Kajian Keislaman /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 25/04/2017 07:00 WIB

Dua Pembacaan Aksi Bela Islam

Ilustrasi Peringatan aksi 212
Ilustrasi Peringatan aksi 212
Oleh: Ismail Al-‘Alam, Jurnalis
 
Aksi Bela Islam membangkitkan kesadaran umat bahwa persatuan adalah keniscayaan. Siapapun yang terlibat di dalamnya pasti punya kesan dan kenangan khusus. Kita berbagi salam, senyum, pekik bertakbir, makanan dan minuman dengan sesama muslim yang belum kita kenal. Bendera, spanduk dan logat, menunjukkan dari organisasi dan kampung mana tiap-tiap peserta.
 
Saat gairah itu menyala di sukma kita bahkan hingga sekarang, sebagian orang menempatkan diri sebagai pengkaji dari kejauhan. Mereka menarik jarak dari peserta dan simpatisan aksi, bukan jarak jasmani melainkan jarak ruhani, agar dapat mengkaji Aksi Bela Islam sesuai dengan arahan metodologi yang mereka yakini.
 
Dua Pandangan
 
Jika mengamati telaah kalangan sekuler terhadap peristiwa Aksi Bela Islam, baik 411, 212, dan 112 termasuk kegiatan-kegiatan pengiringnya, kita akan mendapati setidaknya dua landasan epistemologis. Landasan pertama adalah paradigma struktural-fungsional seperti misalnya dalam tulisan Charles J. Chaplin dan Hei Wei Wang dan artikel-artikel lain di sebuah jurnal kajian Asia daring, New Mandala. Paradigma ini berangkat dari pandangan ilmu sosial modern yang memandang masyarakat, dengan ideologi, tindakan politik, dan tindakan sosialnya secara esensialis (tetap) yang memiliki fungsi-fungsi tertentu dalam struktur makro (dalam konteks ini, negara).
 
Landasan kedua adalah paradigma posmarxis seperti terlihat dalam tulisan Vedi R. Hadiz dan beberapa artikel Kompas di bulan Januari. Paradigma ini berangkat dari pandangan ilmu sosial posmodern yang memandang masyarakat sebagai kumpulan individu kontingen (bisa ada, bisa tiada) sehingga tidak memiliki esensi yang ajeg. Peristiwa kemasyarakatan, dalam paradigma ini, adalah sebuah tindakan yang tidak bermakna tunggal (esensialis), bahkan sebenarnya tidak bermakna sama sekali. Ia hanya dianggap bermakna karena ada daya tertentu yang mengitarinya dan berkepentingan untuk mengekalkannya menjadi sebuah “populisme”.
 
Dalam Aksi Bela Islam ini, pandangan pertama (modern) banyak menggunakan teori gerakan sosial yang dirintis oleh pemikiran Charles Tilly dan murid-muridnya. Bagi mereka, gerakan sosial terjadi jika memenuhi beberapa unsur utama, yakni keberadaan wirausahawan politik (political entrepeneur) yang punya wibawa kuat menawarkan gagasan dan memikat masyarakat; mobilisasi sumber daya yang dapat menggerakkan masyarakat dari berbagai sumber (daerah, ormas, dan ikatan primordial); bingkai (frame) yang membuat perhatian terfokus pada satu sasaran saja; dan posisi politis di mana gerakan sosial menempati irisan tipis antara negara dan masyarakat.
 
Berbeda dengan gerakan (atau partai politik) yang ingin berkuasa, gerakan sosial tidak terlibat dalam politik resmi (walau memang melibatkan aktor-aktor politik) namun hanya ingin mempengaruhi kekuasaan.
 
Jika demikian, para petinggi GNPF-MUI dimasukkan ke dalam kategori wirausahawan politik (secara mengejek, seorang dosen STF Driyarkara, Herry B. Priyono, dalam kolomnya di Kompas Januari lalu menerjemahkan political enterpreneur sebagai “peternak politik”). Dengan wibawanya, mereka melakukan mobilisasi sumber daya berupa pengerahan massa aksi dari berbagai penjuru Indonesia, dengan bingkai yang mengarahkan sorotan tertuju pada penistaan agama oleh Ahok. Tujuan GNPF, dalam paradigma ini, adalah mengambil posisi tawar di hadapan pemerintah sehingga langkah-langkah politiknya menjadi diperhitungkan.
 
Penganut paradigma ini akan beranggapan bahwa hal tersebut adalah sesuatu kewajaran di negara berdemokrasi liberal, yang mengandaikan manusia (dan masyarakat) mempunyai rasionalitas yang sama ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan. Upaya menjawab persoalan itu secara rasional, dalam paradigma ini, akan mengantarkan masyarakat pada keadaan lebih maju dan modern.
 
