Daktatorial /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 26/04/2017 08:30 WIB

Halal: Antara Syariah dan Industri

halal
halal
Oleh: Rahmatika D. Amalia, Pegiat Komunitas Nuun
 
Mawar (bukan nama sebenarnya) adalah seorang eksekutif muda yang bekerja di salah satu perusahaan asing di Jakarta. Sebagai seorang profesional, gaji Mawar terbilang cukup tinggi. 
 
Gaji itu cukup untuk membiayai hidupnya selama sebulan, membeli satu atau dua setel baju keluaran desainer ternama, dan makan di restoran mewah setiap Jum’at malam atau akhir pekan bersama teman-temannya. Dengan gaji itu, Mawar juga masih bisa menabung untuk nonton konser penyanyi asing atau pergi jalan-jalan ke luar negeri minimal setahun sekali.
 
Tapi itu dulu. Setelah memutuskan untuk berhijab, dua tahun yang lalu, Mawar mengalokasikan uang yang dulu dipakainya untuk membeli baju-baju bernas, menjadi busana-busana Muslimah keluaran artis ternama atau karya desainer Muslimah yang kini sedang tren di kalangan muda ibukota. 
 
Meskipun harganya tidak jauh berbeda dengan baju keluaran desainer ternama, tapi tidak apa. Bagi Mawar, menutup aurat adalah keharusan dan meskipun telah berhijab ia ingin tetap tampil modis dan elegan, tapi tetap syar’i. 
 
Menurutnya, menutup aurat dan menjalankan perintah agama bukan berarti harus tampil tidak menarik bahkan terkesan kampungan. Ia tetap bisa fashionable dengan hijabnya.
 
Setelah berhijab, ia mengurangi makan di restoran mewah bersama teman-temannya. Ia kini giat ikut pengajian sepulang kerja dan mulai menabung untuk bisa umroh. Menabung untuk umroh tidaklah sulit baginya, karena ia masih single dan gajinya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. 
 
Di tahun pertama memutuskan berhijab, ia pergi umroh sekaligus berwisata ke Turki, bersama kelompok teman-teman ngaji-nya. Tahun berikutnya, ia kembali umroh untuk kedua kalinya. Setelah umroh, ia melanjutkan dengan wisata ke Mesir. Di tahun yang sama, Mawar, yang memang senang traveling, ingin pergi ke luar negeri lagi. 
 
Karena sudah umroh di awal tahun, ia ingin mengunjungi tempat yang berbeda. Bukan, Mawar bukannya bosan pergi ke tanah suci lagi, karena ia selalu menemukan kerinduan di tempat itu. Namun, ia ingin melihat dunia. Dia pernah mendengar, kalau seorang Muslim juga harus melihat dunia dan pergi ke tempat-tempat asing untuk melihat kebesaran Allah SWT.
 
Berbekal niat itu, ia pun mulai menabung dan mencari-cari informasi seputar negara-negara Asia yang ingin dikunjunginya. Sebagian besar Asia Tenggara sudah pernah dikunjunginya, kini ia ingin menjelajah ke Asia Timur. Jepang dan Korea menjadi negara pilihannya, karena ia suka sekali Doraemon dan penggemar drama Korea tempat oppa-oppa tampan nan bening muncul di layar kaca. 
 
Ia pun mulai browsing, tempat-tempat apa yang harus dikunjungi oleh wisatawan asing dan yang juga penting, makanan-makanan apa saja yang bisa ia makan selama di sana. Muslimah yang berusia di akhir 20-an ini memang sekarang sangat peduli dengan makanannya. Ia tidak lagi jajan sembarangan tanpa memperhatikan kehalalan makanan atau minuman yang disantapnya.
 
Setelah berpikir lebih dalam, ia memutuskan pergi ke Jepang dulu, baru tahun depan ke Korea. Rupanya ia lebih suka Doraemon dan lebih ingin melihat Gunung Fuji, daripada menyapa oppa-oppa. Untung ia memutuskan pergi sebelum demam Goblin melanda. Kalau tidak, mungkin Mawar akan berubah pikiran demi bisa berada di tanah yang sama dengan Gong Yoo oppa.
 
