Kamis, 05/01/2017 12:00 WIB
Penguasa Penuh Pencitraan Lahirkan Masyarakat Pemamah Hoax
Oleh: Azeza Ibrahim, Jurnalis
Siapa yang bisa menyangka bahwa perkembangan teknologi dapat memberi imbasan yang begitu besar terhadap situasi sosial politik sebuah bangsa. Revolusi komunikasi melalui media internet tercatat melahirkan kejadian-kejadian besar, mulai dari terpilihnya Presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat, hingga Musim Semi di Timur Tengah.
Informasi dan pengetahuan selalu menjadi instrumen utama dalam setiap perubahan besar. Sejarah sudah mencatat hal tersebut. Guttenberg mungkin tidak memiliki niat untuk melahirkan gelombang protes besar terhadap institusi yang sangat mapan seperti Gereja Katolik. Namun mesin cetaknya yang memungkinkan percepatan penyebaran Alkitab ke tangan masyarakat meniscayakan hal tersebut.
Kesadaran akan kekuatan informasi membuat berbagai pihak berlomba-lomba menjadikannya sebagai senjata dalam peperangan modern, dimana opini dan framing dapat mendekonstruksi sebuah fakta nyata yang hadir dalam keseharian kita.
Informasi pada umumnya dapat dipahami sebagai alat, baik untuk hal-hal yang bermanfaat ataupun merusak. Namun karena ada naluri alamiah dalam diri manusia yang selalu ingin mencari tahu, maka informasi memiliki aspek “kekuatan” di dalam dirinya.
Dan kita sangat sering mengaitkan frasa “kekuatan” dengan pernyataan John Dalberg-Acton yang masyhur itu:
Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely
Namun sayangnya, kebanyakan dari kita seringkali jadi korban penyalahgunaan kekuatan informasi. Dan dalam posisi sebagai korban, tak jarang kita merasa tidak berdaya untuk melakukan perubahan.
Di Indonesia, perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa Pemerintah memposisikan dirinya sebagai korban liarnya perkembangan informasi.
Berbeda dengan rakyat biasa, pemerintah memiliki kekuatan, dan dalam kasus ini tampak betul Presiden kita hendak menggelar pertandingan akbar kekuatan informasi versus kekuatan regulasi.
Pertanyaannya, apakah usaha sedemikian tepat dan efektif ?
Hoax dan Pencitraan, Anak Kembar Postmodernisme
Ketika masyarakat modern jenuh dengan segala sesuatu yang empiris, nyata dan terjamah panca indera, mereka berusaha mencari sesuatu yang lebih dari batas-batas realita. Dari semngat sedemikian lahirlah gelombang baru bernama Postmodernisme yang mendekonstruksi segala sesuatu.
Masyarakat di Barat pun mulai mencari pelampiasan baru. Berhubung modernisme yang berasas empirisme masih berakar kuat, lahirlah konsep Hiperealitas untuk memupus kebosanan masyarakat akan realitas yang ada.
Umberto Eco menjelaskan bahwa budaya popkultur yang melahirkan para superhero macam Superman dan Ironman merupakan produk Hiperealitas, dimana batas antara imaginasi dan kenyataan menjadi lebur dalam wadah persepsi personal.
Hiperealitas pun kerap dimaknai sebagai “realitas tandingan” yang berusaha menggantikan atau bahkan mengalahkan kenyataan yang sebenarnya.
Implementasi sederhananya kurang lebih seperti yang kita lihat di kancah perpolitikan nasional. Dimana seorang politikus tidak dipilih karena kinerjanya, namun lebih karena image yang ia tampilkan melalui media informasi.
Selain melahirkan pencitraan-pencitraan, Hiperealitas juga melahirkan tipuan-tipuan yang terasa sangat nyata dan seolah hadir betulan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Contoh sederhananya adalah isu teror yang kerap terjadi di akhir tahun. Dimana ancaman bom begitu digembar gemborkan oleh berbagai media sehingga antara keamanan di dunia nyata dengan keamanan dalam persepsi masyarakat terpisah begitu jauh.
Pengabaian terhadap realitas yang sesungguhnya, serta pengedepanan terhadap citra, rasa dan emosi membuat masyarakat menjadi malas dan jauh dari sikap kritis, akibatnya pun jelas.
