Oase Iman /
Follow daktacom Like Like
Senin, 17/07/2017 11:30 WIB

Jalan Terjal Umat Islam

Jalan terjal
Jalan terjal
Oleh: Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
 
Namanya Abdullah bin Ubay bin Salul. Dia muslim dan tokoh, tapi ucapan serta tindakannya gemar menyakiti kaum Muslimin. Berislam tanpa ghirah dan kedalaman iman. Sosok ini kontroversial, tak segan keluar dari barisan umat Islam. Dialah representasi figur nifaq dan fasiq!
 
Abdullah awalnya Kepala Suku Bani Khazraj di Yatsrib. Kemudian masuk Islam setelah Nabi dan kaum Muslimun hijrah ke Madinah. Konon pengetahuannya lumayan cukup, dan tentu saja bahasa Arab-nya fasih. Namun, keislamannya tidak pernah tuntas,  hingga sering berkhianat pada perjuangan Nabi dan umat Islam.
 
Banyak peristiwa gaduh akibat fitnah, ujaran, dan siasat Abdullah bin Ubay. Dia otak intelektual di balik peristiwa hadis al-ifqi yang memfitnah Siti Aisyah radliyallahu 'anha. Sosok ini pasca perang Ahzab dan pada peristiwa pengkhianatan Banu Musthaliq pernah berujar bahwa kaum yang terhina --maksudnya Nabi dan umat Islam-- akan diusir dari Madinah. Dia pula bersama pengikutnya berkhianat pada Perang Uhud, yang berakhir dengan kekalahan umat Islam.
 
Abdullah bin Ubay selalu menyimpang dari barisan umat Islam dan menyebabkan masalah di tubuh kaum Muslimin. Umar bin Khattab sampai meminta izin Rasulullah untuk memenggal kepalanya karena selalu bikin fitnah dan masalah di internal umat Islam. Putranya yang shaleh,  Abdullah bin Abdullah bin Ubay, justru mengajukan diri sebagai pelaku yang siap menghukum ayahnya itu jika Nabi mengizinkan.
 
Nabi tentu tak merestuinya, bahkan baginda memintakan ampun kepada Allah atas segala perbuatan nifaq Abdullah bin Ubay itu. Hingga kemudian turun ayat Al-Quran, yang artinya: "Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." (QS At-Taubah: 84).
 
Problem klasik
 
Umat Islam Indonesia maupun di fora Dunia Muslim sering ditimpa beban berat karena masalah internal dirinya. Islam mahjubu bil-muslimin , ujar Muhammad Abduh. Saksikan di Timur Tengah saat ini, betapa porakporandanya saudara-saudara Muslim. Kehadiran ISIS (Isalamic State of Iraq and Syiria ) apapun dan siapapun di belakangnya, muaranya berujung pada penghancuran Dunia Arab dan Islam. Suriah dan Yaman hancur karena perang saudara. Arab Saudi dan kawan-kawan harus berhadapan dengan Qatar.
 
Di negeri ini perbedaan paham dan kepentingan sesama umat Islam jika tidak dibarengi jiwa toleransi tinggi berpotensi memperlemah kekuatan Islam. Saling tuding ekstrim dan radikal dapat menjadi pemicu. Baik dalam tatanan umum lebih-lebih dalam perbedaan kepentingan politik, potensi centang perenang masih menjadi problem klasik umat Islam Indonesia. Pilpres dan Pilkada sering menjadi ajang fragmentasi kaum Muslimin, satu sama lain tidak jarang saling berseberangan dan berhadapan. Sulit dibangun kekuatan umat yang kohesif.
 
Secara normatif umat Islam itu satu, tetapi secara entitas belum menyatu dan menjadi kekuatan utama dalam panggung politik nasional. Selalu ada yang keluar dari barisan umat Islam. Fragmentasi politik Masyumi di masa silam dengan keluarnya beberapa elemen Islam tahun 1948 dan 1952, serta kelahiran Nasakom maupun banyaknya partai Islam pada Pemilu 1971 seakan terdaur-ulang pada era reformasi. Fakta sejarah itu seakan membenarkan tesis Eickelman dan Piscatori, bahwa antarkomponen Islam selalu terjadi kompetisi dan persaingan tinggi yang melibatkan ajaran dan simbol Islam, sehingga tidak melahirkan entitas politik yang utuh dalam arus utama politik Islam.
 
