Daktatorial /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 13/06/2017 10:00 WIB

Disiplin dan Etos Kerja Jepang: Cara Baru, Gaya Lama

Ilustrasi pekerja di Jepang
Ilustrasi pekerja di Jepang
Oleh: Saeful Munif, Pegiat Komunitas Nuun
 
Jepang dianggap sebagai salasa satu negara sukses dewasa ini. Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa dengan tingkat disiplin waktu dan etos kerja yang tinggi. Hal ini sering kali dilihat sebagai sebuah keajaiban dan keberuntungan. Padahal keadaan Jepang pada awal abad ke-20 sangatlah buruk. Nasib kolonial kita ini tak baik-baik amat.
 
Pada tahun 1923, gempa Kanto mehancurkan kota Tokyo. Sementara Perang Dunia II telah menghancurkan sebagian wilayah Jepang. Puncaknya bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang kalah tanpa syarat. Negeri Matahari Terbit ini kemudian menjadi negara yang porak poranda. 
 
Pada awal abad ke-21, Jepang juga mengalami bencana besar yaitu gempa dan tsunami Sendai tahun 2011. Negeri itu juga berhadapan dengan musibah kebocoran reaktor nuklir Fukushima Dai-ichi. Yang terbaru, Jepang diguncang gempa Kumamoto pada tahun 2016. Akan tetapi bencana-bencana tersebut dapat diatasi oleh bangsa Jepang.
 
Ada suatu tatanan nilai yang kukuh dipegang bangsa ini, sehingga ia menjadi pedoman untuk melalui berbagai ujian. Nilai tersebut bisa tak bersesuaian dengan iman kita, tetapi tak ada salahnya kita belajar dari hal tersebut.
 
Sistem nilai merupakan suatu tata penimbang baik atau buruk dan menjadi pedoman dalam suatu masyarakat. Biasanya hal ini dibentuk oleh budaya dan kebiasaan masyarakat penganutnya. Nilai tersebut akan menentukan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dianggap baik atau buruk. 
 
Untuk menemukan nilai-nilai yang tampak pada masyarakat Jepang pada masa ini, kita perlu dengan sungguh-sungguh melihat Jepang pada masa sekitar pemerintahan Tokugawa atau dikenal zaman Edo.
 
Zaman Edo merupakan masa setelah perang saudara, yang didahului oleh kekacauan sosial, ekonomi dan politik selama hampir 300 tahun serta sebelum masa suram akibat Perang Dunia II. Jepang telah bersatu pada 1592 di bawah penguasa militer, Toyotomi Hideyoshi, yang kemudian dilanjutkan oleh Tokugawa Ieyasu. Pada zaman Edo, masyarakat Jepang mulai membangun kembali nilai-nilai luhurnya karena telah memasuki masa damai yang membawa kepada kemakmuran dan ketertiban.
 
Hal ini semakin lengkap dengan kebijakan Jepang yang disebut Sakoku atau secara harfiah, penutupan negara dari dunia luar pada tahun 1639. Konfusianisme menjadi ideologi negara pada masa pemerintahan Tokugawa. Ajaran ini disebarkan melalui sekolah di masing-masing daerah. 
 
Di Jepang, Konfusianisme kemudian menjadi bagian dari bushido (jalan samurai) yang dipadukan dengan ajaran Shinto dan Budha aliran Zen. Nilai Konfusianisme secara umum adalah menuntut hidup hemat, disiplin diri dan mau berkorban dalam menjalankan kewajibannya. Hal ini tercermin juga dalam prinsip hidup samurai.
 
Pada paruh kedua pemerintahan Tokugawa, terdapat tokoh yang memiliki pengaruh besar pada perkembangan sistem nilai yang baru ini. Tokoh tersebut adalah Ishida Baigan. Kehidupan Baigan diceritakan dalam Ishida Sensei Jiseki (Prestasi Guru Ishida), karya seorang muridnya. 
 
Sebagian masa karier Baigan dihabiskan sebagai seorang karyawan yang rajin. Dia dilahirkan pada 1685 di sebuah dusun kecil berhawa pegunungan di desa Toge, yang sekarang menjadi bagian dari stasiun Kameoka, prefektur Kyoto. 
 
Keluarga Baigan merupakan keluarga petani kelas menengah. Pada usia 11 tahun, Baigan telah dikirim ke Kyoto sebagai seorang magang (detchi). Biasanya setelah beberapa tahun mempelajari perdagangan, seorang magang menjadi karyawan dan meningkat maju menjadi tedai, kemudian yadori dan akhirnya mendirikan usahanya sendiri.
 
Baigan mengalami ketidakmulusan dalam kariernya meskipun dia seorang yang tekun. Majikannya mengalami kesulitan usaha ketika Baigan mulai bekerja. Saat kembali mengunjungi orang tuanya, ia mengenakan pakaian-pakaian yang pernah dipakainya empat tahun yang lalu. 
 
