Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi, Pendiri INSISTS
Seorang dosen universitas Islam kenamaan suatu ketika ditanya mahasiswanya tentang status Alquran dalam kajian sains dan humaniora. Jawabnya, “Sains adalah sains, kitab suci adalah kitab suci. Biarkanlah Alquran sebagai firman Tuhan di atas sana.”
Jawaban ini maksudnya Alquran adalah kitab suci yang sulit dipahami dan tidak ada hubungannya dengan sains dan humaniora. Ini membingungkan.
Baru-baru ini seorang aktivis parpol tertentu mengomentari pemahaman surah al-Maidah ayat 51 dalam kaitannya dengan haramnya memilih pemimpin non-Muslim. Ia menyatakan, “Yang tahu makna atau tafsir surah itu hanya Tuhan, kita sebagai manusia tidak tahu.”
Ini juga pernyataan yang sama bingungnya dengan yang pertama. Seakan-akan Alquran itu kitab suci yang mustahil dipahami manusia.
Pandangan dosen tadi berindikasi adanya paham sekuler pada dirinya. Tampaknya ia yakin bahwa kebenaran sains dan humaniora dapat dibuktikan secara empiris sementara kebenaran kitab suci atau teologi tidak bisa. Seakan hal-hal yang empiris tidak mungkin dimasuki agama, dan sebaliknya.
Ia seperti lupa bahwa banyak ayat kauniyah dalam Alquran bisa dibuktikan secara empiris. Mungkin ia juga tidak mendalami bahwa banyak ayat kauniyyah dalam Alquran yang memerlukan ta’wil al-ilmi.
Pandangan aktivis parpol itu seperti terpengaruh oleh mitologi Yunani atau mungkin ia baru membaca filsafat hermeneutika postmodern. Di zaman Yunani memang ada kisah bahwa pesan dewa-dewi di Olympus itu “tidak dapat dipahami manusia”. Karena itu, orang terpaksa memahaminya melalui Hermes atau penyair Homer.
Singkatnya, cara penafsiran pesan dewa-dewi ini kemudian dijadikan metode penafsiran para filosof. Plato menggunakan hermeneutika alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekadar pengertian literal. Selain itu, Stoic juga menerapkan doktrin inner logos dan outer logos (inner word and outer word). Sementara, Aristotle memakai tafsir menekankan pada teori logika dan semantik.
Metode hermeneutika yang pertama digunakan kalangan teolog Kristen untuk menafsirkan Bible adalah metode alegoris. Namun, perkembangan selanjutnya ketika hermeneutika berubah menjadi filsafat, interpretasi objek tafsirnya bukan hanya pesan dewa-dewi, wahyu Tuhan, tapi juga teks sastra. Untuk teks sastra, hermeneutika diperlukan. Namun, untuk teks wahyu, filsafat tafsir ini akan memunculkan banyak masalah.
Boleh jadi yang mengatakan firman Tuhan tidak bisa dipahami oleh manusia secara mutlak terinspirasi oleh wacana di kalangan Katolik. Robert M Robinson, seorang tokoh Katolik AS, menulis begini:
“It is very common today for people to say “We cannot understand the Bible alike”. Such a statement is often offered in defense of the more than 400 different denominations that exist in the world.”
Ini berarti Bible tidak bisa dipahami sama oleh semua orang. Di sini para cendekiawan Muslim lalu meng-copy-paste dan mengatakan “satu ayat seribut tafsir”, “tidak ada tafsir tunggal”, “yang tahu makna Alquran yang sesungguhnya hanyalah Tuhan”, dan seterusnya.
Suatu ketika saya coba sampaikan tren cendekiawan Muslim ini kepada al-Attas. Beliau spontan menjawab, “Tidak ada perintah dalam Alquran agar manusia memahami Alquran seperti yang dimaksud oleh Allah. Kita juga tidak diperintah untuk mengenal Allah dengan hakikat yang sesungguhnya,” demikian seterusnya.
Jika Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu tidak dapat dipahami oleh umatnya, maka berarti Nabi telah dianggap gagal membawa risalahnya. Jika Alquran tidak dapat dipahami oleh umat Islam, mustahil peradaban Islam tegak berdiri dan berkembang selama 7-10 abad lamanya.
Selain itu, pemahaman manusia dengan tafsir yang bermacam-macam tidak berarti Alquran sulit dipahami. Tafsir-tafsir itu menunjukkan bahwa Alquran dapat dipahami dari berbagai aspek. Tafsir-tafsir yang bertentangan antara satu dengan lainnya hanya sedikit. Itu pun tidak pernah mengubah hal-hal yang bersifat muhkamat atau thawabit.
