkan bahwa perembangan budaya Bekasi juga dipengaruhi system pemerintahan yang mengalami pasang surut sesuai perkembangan jama. Pada masa pemerintahan kerajaan Tarumanegara, Bekasi menjadi pusat pemerintahan yang otomatis mempengaruhi budaya dan gaya hidup modern terbuka, dan percaya dir.

Sedangkan pada masa masa berikutnya, bekasi hanya menjadi daerah pinggiran. Awalnya, terjadi pada abad Ke-8 tatkala tarumanegara ditaklukan kerajaan sriwijaya. Setelah itu,terutama pada abad ke-14 Bekasi menjadi daerah pinggiran dari kerajaan pajajaran yang berpusat di Pakuan. Pada abad ke-16 kekuasaan beralih ke tangan kerajaan jayakarta yang berpusat di sunda kelapa.
   
Berikutnya, Bekasi menjadi daerah pinggiran saat veerenigde oost indische companie (VOC) Menguasai Jayakarta dan menggatinya menjadi Batavia. Kekuasaan itu lantas dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda sampai 1942. Ketika itu, Bekasi yang berstatus distrik dimasukan kedalam wilayah residensi Batavia, regenscap atau kabupaten Meester Cornelis (Jatibnegara).
   
Pada abad ke-19 terjadi penyerapan golongan Mardijjers, Papangers, ke dalam penduduk Indonesia sehingga jumlah mereka menjadi makin besar, sengga jumlah penduduk belian menurun. Dengan demikian, maka terjadi arus berbalik mengenai jumlah penduduk bila dibandingkan dengan tingkat kedudukan golongan kedudukan golongan 17. Menjelang abad ke 20 dalam kedudukamn hukumdikenal 3 golongan: Eropa Timur Asing (Cina, Arab, dan India) dan Indonesia. Pakaiannyapun harus disesuaikan dengan kedudukan mereka secara hukum, bahkan penggunaan bahasa Belanda pun hanya diperbolehkan bagi orang Eropa.

Menurut Lance Castle, dalam sensus yang dibuat pemerintah Belanda disebutkan di Pulau Jawa terdapat beragam suku seperti Sunda, Jawa, Madura, dan etnis baru Batavian Malay sendiri. Diantara warga, sebagian berstatus budak.Setelah status budaknya dicabut karena ada larangan perbudakan, mereka  menikah dengan orang lain. Golongan Betawi seperti ini di tahun 1930 sebagaian dari nenek moyang adalah budak dan sebagian tidak budak. Namun pendapat ini dibantah warga Betawi yang sejak berabad-abad sebagai orang kaya dan bukan budak.

Dibandingkan dengan kekuasaan pemerintah yang lain, pemerintah Hindia Belanda lebih kuat pengaruh dan eksploitasnya, karena mereka menggunakan model birokrasi yang cukup ketat dan efektif. Ketika itu, sistem penguasaan tanah dikuasai oleh para tuan tanah (kandheer) yang sebagian besar dari etnis Cina.

Penguasaan tanah dan kehidupan ( hak eigendom) yang dimiliki para tuan tanah yang berlangsung sekitar satu abad itu tentu saja di satu sisis menciptakan budaya khas. Namun di sisi lain melemahkan nilai-nilai positif masa lampau, seperti mentalitas dan masyarakat mandiri menjadi skeptis, minder, rendah diri, terbelakang, dalam bidang pendidikan dan ekonomi.

Sementara tokoh masyarakat pribumi dan para jagoan atau jawara yang seharusnya melindungi penduduk asli, malah mengabdi kepada kepentingan pemerintah atau tuan tanah. Jawara yang membela rakyat kecil, seperti Entong Tolo yang muncul pada awal abad ke 20 malah dibuang pemerintah ke Manado, Sulawesi Utara, karena menjadi ancaman bagi pemerintah. Sedangkan protes masyarakat dengan muudahnya diredam dengan cara menerjunkan aparat kepolisian, yang tentu saja lebih berpihak kepada tuan tanah. Gerakan protes petani Bekasi tahun 1913 adalah salah satu contoh kasusnya.***


* Tulisan ini dikutp dari Budan dan Adat Istiadat Asli Bekasi.


Editor: Imran Nasution






























 

Editor :
- Dilihat 5570 Kali
Berita Terkait

0 Comments