Baigan menerima keadaan tersebut tanpa mengeluh sedikit pun. Dia diajarkan untuk menganggap bahwa tuannya merupakan ayah dan sekaligus majikan. Karenanya ia harus mengabdi dengan setia dan itulah yang telah dilakukannya. 
 
Jika engkau menganggap seseorang sebagai ayahmu, engkau tidak akan mengatakan kesalahan-kesalahannya kepada orang lain di luar. Begitu pula dengan masa sekarang, seorang karyawan perusahaan rela melakukan bunuh diri untuk melindungi rahasia-rahasia perusahaan. Loyalitas Baigan juga tidak kurang dari itu.
 
Baigan kembali bekerja sekali lagi di Kyoto saat berumur 23 tahun. Dia bekerja pada seorang penjual makanan kering bernama Kuroyanagi. Dia bekerja sebagai juru tulis dan wiraniaga. Setelah lama bekerja di tempat tersebut, dia mengidap neurosis dan pekerjaannya mulai terlantar. 
 
Ibu si majikan menganjurkan agar dia pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan. Awalnya Baigan menolak saran itu karena majikannya akan menanggung biayanya dan itu merupakan pemborosan. Namun akhirnya dia menerima saran itu. 
 
Saat sakitnya sembuh, Baigan merasa telah mencuri uang majikannya hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Kemudian dia menjelaskan kepada majikannya dan menjual pakaian serta pedang pendeknya. Dengan uang tersebut, dia membayar uang yang telah diberikan majikannya.
 
Pada usia 43 tahun, Baigan mengundurkan dari pekerjaannya dan 2 tahun kemudian membuka sebuah akademi swasta kecil di rumahnya di Kurayama-chō, Kyoto. 
 
Awalnya tidak ada yang tertarik untuk masuk ke akademinya. Baigan yang sudah tua, tidak berpendidikan dan hanya mantan juru tulis sama sekali tak mencirikan seorang pendidikn yang handal. Akan tetapi Baigan tidak ingin mengambil untung dari pendidikan yang diberikannya. 
 
Perhatian utamanya tertuju pada bagaimana membagikan kebijaksanaan yang telah diperolehnya kepada orang lain. Tanpa berusaha menarik perhatian, banyak orang yang ingin menjadi muridnya karena kata-kata yang muncul dari mulutnya. 
 
Dua tahun kemudian, dia memutuskan untuk pindah ke Sakai-chō karena rumahnya sudah terlalu sempit untuk menampung murid-muridnya. Akademinya tetap kecil walaupun muridnya sudah berganti dua generasi. Meski demikian, Sekimon Shingaku (sekolah etika popular Ishida) telah berkembang luas hingga mencapai tiga kota besar saat itu (Kyoto, Osaka dan Edo). Kebijaksanaan Baigan telah mempengaruhi pemikiran sebagian besar penduduk Jepang.
 
Antara masa hidup Ieyasu dan Baigan, terdapat tokoh karismatik bernama Suzuki Shōsan (1579). Pemikiran Baigan banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Shōsan meskipun lahir 30 tahun sesudah wafatnya. Shōsan adalah seorang samurai dari Mikawa (sekarang wilayah Aichi) dan menjadi pembantu dekat Tokugawa Ieyasu. 
Dia telah ambil bagian dalam perang saudara hingga masa damai di bawah pemerintahan Tokugawa. Kemudian dia menjadi pegawai kotapraja di Osaka selama bebeberapa saat. Pada tahun 1620, dia mencukur rambutnya untuk alasan yang sangat pribadi layaknya seorang pendeta. 
 
Shōsan memilih menjadi seorang rahib Zen hingga mencapai usia 77 tahun. Tulisan terpenting Shōsan berjudul Banmin Tokuyo (Keutaman dari Segala-galanya), yang merupakan gabungan dari karya sebelumnya, Shimin Nichiyo dan Sanbo Tokuyo.
 
Pemikiran Shōsan tentang pekerjaan sehari-sehari menjadi pegangan bagi orang Jepang hingga sekarang. Menurutnya, pekerjaan sehari-hari merupakan praktik Budha jika itu dilakukan dengan maksud dan tujuan yang benar. 
 
Seorang petani, tukang atau pedagang, lebih mulia daripada seorang pendeta yang paling saleh sekalipun karena para pendeta hampir sama sekali tidak bekerja. Shōsan justru menghargai mereka yang menjalankan pekerjaan yang sangat penting bagi kehidupan dunia. 
 