Pergi ke negara non-Muslim tentu menimbulkan kekhawatiran tersendiri baginya. Apalagi, ia tidak bisa bahasa Jepang kecuali arigatou dan konnichiwa. Oleh karena itu, ia mulai melakukan riset kecil-kecilan. 
 
Ia bertanya ke teman-temannya yang pernah pergi ke negara, yang katanya tempat matahari terbit itu. Kebetulan temannya pernah ikut Muslim Tour ke Jepang, yang diadakan oleh biro perjalanan lokal yang bekerja sama dengan biro perjalanan di Jepang. 
 
Ia juga rajin mencari info soal “Halal in Japan” di Facebook, Google, maupun YouTube. Mawar lalu mencatat dengan tekun tempat-tempat yang menyediakan makanan halal di negaranya Naruto itu. Rupanya ada banyak. Di sekitar bandara-bandara internasional seperti Haneda, Narita, dan Kansai International Airport, ia sudah menemukan beberapa restoran yang telah memiliki label halal. 
 
Di Kansai International Airport, misalnya, tercatat sudah ada 16 restoran yang menyediakan makanan bebas daging dan bebas alkohol. Bandara-bandara itu juga menyediakan ruang sholat, sesuatu yang tidak akan bisa ditemui apalagi terpikirkan kira-kira 5-10 tahun yang lalu. Mawar tak lupa juga mencari informasi tentang makanan-makanan di konbini (minimarket ala Jepang) yang bisa dikonsumsi, juga kue-kue apa saja yang bisa dijadikan oleh-oleh untuk teman-temannya di Indonesia. 
 
Jika tidak menemukan restoran halal, ia sudah siap-siap membawa Pop Mie, yang meskipun gizinya sedikit, tapi cukup mengenyangkan. Dan yang penting, halal.
 
Jepang, di bawah pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe memang memiliki target yang cukup tinggi untuk menarik wisatawan asing. Pariwisata menjadi salah satu fokus terbesar Abe, karena dinilai dapat menyelamatkan ekonomi Jepang yang sedang terpuruk. 
 
Pemerintah Jepang menargetkan 20 juta wisatawan asing datang ke negaranya hingga tahun 2020 mendatang. Bahkan menurut Al Jazeera, kini target itu dinaikkan menjadi 30 juta orang wisatawan asing hingga 2020 mendatang.
 
Al Jazeera menyampaikan, menurut organisasi pariwisata Jepang, JNTO, hingga Oktober 2015 silam, jumlah wisatawan dari Indonesia meningkat hingga 30,8 persen. Sedangkan negara tetangga, Malaysia, sejumlah 18,2 persen. 
 
Jika disebutkan dalam angka, maka ada hampir 200.000 orang Indonesia dan 270.000 orang Malaysia yang berkunjung ke Jepang setiap tahunnya. Sebagai negara dengan jumlah Muslim terbanyak di dunia, tentu saja jumlah itu didominasi oleh umat Islam.
 
Banyak hal dilakukan oleh pemerintah Jepang, untuk menyambut wisatawan Muslim. Prefektur Aichi yang terletak di Jepang bagian tengah, misalnya, menerbitkan sebuah buku panduan untuk orang Jepang, mengenai apa-apa yang harus mereka lakukan jika bertemu wisatawan Muslim. 
 
JNTO bahkan memiliki laman tersendiri di website resminya, yang bertujuan untuk memandu wisatawan Muslim yang ingin berkunjung ke Jepang. Di laman itu, Anda dapat menemukan informasi penting yang diperlukan oleh wisatawan Muslim, seperti daftar hotel yang menyediakan tempat sholat, restoran-restoran yang menyediakan menu muslim friendly, hingga testimoni dari pelancong Muslim yang telah berkunjung ke Jepang.
 
Tidak mau kalah dengan Jepang, Korea Selatan juga tengah berbenah untuk menyambut wisatawan Muslim mancanegara. Mereka sadar, hallyu wave telah menciptakan dorongan yang cukup tinggi, khususnya dari orang-orang Asia, untuk berkunjung ke negaranya. 
 