Masyarakat yang malas adalah masyarakat yang rentan dibodohi lewat berita-berita bohong (hoax), gossip, serta teori-teori konspirasi yang mengedepankan cocoklogi.
Disini bisa kita lihat bahwa antara pencitraan dan berita hoax terdapat demarkasi tipis yang tidak jarang saling melampaui satu sama lain.
Masyarakat Pecinta Hoax Buah Politik Pencitraan
Menko Polhukam Wiranto baru-baru ini mengeluarkan wacana untuk mendirikan sejenis badan untuk mengawasi dunia maya, sebab Jokowi selaku Presiden sudah mulai resah dengan maraknya berita hoax di tengah masyarakat.
Kondisi sedemikian seharusnya menjadi keprihatinan kita bersama, baik sikap pemerintah yang hendak membenturkan kekuatan regulasi versus kekuatan informasi atapun kondisi masyarakat kita yang hobi mengkonsumsi berita tanpa kejelasan.
Tapi jika kita ingin introspeksi dan melihat jauh ke belakang, fenomena hoax saat ini tidak lebih dari hanya sekedar imbas dari sistem pemerintahan kita yang penuh dengan politikus pesolek yang kerap tampil dengan bedak dan gincu pencitraan.
Dari fenomena ini kita bisa melihat jelas, bahwa politik kita dewasa ini bergantung erat dengan budaya pop / pop kultur. Ketenaran, citra, dan hingar bingar memupus nilai lain seperti integritas, kejujuran, dan amanah. Jadi wajar saja jika pemilu kita ini lebih ramai dengan goyang dangdut, kumpul-kumpul massa, dan black campaign a la gossip entertainment.
Gaya politik serta pemerintahan yang sering menekan nalar masyarakat dengan imagi-imagi inilah yang sebenarnya menjadi penyebab utama mudahnya sebuah berita hoax tersebar.
Sebab daya fikir yang selalu dicekoki iklan atau berita pencitraan pihak yang berkuasa menjadikan masyarakat fanatik akan tokoh idolanya, mereka rela melakukan apapun agar idolanya tetap berjaya walau harus menebar fitnah atau informasi bohong.
Jika kita lihat pada proses pencalonan Presiden dua tahun lalu, kita bisa melihat proses pencitraan dilakukan secara massif, pemuja-pemuja Capres fanatik bermunculan, nalar dan dialog kritis terbuka pun disingkirkan.
Tentunya dengan hal ini kita dapat mengambil pandangan, bahwa melawan kekuatan informasi dengan kekuatan regulasi adalah hal sia-sia yang sangat mungkin tidak memberi efek apa-apa. Sebab tidak ada regulasi yang bisa membatasi isi hati dan kepala seorang manusia.
Mestinya, alih-alih melakukan pemblokiran atau pemberangusan, pemerintah harus mulai berkaca bahwa masyarakat di bawah kuasanya adalah cermin nyata dari kinerja mereka selama ini.
Dialog yang jujur, terbuka dan mengedepankan akal sehat harus terus digalakan. Disini penguatan lembaga pendidikan dan literasi seharusnya menjadi isu dominan, bukan malah dengan menggerakkan aparat yang bisa menembakkan peluru atau menggunakan tonfer.
Editor | : | |
Sumber | : | Radio Dakta |
- Potensi Covid-19 Klaster Industri di Bekasi
- Geliat Ekonomi Bekasi di Tengah Pandemi Covid-19
- Rintihan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi
- Masih Efektifkah Sistem Zonasi Covid-19 di Bekasi?
- Wabah Virus Corona, Haruskah Disyukuri?
- Bekasi Siapa Gubernurnya?
- Ancaman Transgender, Haruskah Kita Diam?
- Kenapa Bekasi Tenggelam?
- Nasib Bekasi : Gabung Jakarta Tenggara atau Bogor Raya?
- Air Bersih atau Air Kotor?
- Agustus Bulan Merdeka Bagi Sebagian Rakyat Indonesia (1)
- Refleksi Emas Kampung Buni di Tengah Gelar Kota Industri
- Apa Kata Netizen: Catatan Mudik 2019 Si Obat Rindu Masyarakat +62
- Diksi Kafir dalam Polemik
- Ironis, Kasus Nuril Tunjukkan Kebobrokan Hukum
0 Comments