Opini /
Follow daktacom Like Like
Senin, 24/08/2015 09:45 WIB

Pemimpin Publik Tidak Boleh Cacat Nalar Kemanusiaan

Penggusuran kampung Pulo ricuh
Penggusuran kampung Pulo ricuh

Oleh : Manager Nasution (Komisioner Komnas HAM)

 

JAKARTA_DAKTACOM: Sekira jam 6.51 WIB pagi ini (24/8), HP saya bergetar menerima postingan seorang kawan wartawan salah satu TV nasional, "HAM Versi Ahok untuk Melindungi Rakyat Banyak - http://news.detik.com/read/2015/08/22/102139/2998358/10/ham-versi-ahok-untuk-melindungi-rakyat-banyak". Dan WA-nya diakhiri dengan permintaan, "Bang, beri komen dong".

Sebagai lembaga negara yang dimandati oleh UU untuk menilai dan mengawasi perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM warga negara oleh negara utamanya pemerintah, Komnas HAM wajib hukumnya merespon  permintaan kawan wartawan itu yang tentu juga sebagai penyambung aspirasi publik.

Seperti diwartakan media, Gubernur DKI Basuki T Purnama (Ahok) tak gentar menghadapi pemrotes relokasi Kampung Pulo Jakarta Timur. Karena bertujuan baik, Ahok terus menguatkan tekad meski kebijakannya dihadang kerusuhan, dan relokasipun jalan.

Dibalik keteguhan sikapnya membenahi Jakarta, ada konsep Hak Asasi Manusia (HAM) versi Ahok sendiri. Ini dinyatakan Ahok saat rapat rapat dengan Komunitas Ciliwung Merdeka di Balai Kota DKI, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, pada 24 Juli 2015 yang lalu. Rekaman videonya diunggah di Youtube oleh Pemprov DKI pada 25 Juli.

"Kalau saya ditanya, 'Apa HAM anda?' Saya ingin 10 juta orang hidup, bila dua ribu orang menentang saya dan membahayakan 10 juta orang, (maka dua ribu orang itu) saya bunuh di depan anda," kata Ahok dengan wajah serius.

Selanjutnya diwartakan, Ahok memilih membela lebih banyak orang meski harus mengorbankan beberapa orang yang menghalangi tujuan baik. Agaknya, meski tentu tak disebut Ahok, ini mengingatkan pada adagium, 'the greatest happiness for the greatest number'.

Memang terdengar mengerikan bila berbicara soal nyawa manusia, namun Ahok tetap melanjutkan perkataannya bahwa dia bisa memperlakukan 'sedemikian rupa' para penentang kemaslahatan khalayak banyak.

"Itu HAM saya. Supaya kamu tahu, saya punya pandangan. Itu saya. Saya nggak mau kompromi. Saya bunuh di depan anda dua ribu, depan TV, semua itu. Korbankan dua ribu di atas 10 juta," tutur Ahok dalam suasana hening ruangan berisi belasan peserta rapat itu.

Ahok juga berbicara, dalam konteks relokasi Kampung Pulo, ada penduduk yang memang memanfaatkan situasi banjir yang rutin itu dengan meraup untung. Keuntungan didapat dari bantuan yang datang seturut banjir.

Ahok tak mau meladeni sikap 'manja' dan 'nakal' rakyat semacam itu. Untuk melancarkan kebijakannya, memang dibutuhkan keberanian.

"Jangan berpikir Gubernur nggak berani duel sama kamu. Berani saya. Kalau satu lawan satu, ayo," tantang Ahok retoris. (http://news.detik.com/read/2015/08/22/102139/2998358/10).

Sekira betul beliau menyampaikan pandangan seperti itu, apalagi secara sadar, dalam konteks Kampung Pulo, itu terang benderang keliru. Ada baiknya pemimpin publik meluangkan waktu membaca kembali instrumen HAM, agar hati, pikiran, dan lakunya sesuai dengan perspektif HAM. Tidak ada adagium 1 (satu) orang dibunuh untuk menyelamatkan 10.000 atau bahkan 10 juta orang. Adagium seperti itu cacat nalar kemanusiaan. Itu hanya ada dalam kondisi perang. Kita jelas tidak dalam masa perang. Dalam masa seperti ini prinsip HAM yang adil dan beradab, seperti sila kedua Pancasila, yang benar---bukan HAM-nya ala-Ahok yang harus diperjuangkan.

Editor :
Sumber : Ulil Albab
- Dilihat 4730 Kali
Berita Terkait

0 Comments