Opini /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 16/05/2017 14:00 WIB

Populisme, Keramahan Jawa, dan “Amok”

aksi bela islam 2
aksi bela islam 2
Oleh:  Ismail Al Alam
 
Dalam tulisan “Dua Pembacaan Aksi Bela Islam” di situs wartapilihan.com, saya mengidentifikasi beberapa sarjana yang menggunakan istilah “populisme” dalam mengkaji Aksi Bela Islam. Kalau ditelusuri landasan filosofisnya, konsepsi populisme sekarang berasal dari filsuf pos-marxis asal Prancis, Ernesto Laclau. Secara singkat, Laclau menyebut bahwa kesadaran kolektif kerumunan orang akan mencuat tatkala beberapa gelintir di antara mereka berhasil menghembuskan desas-desus keberadaan musuh bersama yang mengancam kolektivitas. Kerumunan yang awalnya berlatar belakang beragam menjadi memiliki satu penanda baru untuk mengidentifikasi dirinya.
 
Bagi Laclau, populisme tidak bermasalah di dalam dirinya. Jika modernisme Pencerahan menyebut semangat keagamaan dan atau kesukuan adalah masalah yang harus dientaskan sebagai sampah peradaban, posmodernisme justru mengakui mereka sebagai ekspresi politikal yang mesti diberi ruang sejajar untuk saling berebut hegemoni. Filsuf Italia kontemporer, Norberto Bobbio, bahkan secara peyoratif menyebut istilah “kiri” dan “kanan” dalam tradisi politik Eropa modern adalah semacam populisme juga, di mana tidak ada Kaum Kiri yang esensial menjalankan syariat Karl Marx secara kaffah sebagaimana tidak ada Kaum Kanan yang menjalankan sunnah Ludwig von Mises sesuai amalan generasi salaf mereka. Bobbio menyebut data yang kaya dari praktik macam itu, terutama setelah keruntuhan Sovyet: di Austria, di Inggris, di Prancis, dan sebagainya yang saya sudah lupa rinciannya.
 
Lalu apa yang salah dari suatu “populisme Islam” di Indonesia sekarang, yang oleh beberapa media digambarkan seseram pocong di film-film Raam Punjabi? Sebelum menjawabnya, saya ingin sedikit berpikir sok antropologis dengan menjadikan pengalaman saya mengunjungi Yogyakarta dan Surakarta beberapa hari ini sebagai permulaan.
 
***
 
Mengapa keramahan orang Jawa di kampungnya masing-masing berbeda dengan beberapa orang Jawa (khususnya yang masih tercirikan betul kejawaannya: bahasa/logat, wajah, dsb.) di Jakarta yang seringkali menjadi pemarah? Saya cuma sesekali mengunjungi Jawa, atau lebih tepatnya wilayah yang sebagian besarnya dihuni masyarakat dengan suku Jawa, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Kepentingan saya ke sana cuma untuk berwisata dan berjumpa keluarga, baik keluarga kandung atau teman baru yang hangat seperti keluarga, dan tidak pernah dalam rangka penelitian kebudayaan tertentu karena saya belum punya kecakapan itu.
 
Dari kunjungan ala kadarnya ke Jawa itu, saya menemukan keramahan di hampir setiap orang, baik itu polisi, mahasiswa, pedagang, petani, bahkan preman penjaga lahan parkir. Kala memasuki terminal bis, misalnya, beberapa wajah dengan tindikan di tepi alis atau telinga menyapa saya dengan ramah dan tulus. Hal yang sama terjadi di warung makan dan kedai kopi. Sebagai orang Jakarta -atau lebih tepatnya, lahir, berkuliah, dan bekerja di Jakarta- benak saya langsung tertuju pada kekhawatiran-kekhawatiran kecil. Di Jakarta, mas-mas dengan logat yang sama dan pekerjaan yang sama, khususnya di sektor-sektor informal dalam kategorisasi para kapitalis (sopir, tukang becak, tukang parkir, dsb.) lebih sering berlaku garang jika merasa tersinggung sedikit oleh sikap orang lain.
 
Tiba-tiba saya teringat tentang percakapan Minke dengan (kalau tidak salah) redaktur di koran tempatnya bekerja, di novel Anak Semua Bangsa. Kata sang redaktur, petani yang tidak memiliki apa-apa lagi untuk mempertahankan dirinya akan meng-amuk. Amuk adalah kemarahan yang diiringi tindakan-tindakan agresif di luar perkiraan, baik dilakukan oleh pribadi atau berjama’ah. Karena tidak punya padanannya dalam bahasa mereka, Eropa menyerap kata itu dalam kamus mereka. Jadilah istilah “Amok”.
 
