Opini /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 17/04/2015 10:40 WIB

Imam Masjidil Haram Menghilang, ke Mana?

Masjidil Haram jelang Isya
Masjidil Haram jelang Isya

Penulis:  M.Basyir

Bagi muslim Indonesia, terutama yang biasa menikmati suara murattal para masyayikh, tentunya tidak asing dengan nama Syaikh Suud Shuraim. Ketika melantunkan tilawah Al-Qur’an, suara khas beliau seolah tidak bosan untuk dinikmati. Dengan intonasi sedang, membawa pendengar semakin kagum akan kebesaran kitab suci umat Islam.

Beliau menjadi salah satu dari lima imam dan khatib Masjidil Haram, Makkah Al-Mukarramah. Beliau juga dikenal memiliki doa yang mustajab dan mendapat berbagai karomah sebagai alim dan ahli ibadah. Diceritakan pada suatu malam beliau melakukan shalat tahajud bersama para jamaa. Saat itu ayat yang dibaca adalah:

Di tengah bacaan, ia tiba-tiba menangis dan tidak sanggup lagi melanjutkan tilawah. Tak lama kemudian, turunlah hujan yang diharapkan para jamaah. Padahal, saat itu sudah lama tidak turun hujan di daerah tersebut. Tidak hanya saat itu, dalam shalat-shalatnya yang lain pun beliau seringkali menangis lantaran khusyuk. Inilah yang menjadikan para jamaah senantiasa rindu dan menunggu kehadirannya.

Namun, belakangan ini –sekitar dua bulan—namanya tidak lagi terdengar. Terakhir kali, beliau terlihat menjadi imam dan mengisi khutbah Jumat di Masjidil Haram tanggal 6 Februari lalu. Dalam khutbah tersebut, beliau menyinggung soal eksekusi mati pilot Yordania, Muadz Kasasbeh. Kejadian itu menunjukkan bahwa umat masih diliputi kejahiliyahan, kerasnya hati, dan cinta akan balas dendam serta kebebasan. Jika kondisi terus seperti ini, umat Islam akan jauh dari kemenangan atas musuh-musuhnya.

Bukan hanya itu, tweet-tweetnya pun sepi. Padahal, jutaan follower telah menunggu “kicauan” penuh nasehat yang selalu beliau posting. Satu postingan terakhir adalah tanggal 30 Januari 2015, beberapa hari sepeninggal raja Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz, yaitu saat beliau mengunggah foto yang berisi syair Arab berjudul “Kepada Menteri yang Terhormat”. Bunyi syair tersebut adalah:

Wahai saudaraku, Engkau telah dimuliakan dengan mendapat jabatan sebagai menteri * Saat mulai tertipu dengan jabatan, Engkau pun menjadi sombong

Sesering apakah Engkau bermimpi mendapatkan jabatan yang tinggi * Sekarang mimpimu sudah menjadi kenyataan

Mereka mengangkatmu untuk memimpin suatu urusan, maka dari itu istiqamahlah * Jangan sesekali engkau mempermainkan jabatan, karena di sana ada belenggu

Beliau juga mengatakan :

Saya mengingat menteri yang telah melepaskan jabatannya * Begitu juga denganmu, Engkau akan melepaskan jabatanmu

Syair beliau pun ditutup dengan kalimat:

Inilah zaman yang senantiasa terus berputar * Dan tidak mungkin alam semesta ini tetap pada satu keadaan

Maka berlaku shidiqlah wahai hamba Allah, karena Engkau akan meletakkan jabatanmu * Sifat shidiq akan terus bertahan, sementara jabatan menteri akan lepas juga
Status terakhir di twitter Syaikh Suud Shuraim

Status terakhir di twitter Syaikh Suud Shuraim

Saat kematian Raja Abdullah, para ulama dan intelektual sama-sama berduka dan mengucap belangsungkawa. Selain itu mereka juga menyebut-nyebut dengan hormat dan menyanjung sang raja. Ucapan rahmat dan permintaan maghfirah pun tak terlepas dari lisan dan tulisan mereka. Tetapi, tak satupun tulisan yang keluar dalam twitter Syaikh Shuraim. Padahal, Syaikh Abdurrahman Sudais yang bertindak sebagai pengganti imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, tidak lupa berbelasungkawa kepada sang raja.

Tentu, hal ini menjadi satu tanda tanya tersendiri. Di saat para ulama dan intelektual saling mengucap belasungkawa, Syaikh Shuraim justru diam. Bisa saja ini sebagai bentuk sifat wara’-nya yang tidak ingin dipuji penguasa dan hanya berdoa kepadanya, “Ya Allah, perbaikilah hatinya.”, ataupun lantaran sebab lain yang tidak diketahui dan tidak diumumkan.

Pemerintah Saudi lewat Raja Salman belum lama ini kembali mendaulat Syaikh Shuraim menjadi salah satu imam dan khatib Masjidil Haram. Setelah sebelumnya, di era Raja Abdullah, Syaikh pernah memberi kritik atas kebijakan pemerintah Saudi terhadap kudeta Al-Sisi di Mesir. Bahkan, beliau dituduh berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin lantaran hal ini, sehingga menyebabkannya dicopot dari jabatan imam.

Terhadap konflik yang terjadi di Suriah, sikap beliau juga tegas menyatakan dukungan terhadap rakyat selaku oposisi. Bahkan, dalam khutbahnya Syaikh menghimbau kepada para jamaah untuk membantu saudara-saudara mereka di Suriah dengan bantuan apapun yang dimampui. Ini tidak jauh berbeda dengan seruan-seruan Syaikh Al-Arifi dalam mimbar-mimbarnya yang mendukung rakyat Suriah dan presiden terguling Mursi dan IM. Di mana hal ini menyebabkan Syaikh Arifi dipenjara.

Sebuah hal yang maklum dalam pemerintahan Saudi, kebijakan pemerintah yang berlaku terkadang bersikap otoriter. Sebuah kritik terhadap pemerintah kadangkala berbuah penjara. Tidak hanya menyasar para dai-dai lokal, para ulama kelas internasional pun ketika “lancang” terhadap pemerintah pun, harus bersedia meringkuk dalam jeruji. Syaikh Al-Arifi hanya satu contoh, di samping Syaikh Sulaiman bin Nashir Al-Ulwan juga pernah merasakannya.

Dari beberapa kejadian terkait Syaikh Shuraim, ada satu hal lagi yang masih menyisakan sebuah tanda tanya besar. Pemerintah Saudi telah resmi menjadikan Syaikh Suraim sebagai salah satu imam dan khatib di Masjidil Haram di samping empat masyayikh lainnya; Syaikh Sudais, Shuraim, Shalih bin Hamid, Shalih Alu Thalib, dan Usamah Khayat. Pun demikian, ketika Syaikh sudah tidak lagi menjabat atau memberhentikan diri dari posisinya, seharusnya ada sebuah pengumuman dari pemerintah Saudi. Karena, posisi yang dijabatnya ini adalah salah satu posisi terpenting di dalam negara Saudi sendiri.

Jika demikian, apakah nasib beliau sama dengan yang dialami Syaikh Al-Arifi? (Kiblat.net)



 

Editor :
Sumber : raialyoum
- Dilihat 7316 Kali
Berita Terkait

0 Comments