Mutiara Hikmah /
Follow daktacom Like Like
Senin, 10/07/2017 11:00 WIB

Filsafat Islam dan Aqidah

Ilustrasi pemikir
Ilustrasi pemikir
Oleh: Bahrul Ulum, Peneliti InPAS
 
Ketika Islam mencapai kejayaannya, para ulama dan cendekiawan Muslim mulai  melakukan penerjemahan terhadap naskah-naskah berbahasa Yunani, Romawi dan lain-lainnya.
 
Terjemahan itu dilakukan pada masa permulaan kejayaan Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al Rasyid, buku-buku bahasa Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Demikian juga banyak ilmuwan yang dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
 
Usaha terjemahan itu mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al-Makmun (198-218 H/813-833 M). Perpustakaan-perpustkaan yang dibangun oleh penguasa maupun para hartawan dipenuhi dengan buku-buku terjemahan.
 
Awalnya, terjemahan difokuskan pada pengetahuan tentang kedokteran. Namun dalam perkembangannya, para ilmuwan Islam juga menerjemahkan pengetahuan-pengatahuan lain seperti  filsafat.
 
Alasan umat Islam menerjemahkan ilmu dari Yunani ini, karena ketika itu masih banyak masyarakat non-Islam di daerah taklukkan Islam yang berusaha menghancurkan Islam. Kelompok ini secara terang-terangan tidak berani menghadapi umat Islam karena jumlah mereka sedikit dan secara militer tidak memiliki kekuatan.
 
Cara mereka menyerang Islam yaitu dengan menggunakan argumen-argumen berdasarkan falsafat Yunani.
 
Oleh sebagian cendekiawan Islam, gejala ini dinilai sangat berbahaya bagi aqidah kaum Muslimin, khususnya mereka yang baru masuk Islam. Serangan tersebut tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula.
 
Akhirnya para cendekiawan Islam mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani yang dikenal mengutamakan akal dan kekebebasan berfikir.
 
Dengan memanfaatkan materi filsafat dari para filsuf Yunani, seperti Plato, Aristoteles, Pitagoras, Demokritos dan Plotinus, serta berpegang teguh pada ajaran al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW, para filsuf Muslim membangun satu corak filsafat baru yang dikenal sebagai filsafat Islam.
 
Ilmu ini berkembang pesat di Baghdad dan  wilayah Islam bagian Timur.Selanjutnya, ia berkembang ke wilayah Islam di Barat yaitu Spanyol pada abad ke-4 H. Di wilayah ini, kegandrungan umat islam mempelajari filsafat juga tidak kalah dengan wilayah Timur. 
 
Hal ini karena dorongan dan bantuan dari pihak penguasa, terutama pada masa pemerintahan khalifah Hakam II (350-366 H/ 937-953 M) di Andalusia Spanyol, sangat besar.
 
Berkembangnya ilmufilsafat di dunia Islam pada akhirnya melahirkan sejumlah filsuf terkenal seperti Al-Kindi, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd dan al-Ghazali.
 
Filsafat Islam di Persimpangan Jalan
 
Para filsuf Muslim di zaman klasik Islam dikenal sangat menghargai pemikiran dari tradisi filsafat Yunani sejauh tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam.
 
Mereka mengembangkan pemikiran para filsuf Yunani sedemikian rupa, sehingga tersedia ruang bagi tampilnya kebenaran asasi dalam Islam. Namun, yang kerap kali menjadi pertanyaan adalah bagaimana mempertalikan serta menyelaraskan pemikiran para filsuf Yunani ini dengan ajaran pokok Islam.
 
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat.
 
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan  menurut Al-Kindi  menjadi tujuan  dari keduanya. Agama disamping berasal dari wahyu,  juga memerintahkan menggunakan akal, dan filsafat juga menggunakan  akal.
 
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran. Disamping itu, pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya.
 
Filsafat al-Kindi juga mengarah kepada al-Ilmu al-Insani Wa Ilmu al-Ilâhi, yang mana bagi al-Kindi filsafat merupakan segala upaya untuk menyerupai segala perbuatan Tuhan sesuai dengan batas kemampuan manusia. 
 
Sehingga dari pengertian tersebut al-Kindi mengatakan bahwa seorang filosof adalah sosok yang menjadikan kesempurnaan dan kemuliaan Tuhan sebagai contoh atau sandaran utama. Dengan demikian seorang filosof berusaha sekuat tenaga untuk menyerupai keutamaan dan keunggulan Tuhan sehingga pada akhirnya mereka menjadi manusia sempurna.
 
Al-Farabi memaknai filsafat sebagai ilmu yang mengkaji tentang alam fisika sebagaimana keberadaannya. Ia juga mengatakan bahwa tujuan filsafat adalah untuk mengetahui Tuhan sebagai Dzat yang Esa dan tidak digerakkan dan Tuhan merupakan sebab utama bagi segala sesuatu. 
 
Filsafat al-Farabi sedikit banyak dipengaruhi oleh Arestoteles yang mana ia juga mengatakan bahwa adanya Tuhan adalah yang menggerakkan dan tidak digerakan, dalam hal ini filsafat al-Farabi lebih ditekankan pada disiplin ilmu filsafat (analisis filsafat).
 
Ibnu Sina memaknai filsafat sebagai kreativitas pemikiran yang denganya manusia memperoleh berbagai pengetahun tentang dirinya. Sehingga dengan pengetahuan dirinya tersebut manusia bisa menentukan segala amal perbuatan yang seharusnya ia lakukan untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang mulia, logis sesuai dengan alam fisika dan menyiapkan diri untuk meraih kebahagian di akhirat sesuai dengan batas kemampuan manusia.
 
Pemikiran-pemikiran para filsuf Islam tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh kaum Muslimin. Sebagian ulama malah menentang dan menganggapnya bid’ah. 
 
Wallahu’alam
Editor :
Sumber : InPas Online
- Dilihat 16384 Kali
Berita Terkait

0 Comments