Al-Attas bahkan menganggap tafsir Quran sebagai karya ilmiah dengan metode ilmiah dan mendekati sifat sebuah ilmu pasti. Sebab, jika orang menafsirkan Alquran, ia harus merujuk bahasa Arab, ayat Alquran yang lain, dan hadis. Maka al-Attas tegas bahwa, “Dalam tafsir tidak ada ruang bagi perkiraan; tidak ada ruang untuk interpretasi berdasarkan pada pemahaman subjektif, atau pemahaman yang hanya didasarkan kepada ide tentang relativisme historis ….” Maka dari itu, untuk menakwilkan sebuat ayat aturan-aturan yang ketat, ia harus bersesuaian dengan ayat-ayat lain yang muhkamat (yang jelas) dan harus didukung oleh hadis-hadis nabi yang sahih.
Ini berbeda dari upaya pemahaman kitab suci dengan teori filsafat tafsir yang disebut hermeneutika itu. Hermeneutika adalah takwil dari luar teks dan lepas dari makna bahasa. Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834) memahami Bible dengan intuisi untuk memahami psikologi pengarang. Sementara, hermeneutika Wilhelm Dilthey (1833-1911) menggunakan “teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Ini tafsir yang mementingkan sejarah daripada teks Alquran.
Selain itu, Martin Heidegger (1889-1976) juga sama. Ia menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna kehidupan dan bukan apa yang tertulis dalam teks. Gadamer dalam karyanya, Truth and Method, menganggap hermeneutika sebagai metode interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter.
Lebih-lebih teori Jurgen Habermas (1929- ) yang menekankan pemahaman kepada kepentingan sosial (social interest) termasuk kepentingan kekuasaan (power interest). Ricoeur (1913- ) seorang Katolik Prancis, berangkat dari teori sendiri bahwa teks berbeda dari percakapan karena ia terlepas dari kondisi asal yang menghasilkannya, niat penulisnya sudah kabur, audiennya lebih umum, dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Asumsi Recour, teks tidak dapat dipahami jika sudah terlepas dari kondisi asal penulisnya.
Intinya, teks keagamaan (wahyu) dalam pandangan liberal tidak dapat dipahami oleh penulisnya. Ini relevan dengan teori hermeneutika di Barat yang berangkat dari ujaran bahwa firman dewa-dewi atau firman Tuhan tidak bisa dipahami dan berakhir dengan teori interpretasi yang sarat dengan kepentingan. Maka, Ernest Gellner menyimpulkan bahwa kebenaran objektif akan digantikan oleh kebenaran hermeneutika, sebab kebenaran hermeneutika lebih mengutamakan subjektivitas objek yang dikaji dan pengkajinya, dan bahkan subjektivitas pembaca atau pendengar.
Upaya cendekiawan Muslim untuk “mengadopsi” filsafat hermeneutika sebagai alternatif tafsir Alquran masih harus dikaji lebih serius. Metode tafsir dalam tradisi intelektual Islam tidak bisa dibandingkan dengan metode hemeneutika dalam tradisi Yunani ataupun Kristen, apalagi diganti. Sebab, makna realitas dan kebenaran yang menjadi acuan konsep dan teori para hermeneut berbeda jauh dari teori dan konsep Islam.
Jadi, jika Muslim tidak paham makna Alquran, ia tidak perlu bilang “hanya Allah yang tahu”. Jika Muslim tidak mampu menafsirkan makna Alquran, ia tidak perlu minta tolong Hermes, Habermas, Gaddamer, Paul Ricour, dan sebagainya. Ia hanya perlu bertanya kepada ayat-ayat lain, kepada Rasulullah SAW, dan para ulama yang rasikhun fil ilmi.
Editor | : | |
Sumber | : | InPas Online |
- Mengapa Agama Jadi Kriteria Utama Calon Istri Menurut Islam? Begini Penjelasannya
- Banyak Gunung Alami Erupsi, Benarkah Pertanda Kiamat Dekat?
- 8 Keutamaan Mengajarkan Ilmu
- Sikap-Sikap yang Termasuk dalam Kemurtadan
- Ramadhan Telah Pergi, Bagaimana Kualitas Keimanan Kita?
- Hindari Kufur Nikmat, Berikut Lima Cara Mendapat Kepuasan Hidup
- Empat Janji Allah yang Tertuang Dalam Alquran
- Muhasabah Bagi Mukmin
- Cara Mempertahankan Iman Setelah Ramadhan
- Istighfar Sebagai Pembuka Pintu Rezeki
- Parfum Jabir bin Hayyan
- Bagaimana Islam Memandang Kesehatan Mental?
- Doa Meminta Keturunan yang Saleh
- Ikhtiar dan Tawakal
- Janganlah Mencela Makanan
0 Comments