Problem fragmentasi politik ini berbanding lurus dengan hasrat dan perangai politik yang pragmatis ketika berkuasa dalam pemerintahan. Terhadap sesama seiman tidak saling mendukung dan menguatkan namun sebaliknya memotong, meminggirkan, dan melemahkan. Benturan dan saling rebut kepentingan jauh lebih kental ketimbang ikhtiar saling negosiasi, agregasi, dan kohesi antar sesama komponen Islam. Fakta politik ini sebenarnya pahit, tetapi berlangsung seperti lazim.
 
Akibat lebih jauh umat Islam tidak memiliki daya tawar politik yang kuat di kancah nasional karena satu sama lain bergerak sendiri dan rawan dipecah-belah. Seperti dilukiskan Nabi, laksana domba yang mudah dicincang srigala dan membuat umat melemah. Memang secara normatif jargon ukhuwah atau persatuan dan kesatuan umat Islam selalu didengungkan nyaring, tetapi begitu masuk pada arena kepentingan kekuasaan semuanya berantakan karena hasrat ananiyah-hizbiyah masih kokoh dalam kesadaran komunal sebagian kaum Muslim.
 
Problem politik klasik ini makin diperparah oleh kelemahan umat Islam di bidang ekonomi. Karena dhu'afa secara ekonomi, di antara umat Islam sering mudah tergantung pada pihak lain dan menjadi sumber objek penderita dalam banyak hal. Sebagian gampang tergiur proyek dan kepentingan pihak lain. Karenanya sering menjadi broker dan sekadar mengikuti irama orang lain, yang tidak segan menyudutkan sesama kaum Muslimin. Akibat lebih jauh tentu saja pengawetan ketergantungan, sekaligus kian melemahkan posisi dan peran strategis umat Islam selaku mayoritas yang mandiri dan berkemajuan.
 
Jalinan umat
 
Bagaimana keluar dari problem klasik umat Islam yang selalu menjadi beban sejarah ini? Jika umat lemah secara politik dan ekomomi, maka kunci pentingnya ialah persatuan atau kebersamaan. Beban berat jika disangga bersama tentu menjadi lebih ringan. Dengan bersatu atau bersama maka umat menjadi kuat, sebaliknya karena centang perenang maka umat pastilah lemah dan kalah. Sejarah menunjukkan pada perang Badar umat Islam menang, sebaliknya di Uhud kalah, kunci utamanya pada soliditas umat sendiri.
 
Namun ibarat lingkaran setan, untuk bersatu itu pun tidaklah mudah. Ukhuwah banyak didengungkan secara lisan, tulisan, dan seminar. Dengan bangga sebagian memperkenalkan jargon ukhuwah dalam beragam istilah indah. Tetapi praktik ukhuwah itu sungguh tak mudah, sebagai jalan terjal yang sama beratnya dengan membangun kekuatan politik dan ekonomi umat. Sedikit saja kepentingan sendiri terganggu, dengan mudah menyeruak arogansi ananiyah-hizbiyah.
 
Kendala ukhuwah justru berada di internal umat Islam sendiri. Beragam paham dan pandangan makin meluas dan mengeras. Satu sama lain seakan ingin saling mengislamkan, sehingga ibarat berebut ikan di kolam sendiri. Paham mudah sesat-menyesatkan, memberi label negatif, hingga  takfiri atau menuding pihak lain ekstrem dan radikal lama kelamaan menjadi kultur keagamaan yang menyeruak dalam kesadaran kolektif sebagian komponen Islam. Kadang atraktif dan terkonstruksi menjadi true-beliefing atau fanatik-buta.
 
