Kamis, 04/05/2017 14:30 WIB
‘Hantu’ itu Bernama Islam Radikal
Oleh: Rizqy Amelia Zein, Peneliti Psikologi Sosial di Universitas Airlangga
Sebelum mencapai garis finish, kontestasi politik di DKI Jakarta semakin melelahkan untuk disimak. Beragam kanal media mempertontonkan manuver elit politik yang semakin serampangan, bahkan diikuti polarisasi ekstrem sikap politik dari kedua kubu yang berhadapan di media sosial.
Last minute sebelum pemungutan suara, kubu Ahok-Djarot melakukan blunder dengan menggaungkan persepsi bahwa mereka adalah simbol keberagaman melalui video kampanye mereka. Belum lagi, isu money politics alias politik sembako yang beredar selama masa tenang.
Kini setelah hampir pasti kursi DKI-1 tidak mampir lagi kedua kalinya pada petahana, beredar sentimen bahwa kekalahan petahana merupakan selebrasi atas radikalisme. Persoalannya, isu-isu semacam ini tidak jelas basis faktualnya, apalagi reportase investigatif yang menjadi rujukan isu ini terlihat lebih mirip teori konspirasi daripada informasi yang kredibel.
Selama kampanye, tak hanya isu SARA, pluralismepun ditunggangi untuk kepentingan politik. Pluralisme yang secara substansi merupakan afirmasi dari keberagaman direduksi maknanya menjadi dukungan politik. Padahal, seharusnya pluralisme merupakan selebrasi dialogis atas keragaman. Apabila pluralisme menjadi pemaksaan kehendak atau diterjemahkan tunggal sebagai bentuk politisasi, maka pluralisme tersebut menjadi kontradiktif dengan substansi asalinya.
Bahaya narasi tunggal
Yang dilakukan kubu Ahok-Djarot mengingatkan saya tentang Indonesia pada masa orde baru. Ada banyak kemiripan antara gaya Ahok mencitrakan diri dengan Soeharto. Soeharto saat itu menegaskan bahwa Pancasila adalah ‘harga mati’ dan negara (melalui dirinya) adalah representasi dari Pancasila dan Demokrasi.
Meskipun saya yakin, Soeharto dan kroninya menolak disebut diktator karena sepanjang kepemimpinannya Pak Harto ‘merasa’ menjalankan pemerintahan yang demokratis. Mereka nyatanya sangat kejam dengan ‘suara yang berbeda.’ Babak berdarah di linimasa sejarah Indonesia ini dimulai dengan satu kesalahan; mempercayai narasi tunggal.
Upaya kubu Ahok-Djarot untuk mengasosiasikan diri mereka dengan pluralisme adalah pelecehan terhadap pluralisme itu sendiri. Mereka mereduksi segala hal yang Islami menjadi Islam fundamentalis dan meregresi tafsir pluralisme menjadi dukungan politik. Narasi tunggal ini serupa; Islam adalah musuh keragaman dan umat Islam tak boleh diberi tempat dalam panggung politik.
Seorang novelis Nigeria Chimamanda Adichie mengingatkan dalam pidatonya dalam sebuah TED Talk bahwa narasi singular menciptakan prasangka dan rasa curiga. Yang menjadi persoalan sebenarnya bukanlah irasionalitas prasangka, tetapi narasi tunggal menawarkan cerita yang tak lengkap. Narasi tunggal menggeret satu versi cerita menjadi satu-satunya cerita. Menyederhanakan kompleksitas individu menjadi narasi tunggal sama saja merampas kemanusiaan mereka.
Politik yang demokratis harusnya berakar pada rekognisi, di mana semua ‘warna’ dirangkul dan ditransformasikan menjadi modal sosial. Rekognisi mensyaratkan rasa hormat (respect). Sedangkan narasi tunggal justru merampok kemanusiaan. Seandainya narasi kampanye kedua pasangan calon diarahkan pada diskursus mengenai persatuan dan rekognisi, keributan yang menguras emosi ini seharusnya dapat dihindari.
Adichie menutup pidatonya dengan pesan yang sangat kuat; apabila kita menolak narasi tunggal, dan percaya bahwa tak ada narasi tunggal yang akurat mewakili suatu kelompok, maka kita akan hidup berdampingan dengan damai, layaknya di surga.