Mengapa para pengadu nasib yang datang ke Jakarta untuk mengisi sektor-sektor informal itu, termasuk orang Jawa, lebih sering meng-amuk atau ngamuk? Dengan penjelasan yang tidak ilmiah di atas karena diambil dari novel, saya menganggap bahwa terlalu banyak harga diri mereka yang direndahkan bahkan dinistakan oleh sebuah gugus keangkuhan bernama Jakarta.
 
Orang-orang yang merasa lebih berada secara materi sering memandang kaum papa sebagai manusia rendah. Pembantu rumah tangga, yang bekerja untuk “membantu” urusan rumah yang tidak sempat dikerjakan oleh kita, sering diperlakukan sebagai budak yang harus mengerjakan apa saja dengan upah bulanan yang sama. Perbuatan ini disertai dengan tindak merendahkan sehingga ledekan “Dasar pembantu!” menjadi ungkapan yang lumrah untuk menghina orang. Sinetron-sinetron memperkuat citra ini dengan menampilkan sosok pembantu yang berlogat medok, lugu, dan jauh dari kepintaran. Ini suatu penistaan terhadap kemanusiaan! Karena pembantu biasanya perempuan, kita jarang menemukan pembantu mengamuk. Amukan lebih sering dilakukan lelaki di sektor-sektor lain yang disebut di atas, yang juga dianggap rendahan.
 
Semua itu adalah hilir-hilir yang berasal dari hulu sama: menganggap kampung sebagai entitas menjijikan, sehingga mereka yang tidak hidup sesuai kepatutan Jakarta adalah “kampungan”.
 
***
 
Apa hal di luar perputaran uang dengan jumlah besar, yang dijanjikan sebuah kota bernama Jakarta? Kaum “kampungan” itu, bersama kaum miskin kota yang telah lama ada, kini memang kian mengeras dalam bentuk populisme. Kalangan sekuler akan menganggap hal itu sebagai kemunduran, apalagi jika isu populisnya adalah kebangkitan agama di ruang publik dan atau penguasaan ekonomi oleh segelintir orang. Tetapi jika mengacu pada Laclau, hal itu tidaklah buruk pada dirinya. Ia menjadi keburukan jika diungkapkan dalam bentuk penistaan terhadap agama atau etnis lain, juga tentu dalam bentuk amuk berskala besar. Pemuka agama Islam, yang suaranya sedang didengarkan lebih baik dibanding sebelum semangat populisme ini muncul, punya kewajiban untuk mengajarkan cara menyalurkan aspirasi yang benar dan bermartabat sesuai akhlak Islam, alih-alih ikut menyebarkan ungkapan populis yang keliru. Kalau kaum sekuler tidak suka akan hal itu atas nama negara modern, dan di sisi lain terus menggunakan analisis populisme-nya Laclau, mereka berarti  posmo separo.
 
Lantas bagaimana dengan orang-orang berada yang saya singgung di atas? Sosiolog posmo, Zygmunt Bauman menganalisis ketercerabutan masyarakat dari ikatan-ikatan primordialnya entah itu agama atau suku ketika memasuki hingar-bingar kota modern, yang diperparah dengan arus informasi posmodern di segala gawai canggih. Kondisi tercerabut itu membuat mereka merindukan sesuatu yang asali, murni, dan bisa dijadikan pegangan sehingga timbul rasa aman.
 
Sebagian orang memilih humanisme sebagai pegangan itu, tetapi humanisme angkuh ala modernitas yang didapat di ruang kuliah dan kantor adalah penarikan jarak baru supaya lekas berpisah dari orang-orang “kampungan” itu. Sebagian lain memilih agama yang menyediakan telaga; tetapi agama yang dimaksud sering diambil sisi fungsionalnya saja, seperti penghilang stress dan penjamin mutlak bagi benar-salahnya suatu ritus yang menutup keragaman lain dalam agama itu sendiri.
 
Kalau kelas menengah muslim (istilah yang akan didiskusikan di tempat saya bekerja, beberapa jam lagi, bersama seorang peneliti politik LIPI) masih memandang agamanya -yang memiliki kebenaran mutlak dan menyempurnakan akhlak- seperti tesis Bauman di atas, ia telah salah langkah. Keadaan itu akan semakin parah jika perlakuannya terhadap pembantu, petani, kuli bangunan, tukang becak, dan tukang-tukang lain masih dilekati keangkuhan modernitas. Itu bukan umat Kanjeng Nabi, dan jangan tunggu amukan mereka untuk mau merenungkan hal ini.
 
Kita semua manusia, dan terlebih lagi, kita semua hamba Allah dengan syariat yang mengatur kehidupan bersama untuk tercapainya masyarakat beradab sepenuh cinta!
 
Wallahu a’lam
Editor :
Sumber : santricendikia.com
- Dilihat 3424 Kali
Berita Terkait

0 Comments