Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 18/07/2017 08:15 WIB

Apindo Minta Kajian Mendalam Terkait Upah Minimum

Ilustrasi Penolakan Upah Murah
Ilustrasi Penolakan Upah Murah
JAKARTA_DAKTACOM: Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendorong pemerintah untuk segera melakukan kajian mendalam mengenai korelasi kenaikan upah minimum di Indonesia dengan perkembangan industri, terutama industri padat karya.
 
Menurut Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani, industri padat karya cukup terbebani dengan tingginya kenaikan upah minimum yang diterapkan oleh pemerintah.
 
Sebenarnya, industri padat karya memiliki skema khusus penghitungan upah minimum berdasarkan Instruksi Presiden No.9 Tahun 2013 tentang Upah Minimum Sektor Padat Karya.
 
Jika mengacu pada regulasi ini, rata-rata kenaikan upah minimum sektor ini sebesar 8,25%. Namun, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan, pengaturan upah minimum pekerja berpeluang naik mencapai 30%.
 
“Beberapa hari yang lalu, perwakilan pengusaha, buruh, dan pemerintah sudah duduk bersama untuk memfasilitasi persoalan antisipasi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja di Provinsi Jawa Barat,” katanya, Senin (17/7).
 
Dalam waktu dekat, pemerintah akan memberlakukan aturan upah khusus tekstil di empat kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat yakni Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi.
 
Pasalnya, pengusaha garmen di empat kawasan tersebut terancam gulung tikar karena tidak mampu memenuhi kenaikan upah minimum. Dengan perkiraan ratusan ribu buruh yang bergantung pada sektor garmen di empat kawasan itu, maka pemerintah memutuskan untuk melakukan intervensi.
 
Intervensi itu dilakukan dengan melakukan revisi pada Inpres No.9 Tahun 2013 dengan menghilangkan pasal yang berbunyi bahwa insentif upah minimum bisa diberikan asalkan upah minimumnya masih berada di bawah nilai Kehidupan Hidup Layak (KHL). Kenaikan upah minimum dibedakan antara industri padat karya dengan industri lainnya.
 
“Tetapi akibat kenaikan upah minimum yang gila-gilaan, sudah tidak ada lagi yang di bawah nilai KHL. Maka pernyataan ini dihilangkan supaya dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak,” tekannya.
 
Dia mengungkapkan persoalan yang terjadi di Jawa Barat ini hanyalah sebagian kecil persoalan industri padat karya yang mengemuka. Di kawasan tersebut, perusahaan-perusahaan terkait harus mengikuti peraturan pemerintah tentang pengupahan untuk mendapatkan pesanan ekspor, jika tidak mengikuti aturan pemerintah maka pesanan ekspor akan berhenti per Juli tahun ini.
 
“Kebetulan saja industri di Jawa Barat ini berorientasi ekspor hingga persoalan ini mengemuka. Tapi, industri padat karya lainnya sudah mundur teratur karena kenaikan upah minimum dan menurunnya daya beli,” ujarnya.
 
Mengutip data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), kinerja ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) mengalami stagnansi sejak 2010-2015 dengan rata-rata ekspor di bawah US$13 miliar. Angka ini masih jauh di bawah Vietnam dengan nilai ekspornya mencapai US$26,2 miliar pada 2014.
 
Padahal, pada 2005, ekspor Vietnam hanya US$5,3 miliar, sedangkan Indonesia sudah mencapai US$8,6 miliar pada tahun yang sama. Penurunan nilai ekspor salah satunya disebabkan oleh turunnya daya saing Indonesia.
 
Selain sektor TPT, Hariyadi menyebutkan ritel juga termasuk sektor padat karya. Data BPS pada 2015 mencatat jumlah pekerja yang diserap oleh sektor ini sebanyak 25,8 juta orang pada 2014. Akibat adanya kebijakan pengupahan yang agresif dan menurunnya daya beli, dampak penurunan ritel cukup dirasakan, terutama jika melihat menurunnya jumlah tenaga kerja per m2 dalam luasan lantai pusat belanja.
 
Sementara itu, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi), Timboel Siregar mengemukakan regulasi upah minimum untuk sektor garmen tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku.
 
“Bila upah minimum khusus sektor garmen nilainya lebih rendah daripada upah minimum yang berlaku, maka regulasi itu sudah melanggar ketentuan Undang-undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2013 dan PP No 78 Tahun 2015,” sebutnya. 
Editor :
Sumber : Bisnis.com
- Dilihat 1583 Kali
Berita Terkait

0 Comments