Ketakutan Atas yang ‘Lain’
Menggunakan teror sebagai kendaraan untuk berkuasa bukan hal baru yang kita temui. Soeharto, selama dirinya berkuasa, menggunakan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai ‘hantu’. Lalu melegitimasi dirinya sendiri sebagai penjaga mandat Pancasila. Fasisme selalu dimulai dengan sakralisasi figur.
Soeharto memandang dirinya sebagai mandataris negara. Soekarno menganggap dirinya adalah representasi demokrasi. Louis XIV sempat berkata, “negara adalah saya! (l’etat c’est moi).” Arogansi semacam itu adalah tanda awal kemerosotan.
Relasi antara umat Islam dengan negara memang problematis. Meskipun Islam adalah social force yang sangat besar pengaruhnya di masyarakat, Islam sejak dulu dihalang-halangi agar tidak ikut campur dalam urusan politik. Tak heran, meskipun umat Islam adalah kelompok mayoritas, Indonesia tidak pernah menjadi negara Islam.
Sulit dinafikan apabila kelompok-kelompok Islam trans-nasional cenderung menyimpan ketidakpercayaan pada negara. Namun perlu diingat bahwa saat ini, tak ada satupun kekuatan politik yang menghendaki berdirinya negara Islam, seperti yang dituduhkan oleh kubu Ahok. Padahal untuk mengganti dasar dan bentuk negara, perlu kekuatan politik yang luar biasa besar.
Suara-suara yang menghendaki implementasi syariat Islam juga merupakan minoritas dalam umat Islam dan nyaris minim dukungan dari gerakan Islam arus utama. Sampai saat ini, tokoh-tokoh Islam masih konsisten dengan gaya dakwah yang non-konfrontasional, sehingga tuduhan makar pada negara, kebinekaan dan demokrasi pada pihak yang tak sepakat dengan Ahok adalah tindakan yang irrasional.
Ketakutan tersebut tidak beralasan. Beberapa pengamat fundamentalisme, seperti Nisa Khatib (2003) menyebutkan bahwa kita tak boleh melakukan generalisasi pada gerakan Islam fundamentalisme melulu sebagai antitesis negara. Pun melihat negara, kebinekaan dan demokrasi sebagai ancaman bagi umat Islam juga sama saja kelirunya.
Dengan terus-terusan menganggap dirinya adalah simbol kebinekaan, Ahok justru sedang menawarkan fasisme berbalut pluralisme. Seandainya menang, ia akan melakukan power abuse, menguntungkan diri dan kroni-kroninya sendiri atas nama kebinekaan.
Dulu pada saat orde baru, PKI digunakan untuk menakut-nakuti masyarakat, saat ini ‘hantu’ itu bernama Islam radikal. Menghadapi isu ini, kita patut mengingat apa yang diucapkan Novel Baswedan, “berani tak kurangi umur, takut tak menambah umur. Jadi jangan pilih takut, karena membuat anda tak berguna.”
Editor | : | |
Sumber | : | selasar.com |
- Potensi Covid-19 Klaster Industri di Bekasi
- Geliat Ekonomi Bekasi di Tengah Pandemi Covid-19
- Rintihan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi
- Masih Efektifkah Sistem Zonasi Covid-19 di Bekasi?
- Wabah Virus Corona, Haruskah Disyukuri?
- Bekasi Siapa Gubernurnya?
- Ancaman Transgender, Haruskah Kita Diam?
- Kenapa Bekasi Tenggelam?
- Nasib Bekasi : Gabung Jakarta Tenggara atau Bogor Raya?
- Air Bersih atau Air Kotor?
- Agustus Bulan Merdeka Bagi Sebagian Rakyat Indonesia (1)
- Refleksi Emas Kampung Buni di Tengah Gelar Kota Industri
- Apa Kata Netizen: Catatan Mudik 2019 Si Obat Rindu Masyarakat +62
- Diksi Kafir dalam Polemik
- Ironis, Kasus Nuril Tunjukkan Kebobrokan Hukum
0 Comments