Faktor kepentingan golongan atau kelompok sendiri juga menguat, sehingga sulit untuk dipertemukan. Demi kue kekuasaan sesama komponen umat tergoda saling menegasikan, meminggirkan, dan menjatuhkan. Umat menjadi sulit bertemu tulus kecuali untuk hal-hal yang seremonial. Ukhuwah dan persatuan berhenti di ranah jargon dan ujaran, tidak membumi di dunia nyata secara autentik. Padahal dalilnya fasih bahwa sesama umat Islam agar umat bersatu dan jangan bercerai-berai (QS Ali Imran: 103).
 
Jika umat Islam ingin jaya maka niscaya menggalang jalinan ukhuwah yang jujur dan autentik dengan berbagai langkah nyata menuju satu Islam untuk semua. Batu ujinya ketika bersimpang jalan, pandangan, dan kepentingan. Karenanya ukhuwah antar umat Islam, di samping dengan sesama warga bangsa dan umat manusia sedunia, sungguh perlu diikat erat dan kuat dalam jalinan tali Islam yang hanif. Ruhnya harus iman, taqwa, dan jiwa ishlah (QS Al-Hujarat: 10) untuk mengalahkan segala hasrat kepentingan diri.
 
Bagi kepentingan memajukan umat dan bangsa dari berbagai ketertinggalan sungguh seluruh komponen umat perlu menjalin ikatan dan kerjasama yang konstruktif. Umat Islam masih tertinggal secara ekonomi, pendidikan, iptek, politik, dan budaya. Semuanya memerlukan energi kolektif yang kuat sesama umat Islam. Jika ormas dan kelompok umat Islam masih lemah dan berjalan sendiri-sendiri, apalagi centang perenang, maka mana mungkin dapat memajukan umat dan bangsa.
 
Keragaman paham jangan menghalangi kehendak untuk bersatu dalam menjalin kerja sama strategis. Demikian halnya dengan perbedaan kepentingan dan pilihan strategi perjuangan, sungguh diperlukan tradisi baru bernegosiasi agar tidak tersandera oleh kemaruk kuasa dan libido ananiyah-hizbiyah yang merah menyala. Batu uji ukhuwah Islamiyah justru di kala ada benturan paham, kepentingan, dan orientasi strategi yang berbeda. Sanggupkan sesama umat Islam saling bernegosiasi, berbagi, dan berkorban demi kemajuan bersama kaum Muslimin. Manakala dengan orang lain bisa berukhuwah, kenapa dengan sesama seiman begitu susah?
 
Ukhuwah umat Islam selain dengan sesama umat seiman dan seagama, tentu sama pentingnya menjalin ukhuwah dengan seluruh warga bangsa hatta dengan yang berbeda agama sekalipun. Namun dalam ukhuwah pun perlu jiwa tawasuth atau moderat yang pusatnya pada keseimbangan. Dengan jiwa tawasuth terhindar dari ekstrimitas, termasuk sikap ektrem merasa diri paling moderat. Karena terlalu ekslusif, sering terkendala ketika harus berhubungan dengan sesama anak bangsa yang berbeda. Sebaliknya karena terlalu ingin inklusif sering kesulitan menjalin hubungan dengan sesama umat sendiri, malah tidak jarang menegasikan dan memberi stigma-stigma negatif.
 
Sungguh, umat Islam Indonesia tengah menempuh jalan terjal dalam perjuangan dirinya untuk keluar dari problem klasik dalam ranah politik, ekonomi, dan jalinan ukhuwah yang strategis. Lebih-lebih di era media sosial yang mudah menebar fitnah dan memancing amarah yang berujung retak di tengah Islam. Kendati kita sering menghibur diri bahwa umat Islam Indonesia sebagai model bagi umat Islam sedunia, klaim positif itu sebenarnya masih semu layaknya kembang api yang memercikkan sinar indah di malam hari. Selebihnya, perangai kolektif umat ini masih agak kumuh dan perlu mujahadah untuk keluar dari kemelutnya sendiri.
Editor :
Sumber : muhammadiyah.or.id
- Dilihat 3950 Kali
Berita Terkait

0 Comments