Terhadap Aksi Bela Islam ini, mereka “paling banter” hanya mengecam argumentasi-argumentasi peserta aksi, yang -dalam ukuran mereka- jauh dari rasional karena membawa isu agama ke tengah kehidupan sosial, menentang pemimpin kafir, dan sebagainya. Sebagai rekomendasi kepada sesama peneliti dan pengambil kebijakan, mereka biasanya menawarkan penerapan ide-ide liberalisme, pluralisme, dan sejenisnya, sebagai upaya “merasionalkan” masyarakat.
 
Di tingkat global, terutama dalam konteks Timur Tengah, kajian seperti ini sudah menghasilkan sebuah buku kumpulan penelitian berjudul Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach yang disunting Quintan Wicktorowick, terbitan tahun 2007. Buku tersebut adalah buku pertama yang menerapkan teori gerakan sosial di dunia Islam. Sebelumnya, teori tersebut lebih sering digunakan untuk mengkaji gerakan marxis dan anarkis di Amerika Utara dan Eropa.
 
Dalam buku tersebut, para peneliti mengkaji gerakan-gerakan Islam negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara, seperti Saudi Arabia, Iran, Mesir, dan Libya. Mereka menemukan pola-pola tertentu dalam gerakan-gerakan itu, seperti kemunculan tokoh kharismatik, mobilisasi massa ba’da shalat Jum’at (yang disebut “Political Friday”), isu-isu keberadaan konspirasi Yahudi-AS dalam kehidupan umat, kerusakan moral penguasa, dan sebagainya.
 
Salah satu temuan dan rekomendasi buku itu yang paling menarik adalah ramalan mereka akan terjadinya transisi demokrasi berdarah-darah di Timur Tengah, dan itu terbukti beberapa tahun setelahnya. Hal tersebut, bagi mereka, disebabkan ketimpangan jumlah antara kaum ideologis lama dan “kaum reformis” yang lebih muda dan liberal.
 
Selanjutnya mari beralih ke paradigma kedua, yakni posmarxis. Jauh sebelum Aksi Bela Islam terselenggara, Vedi R. Hadiz (kini profesor di Melbourne University) sudah menulis buku “Islamic Populism”, yang mengkaji fenomena baru bernama “populisme” di tengah masyarakat Islam Indonesia, Turki, dan Mesir. Ide dasar populisme adalah pengkondisian masyarakat pada mentalitas mayoritarianisme, di mana mayoritas digambarkan tertindas dan terancam keberadaannya oleh kekuatan di luar mereka. Mayoritarianisme sendiri sebenarnya sesuatu yang diada-adakan, bukan esensial.
 
Populisme pada mulanya adalah teori dari filsuf politik Ernesto Laclau, seorang marxis yang menyaksikan langsung bagaimana gerakan-gerakan marxis di Eropa mengalami demoralisasi, apalagi sejak keruntuhan Uni Sovyet. Dengan mengambil beberapa tesis posmodernisme, Laclau merumuskan-ulang pemikiran marxis.
 
Bagi Laclau, hambatan terbesar bagi artikulasi gerakan marxis adalah kegagapan mereka dalam mengelola isu bersama dan merebut wacana di tengah masyarakat. Jika ingin berhasil, bagi Laclau, para aktivis sosial harus bisa merebut ruang kosong bernama “politik”, “demokrasi”, dan “masyarakat” itu sendiri. Mengapa disebut ruang kosong? Karena konsep-konsep tersebut, dan bahkan konsep-konsep apapun di dunia ini, dalam pandangan posmodern adalah sebuah kekosongan tak bermakna. Apa yang disebut makna, wacana, dan bahasa dalam suatu konsep sebenarnya ditentukan oleh pemegang kekuasaan. Untuk memenangi politik, Laclau menyarankan kaum marxis tak lagi terjebak pada pandangan esensialis seperti “borjuis” dan “proletar” yang berseteru, dan secara deterministis akan menuju diktator proletariat seperti yang dibayangkan Karl Marx.
 
Dalam konteks Aksi Bela Islam, bagi Hadiz dalam sebuah diskusi di kantor Tempo, tokoh-tokoh utama GNPF berhasil membentuk mayoritarianisme bernama “umat Islam” yang digambarkan sedang berhadapan dengan kafir, komunis, dan sejenisnya. Dari sana terbentuklah identitas yang mengeras, padahal awalnya cair. Identitas yang mengeras itu serta-merta menarik jarak antara “kita” dan “mereka”.
 
Dalam pembacaan ini, apa yang disebut “Umat Islam” sendiri sebenarnya adalah suatu penanda kosong, yang bisa diisi siapa saja yang ber-KTP Islam, namun identitas kosong tersebut diisi oleh mayoritarianisme bentukan GNPF. Padahal, ada banyak orang Islam yang tidak merasa terwakili oleh GNPF dan massa Aksi Bela Islam, karena perbedaan-perbedaan tertentu (mazhab, pilihan politik, dan sebagainya).
 