Pekerjaan duniawi adalah asketisme religius. Seseorang yang berusaha bersungguh-sungguh memahami pekerjaannya dengan mempersembahkan diri secara tulus dan ikhlas, dia akan dapat menjadi Budha. Seorang petani yang mengolah tanah secara sungguh-sungguh, seorang tukang yang menghasilkan barang-barang berguna, seorang pedagang yang melayani para pembeli sehingga merasa senang dan puas dengan barang-barang yang dapatkan, akan memperoleh kesempurnaan Budha.
 
Pada masa sekarang Zen sangat popular di kalangan usahawan Barat. Salah satu pengusaha berpengaruh dalam perkembangan dunia digital, Steve Jobs, adalah pengikut Zen sejak masa mudanya. Di Jepang, Zen telah dipraktikkan oleh banyak pengusaha. 
 
Mengikuti pemikiran Shōsan, seorang pengusaha akan memberikan pelayanan terbaiknya, sehingga ia akan menghasilkan laba. Sebaliknya jika dia bermaksud mencari laba sebanyak mungkin, dia akan mendapatkan kegagalan, bahkan mungkin kebangkrutan. 
 
Masyarakat Jepang menghormati orang yang menunjukkan sikap religiusnya lewat pekerjaan sehingga menganggap remeh para pendeta. Karena alasan ini, orang Jepang takut masa pensiun, sikap yang sangat berbeda dari pandangan umum bahwa pensiun adalah masa kebebasan.
 
Beberapa kasus yang saya tahu, misalnya seorang wanita berusia 97 tahun masih bekerja di sebuah rumah sakit sebagai dokter dan seorang wanita yang berusia 91 tahun masih berjualan makanan di malam hari. 
 
Dari berita yang saya dengar bulan April lalu, beberapa perusahaan di Jepang memanggil kembali para karyawannya yang sudah pensiun dan nyatanya banyak yang masih ingin bekerja. Hal ini mungkin berkaitan dengan kōreika-shakai, yaitu jumlah penduduk usia lansia di Jepang yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan usia muda dan produktif.
 
Akan tetapi Jepang juga berhadapan dengan fenomena karōshi, secara harfiah berarti kematian karena kelelahan bekerja. Hal ini disebabkan jam lembur yang mencapai 80 jam dalam sebulan, bahkan ada juga beberapa yang mencapai 100 jam dalam sebulan. 
 
Biasanya kematian disebabkan serangan jatung, depresi dan bunuh diri. Fenomena tersebut terjadi akibat loyalitas yang tinggi dari para karyawan terhadap perusahaan. Di Jepang, keluar dari sebuah perusahaan adalah aib karena dianggap tidak beres dalam bekerja dan akan sulit diterima di perusahaan lain. 
 
Seorang karyawan biasanya akan bertahan di sebuah perusahaan sampai pensiun.
 
Selain itu, ada juga fenomena shōshika yang berarti angka kelahiran rendah. Salah satu faktor pendorongnya adalah orang Jepang lebih mengutamakan pekerjaan daripada berkeluarga. Menikah dan mengurus anak dianggap sesuatu hal yang merepotkan. Tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan sudah menjadi hal biasa. Aborsi yang juga telah dilegalkan di negara ini semakin mendorong hal tersebut.
 
Berlebihan dalam segala tindakan akan berakibat pada keburukan. Hal ini pun dirasakan oleh Jepang. Jepang diperkirakan akan kehilangan 50% penduduknya pada tahun 2100. Jika hal tersebut terus terjadi, maka tidak mustahil bangsa Jepang akan punah. 
 
Tentu ada hal-hal yang boleh kita ambil dari Jepang, tetapi banyak juga hal-hal perlu kita renungkan, terutama tentang akibat yang ditimbulkan darinya seperti kasus-kasus yang telah disebutkan tadi.
 
Bangsa Jepang mungkin lebih disiplin dan memiliki etos kerja yang tinggi. Namun bangsa Jepang tidak memiliki nila-nilai yang berhubungan dengan batin. Imam al-Ghazali telah memberikan perhatian kepada penyakit batin karena dianggap lebih berbahaya daripada penyakit zahir. 
 
Penyakit zahir pada keadaan paling parah akan menyebabkan kematian, namun penyakit batin akan mengakibatkan kerusakan yang terus-menerus di dalam masyarakat dan pada keadaan paling parah akan menyebabkan azab.
 
Seseorang pada umumnya akan lebih takut jika terkena penyakit zahir sehingga rela menghabiskan semua hartanya agar mendapatkan kesembuhan. Sebaliknya, jika terkena penyakit batin sering kali dianggap biasa dan diabaikan sehingga tidak ada usaha untuk menyembuhkannya. Perhatian kita terhadap unsur batin harus lebih serius, jangan sampai terlalu sibuk mengurusi perut namun batin menjadi hampa hingga berakhir dalam bunuh diri.
Editor :
Sumber : Nuun.id
- Dilihat 4917 Kali
Berita Terkait

0 Comments