Opini /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 17/01/2020 10:40 WIB

Senjakala Industri Media

Ilustrasi perkembangan media (istimewa)
Ilustrasi perkembangan media (istimewa)
DAKTA.COM - Oleh: Boy Aditya 
 
Sebagai orang yang bekerja di media (wartawan), saya sempat merenungkan dengan pergeseran tren masyarakat dalam menggunakan platform media baik untuk mendapatkan informasi maupun sekadar hiburan semata.
 
Seperti kita ketahui, sejak hadirnya ponsel pintar (smartphone) dan munculnya sosial media bernama Facebook lebih kurang satu dekade silam, maka semua perangkat kini sudah berada dalam genggaman kita.
 
Smartphone kita selain bisa menjadi telepon dan surat, juga berperan menjadi jam, kalender, televisi, radio, komputer, bahkan bank. Kini semua bisa kita nikmati dalam benda canggih yang sehari-hari sudah menjadi seperti istri kita sendiri. Bahkan ada istilah, lebih baik enggak makan ketimbang enggak ada kuota. Atau lebih baik enggak bawa dompet daripada enggak bawa HP.
 
Segitu pentingnya peranan smartphone yang kita miliki, sehingga telah menggantikan semua peranan penting manusia. Dengan search engine bernama Google, kita tidak butuh lagi apa itu kamus, RPUL, atau RPAL sebagai rujukan hal-hal umum penting yang ingin kita ketahui.
 
Bahkan pada kasus terkini, nyaris anak muda zaman now tidak lagi menggunakan sarana media konvensional -baik cetak maupun elektronik- untuk mengetahui berita terkini. Semua berada dalam genggaman kita.
 
Saya memperhatikan kini anak muda nyaris tidak ada lagi yang menggunakan sarana televisi untuk mencari hiburan atau berita sejak kehadiran YouTube. Mungkin hanya generasi di atas kita yang sudah berusia setengah abad lebih, yang masih membaca koran dan menonton berita di pagi hari. Sementara saya dan mungkin kebanyakan para pembaca sudah lupa, kapan terakhir kali membeli koran.
 
Jika media televisi saja yang dianggap menjadi media paling berpengaruh beberapa dekade silam sudah terancam dengan keberadaan YouTube, maka bagaimana media cetak berupa koran dan majalah yang beberapa diantaranya sudah gulung tikar karena tak mampu bersaing dengan situs berita online.
 
Keberadaan radio masih cukup terbantu dengan adanya perangkat itu di mobil, namun nampaknya para pengendara roda empat juga lebih memilih menyetel mp3 player dibandingkan harus mendengar ocehan sang penyiar. Karena ia bisa langsung mendengarkan lagu kesukaannya tanpa harus mengirimkan pesan kepada penyiar untuk memutarkan lagu tersebut.
 
Alasan serupa juga yang membuat para anak muda kini lebih memilih channel YouTube dibandingkan menonton televisi. Kita bisa langsung memilih tayangan yang kita mau di kolom search.
 
Sementara di televisi, kita harus menunggu acara kesukaan kita ditayangkan sesuai dengan jadwalnya. Bahkan para artis yang kerap muncul di televisi pun kini berlomba-lomba untuk membuat channel YouTube sendiri.
 
Atas alasan tersebut, kini channel TV berbayar pun pada beralih kepada aplikasi ponsel yang menyediakan fasilitas video streaming, semua ini karena mereka memahami pergeseran tren yang terjadi pada kurun waktu terakhir. Ambil contoh adalah Nexmedia yang sudah tutup warung dan kini bertransformasi menjadi aplikasi Vidio.
 
Banyak media televisi besar yang kini sudah melakukan perampingan karena menyadari damage cost yang dikeluarkan cukup besar. NET TV misalnya, mengusung misi 'Televisi Masa Kini' dan mempunyai acara yang dianggap cukup berkualitas tetapi harus membubarkan divisi pemberitaan mereka atas alasan efisiensi.
 
Sementara itu, berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari mantan reporter di MNC Media, ia harus bekerja di empat stasiun televisi milik Hary Tanoe sekaligus dengan bayaran yang sama! Dia harus melakukan live report sekaligus di INews, RCTI, MNC TV, dan GTV dalam jangka waktu yang berdekatan.
 
Perkembangan sosial media juga begitu mengancam profesi wartawan, karena adanya fitur live yang memungkinkan mereka melakukan perekaman yang langsung disiarkan kepada para follower/friends mereka.
 
Hal ini saya sadari ketika serah terima jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017, yakni pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Dimana para emak-emak militan lebih galak untuk mengambil gambar ketimbang kami yang wartawan asli.
 
Maka dari itu, belakangan ini saya sering berpikir, apakah profesi wartawan masih menjanjikan dalam beberapa tahun ke depan? Mengingat kecanggihan teknologi informasi yang semakin masif, dimana kita sulit membedakan mana berita fakta, mana berita fiktif.
 
Lalu apakah ini juga menjadi senjakala industri media? Mengingat kini masyarakat lebih suka menggunakan media sosial dibandingkan media konvensional. **
Reporter :
Editor :
- Dilihat 2123 Kali
Berita Terkait

0 Comments