Opini /
Follow daktacom Like Like
Senin, 16/09/2019 17:06 WIB

Mewaspadai Penjajahan Ekonomi Atas Nama Investasi

Ilustrasi investasi
Ilustrasi investasi
DAKTA.COM - Oleh: Irma Sari Rahayu, S.Pi
 
Bank Dunia menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi global akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. Indonesia akan semakin terpuruk akibat tingginya Defisit Transaksi Kerja atau Current Account Deficit (CAD) yang diproyeksikan di akhir 2019 mencapai Rp33 miliar dolar AS, sedangkan investasi hanya Rp22 miliar dolar AS. Atas kondisi ini, Bank Dunia memberikan solusi untuk meningkatkan investasi guna mempertahankan perekonomian Indonesia (detik.com/6/9/2019).
 
Pemerintah pun bereaksi cepat menanggapi usulan ini. Terlebih lagi Bank Dunia mengabarkan hengkangnya 33 perusahaan dari Cina tetapi tidak satupun masuk ke Indonesia (detik.com/12/9/2019). 
 
Disinyalir, salah satu penyebab enggannya para investor masuk ke Indonesia adalah rumitnya peraturan perizinan. Maka demi menarik investor lebih banyak, pemerintah akan merombak 72 undang-undang (UU) terkait perizinan investasi (CNNIndonesia.com/12/9/2019).
 
Konsep ekonomi kapitalis neoliberal menjanjikan adanya peningkatan ekonomi dan kesejahteraan suatu negara melalui investasi. Diharapkan, dengan mengalirnya investasi secara besar-besaran ke Indonesia bisa membuka peluang kerja, meningkatkan daya saing industri dan mendongkrak perekonomian lokal. 
 
Namun, benarkah demikian? Pada faktanya investasi justru membahayakan. Pertama, investasi menghantarkan kepada penjajahan ekonomi negeri ini. Para investor dapat dengan mudah menguasai aset-aset bangsa yang menguasai hajat hidup orang banyak.
 
Hal ini ditandai dengan  diterbitkannya undang-undang bercorak neoliberal, yang memungkinkan investor menguasai SDA strategis. Belum lagi pencabutan subsidi, menjual BUMN, menaikkan pajak, hingga kemudahan masuknya tenaga kerja asing.
 
Semua dilakukan pemerintah sebagai konsekuensi perjanjian yang diajukan oleh para investor. Alih-alih menyejahterakan, rakyat justru semakin terbebani dengan semakin mahalnya biaya kebutuhan yang harus mereka tanggung. 
 
Kedua, secara ideologis, investasi telah mengubah haluan ekonomi dan politik negeri ini menjadi pelayan bagi kepentingan negara besar. Tidak ada lagi wibawa dan kemandirian bangsa dihadapan negara investor. Secara hakiki bangsa ini menjadi mudah disetir negara lain untuk mengayomi kepentingan mereka.
 
Setop Bergantung pada Investasi
 
Allah SWT berfirman, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin.” (TQS. an-Nisa’ [4]: 141).
 
Tentu tak selayaknya kaum Muslim negeri ini rela menjadi bulan-bulanan negara Kafir.  Maka jalan untuk mengakhirinya adalah dengan menerapkan sistem ekonomi Islam secara kaffah. Sebuah sistem yang akan menjalankan roda ekonominya secara mandiri dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam dan manusia yang dimiliki. 
 
Mendanai negara dari pos pemasukan rutin seperti pos fai dan kharaj, pos zakat, dan pos kepemilikan umum. Negara juga bisa memperoleh tambahan dana yang besar dari penguasaan sebagian harta milik umum seperti minyak, gas, barang tambang, dan hutan, yang dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk menutup berbagai kebutuhan negara seperti militer, kesehatan, pendidikan, dan sarana-sarana umum (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Negara Khilafah). 
 
Hal ini hanya bisa diwujudkan jika pemerintah memiliki keinginan kuat untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri dan melepaskan ketergantungan dengan negara lain. **
 
Editor :
Sumber : Irma Sari Rahayu, S.Pi
- Dilihat 3531 Kali
Berita Terkait

0 Comments