Apa tujuan pembacaan ini? Selain menunjukkan populisme identitas “umat Islam” yang sebenarnya rentan mencair, paradigma posmarxis juga hendak menunjukkan relasi kuasa di dalamnya. Mereka mengaitkan populisme dengan oligarki, di mana terdapat kumpulan demagog, pemodal, dan pemain politik yang mengkondisikan mayoritarianisme tersebut untuk mengukuhkan kedudukan dan kepentingan mereka. Hal itulah yang membuat para peneliti berparadigma ini mengaitkan Aksi Bela Islam dengan kepentingan SBY, Prabowo, Tommy Soeharto, dan sebagainya yang tengah berhadapan dengan borjuisme baru di belakang Ahok.
 
Menuju Pandangan Ketiga
 
Dua pandangan tersebut memang tidak melibatkan iman di hati dan pikiran. Namun ketekunan mereka dalam mengkaji setiap fenomena empiris dengan paradigma yang ada di benak mereka patut mendapat sedikit apresiasi. Bagaimana pun, masih sedikit sarjana ilmu-ilmu sosial di kalangan kita yang bisa melakukan penelitian dan kerja-kerja akademiknya tanpa bergantung pada paradigma sekuler itu.
 
Karenanya, kita harus tetap memulai usaha-usaha ke arah sana, meski tetap saja belum bisa disebut sebagai -katakanlah- “islamisasi ilmu sosial-humaniora kontemporer”.
 
Dalam membaca fenomena masyarakat muslim modern, kita dapat memulai kategorisasi yang disebut Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam Risalah Untuk Kaum Muslimin. Filsuf muslim terbesar abad ini tersebut membagi tiga jenis masyarakat muslim berdasarkan pemikirannya: tradisionalis, modenis (maksudnya, modernis), dan sekuler.
 
Masyarakat tradisionalis dalam pemikiran Al-Attas adalah masyarakat yang peripikir dan perilakunya sesuai dengan tradisi Islam, termasuk tradisi ilmunya, yang berdasarkan pada konsep-konsep kunci dalam pandangan hidup Islam. Sekedar antisipasi, istilah tradisionalis ini berbeda, meski banyak irisannya, dengan istilah yang sama yang digunakan para Indonesianis untuk menyebut NU, misalnya. Al-Attas menyebut hal itu sebagai “tradisi” karena memang capaian-capaian para pendahulu, khususnya yang menyangkut pokok-pokok agama dan pengetahuan, sudah sesuai pandangan Islam terhadap wujud sehingga dapat digunakan untuk menelah masa kini; dari warisan untuk masa depan. Tanpa warisan keilmuan tersebut, kita hanya akan melakukan usaha yang sia-sia dalam menghadapi tantangan modern.
 
Hal inilah yang sering terjadi pada masyarakat jenis kedua, yakni modernis. Masyarakat muslim ini mendapat pendidikan Barat modern yang memisahkan rasio dan intelek, sehingga “ilmu-ilmu modern” yang diajarkan kepada masyarakat muslim tersebut semakin menjauh dari pandangan hidup Islam. Dampak dari pendidikan ini adalah peripikir dan perilaku masyarakat muslim rasional dalam pelbagai hal, seperti dalam praktik ekonomi, politik, dan gerakan sosial. Meski demikian, bagi Al-Attas, hal itu tetap bermakna dan bahkan membangkitkan kesadaran berislam di tengah masyarakat.
 
Dalam bahasa kaum sekuler yang mencibir, fenomena ini disebut “new-born muslim”, di mana sebagian muslim yang awalnya abai terhadap agamanya berubah menjadi lebih peduli untuk mengkaji, membela, dan menampilkan simbol-simbol keislaman di ruang publik menurut guru atau ideolog panutan mereka. Inilah yang terjadi pada sebagian besar dari kita, umat muslim, dan kita wajib menuju ke arah masyarakat jenis pertama. Langkah jangka panjang yang dapat ditempuh, dalam konteks tindakan politik, misalnya melakukan apa yang penulis sebut “politik ikhtiar (lihat tulisan penulis, “Ikhtiar Politik dan Politik Ikhtiar”).
 
Masyarakat jenis ketiga, dalam pembacaan Al-Attas, adalah masyarakat muslim yang peripikir dan perilakunya sekular, berkat pendidikan sekuler yang kuat menancap di pikirannya. Ketika mengkaji tindakan sosial dan politik umat Islam, muslim yang tersekulerkan ini akan berada di antara dua paradigma sekuler yang penulis bahas di atas. “Semoga kita terhindar, dari hal-hal sedemikian,” kata Bimbo.
Editor :
Sumber : Wartapilihan.com
- Dilihat 2851 Kali
Berita Terkait

0 Comments