Dalam sebuah video berjudul “4 Angles – The Halal Wave in Korea” yang dikeluarkan oleh Arirang Issues, tergambar usaha yang dilakukan oleh Korea Selatan dalam menyambut wisatawan dan pasar Muslim. Misalnya, dengan melakukan sertifikasi halal kimchi dan produk-produk kosmetik, juga memberikan informasi mengenai restoran-restoran halal ataupun muslim friendly di kota-kota pusat turis di Korea Selatan. 
 
Industri halal adalah industri yang menjanjikan di Korea Selatan. Menurut data yang dikeluarkan oleh Korea Institute of Halal Industry, pasar halal di negeri ginseng itu akan meningkat sebesar dua kali lipat, dari US$ 1,28 triliun di tahun 2013 menjadi US$ 2,56 triliun di tahun 2019. Pertambahan wisatawan Muslim di Korea Selatan juga sangat menjanjikan, dari yang hanya berjumlah 384.000 orang di tahun 2010 menjadi 751.900 orang di tahun 2014.
 
Di negara Paman Sam, Bloomberg mengungkapkan bahwa penjualan makanan halal akan mencapai US$ 20 triliun di tahun 2017 atau naik 30% dari tahun 2010. Tren makanan halal ini dipimpin oleh Halal Guys, yang memulai usaha mereka dengan gerobak makanan halal di jalanan New York sekitar 25 tahun yang lalu. Kini Halal Guys memiliki lebih dari 200 buah restoran di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
 
Indonesia yang memiliki sekitar 205 juta Muslim atau 12,7 % dari seluruh Muslim di dunia. Dengan demikian Indonesia adalah negara dengan umat Islam terbanyak sejagat. Ada potensi pasar yang begitu besar dari negara ini, yang menjadi rebutan berbagai pihak. 
 
Buku “Marketing to the Middle Class Muslim: Kenali Perubahannya, Pahami Perilakunya, Petakan Strateginya” menulis bahwa selain memiliki potensi yang begitu besar, dinamika perubahan di kalangan menengah Muslim di Indonesia juga mencengangkan. 
 
Menurut buku tersebut, hal ini ditandai oleh beberapa perubahan kasat mata antara lain dengan boom bank syariah, revolusi hijabers, rutin berumroh, dan maraknya label halal. Lebih lanjut lagi, buku ini juga memetakan empat sosok konsumen Muslim yang dapat dibagi menjadi apathist, rationalist, universalist, dan conformist.  
 
Konsumen Muslim di Indonesia disebut memiliki ciri yang berbeda dengan Barat. Jika semakin makmur Barat maka mereka semakin sekuler, maka konsumen Muslim di Indonesia justru sebaliknya. 
 
Dengan semakin makmur, semakin berpengetahuan dan semakin melek teknologi, orang Islam di Indonesia justru semakin religius. Yang dicari oleh konsumen Muslim dalam membeli produk bukan hanya manfaat fungsional dan emosionalnya saja, tapi juga mencari manfaat spiritual dari setiap produk yang dikonsumsi.
 
Masih menurut buku yang sama, pasar makanan halal dunia nilainya mencapai US$ 662 miliar di tahun 2010 silam. Nilai itu lebih besar dari akumulasi nilai pasar Australia, India, dan Rusia. Jadi, jelaslah bahwa 1,62 miliar umat Islam (atau 23% total penduduk dunia) adalah pasar yang sangat potensial dan menjanjikan di masa depan. 
 
Berbagai potensi besar ini tentu saja tidak akan dibiarkan begitu saja oleh berbagai pihak yang ingin mencari keuntungan, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. 
 
Ini membuktikan bahwa Islam dengan konsep halal-nya memang dapat memberikan kesejahteraan, keuntungan, dan kekayaan bagi manusia dan seluruh alam. Namun, jika konsep ini hanya dipandang sebagai sebuah industri yang hanya memikirkan untung-rugi dan persoalan kantong sendiri, akan jadi apa dunia?
Editor :
Sumber : Nuun.id
- Dilihat 2203 Kali
Berita Terkait

0 Comments