Oleh: Beggy Rizkiansyah, Pegiat Komunitas Kultura
Pemilihan Gubernur DKI tinggal menunggu hitungan bulan. Dua pasangan calon gubernur, Anies Baswedan - Sandiaga Uno dan Agus Yudhoyono - Sylviana Murni akan menantang gubernur petahana Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
Ahok melaju kembali meski dihujani kritik khususnya terhadap aksi otoriter terutama dalam soal penggusuran rakyat miskin. Hanya dalam dua tahun, Ahok telah melakukan penggusuran lebih dari 90 kali.
Ahok bahkan sempat berusaha membatasi ruang berdemonstrrasi dengan mengeluarkan Pergub nomor 228 tahun 2015. Namun yang menarik, meski dihujani kritik, Ahok tetap memiliki pendukung yang fanatik.
Fenomena pendukung fanatik ini dapat diurai keberadaannya dengan melihat pemasaran (marketing) dalam ‘menjual’ Ahok sebagai merek (brand). Penerapan marketing dalam politik saat ini sudah bukan hal yang aneh lagi (Bruce A. Newman: 2008).
Dukungan fanatik ini tak lepas dari segmen pendukung Ahok yang tampaknya telah berbeda dengan saat Pilgub 2012. Saat itu, Ahok yang menjadi wakil Gubernur Jokowi amat populer di mata kalangan menengah bawah ibukota. Berbagai dialog diperkampungan padat (seperti Bukit Duri) dan kontrak politik yang disetujui dengan warga, menunjukkan segmentasi pendukung Jokowi dan Ahok saat itu.
Figur Jokowi yang saat itu dicitrakan merakyat dan sederhana menjadi salah satu simbol untuk menyasar segmen kelas menengah bawah ibukota. Namun seiring berjalannya waktu dan terutama setelah naiknya Jokowi ke tampuk kepemimpinan Indonesia, Ahok tampak menggeser segmen pendukungnya.
Pilihan ini tampak logis dengan kebijakan Ahok yang tidak pro rakyat miskin dan beralih pada kelas menengah Jakarta.
Kehadiran pemilih kelas menengah di Jakarta setidaknya dapat dilihat dari tingginya pertumbuhannya (Boston Consulting Group, 2013). Begitu pula meningkatnya permintaan pemukiman dan properti komersial, tingginya akses internet hingga memusatnya segala jenis produk dan jasa untuk melayaninya.
Petanda dari pemilihan kelas menengah sebagai segmen pendukungnya dapat kita lihat dari kampanye dukungan yang digalang kelompok bernama 'Teman Ahok' di mal-mal di Jakarta.
Kampanye ini juga digencarkan di media-media sosial seperti Facebook dan Twitter. Di Jakarta, pengguna Twitter-nya yang paling ceriwis sedunia dan dihuni 11 juta facebookers (social memos, 2013).
Melalui media digital pula, dalam hal ini Youtube, Ahok menggencarkan trademark-nya, yaitu amarah. Amarah yang ditujukan kepada anak buahnya sendiri , yaitu pegawai-pegawai Pemda diunggah secara terbuka di Youtube.
Disaksikan banyak orang, amarah ini menuai pujian dari netizen. Kita dapat memahami kejengahan masyarakat Jakarta terhadap kinerja birokrasi di DKI, misalnya dari hal sederhana seperti rumitnya mengurus KTP.
Pertunjukan mengumbar amarah kepada anak buahnya sendiri menjadi tontonan yang memikat masyarakat Jakarta. Hal ini bisa saja berdampak pada kinerja di lembaga yang dipimpinnya, namun satu hal, kesalahan birokrasi dieksploitasi sehingga menjadi tumbal.
Alih-alih berani memikul tanggung jawab atas kesalahan yg terjadi di lembaganya, seringkali setiap ada masalah, maka kesalahan diarahkan kepada anak buahnya. Inilah yang membedakannya dari Ali Sadikin. Ali Sadikin juga dikenal keras terhadap anak buahnya, namun Ali Sadikin di depan publik berani memikul tanggung jawab atas kesalahan anak buahnya.
Aksi amarah terhadap birokrasi di Pemda mungkin menjadi tontonan yang memuaskan masyarakat kelas menengah Jakarta. Namun tak ada yang lebih menuai simpati daripada pemandangan indah di tengah kota. Penataan di bantaran sungai Ciliwung hingga kembalinya taman di tengah kota memang menjadi harapan masyarakat Ibukota yang kekurangan ruang publik.
Ahok tak dapat dipungkiri mampu menghadirkan hal itu. Namun kita tak bisa menutup diri atas ketidakadilan yang hadir dari pemandangan itu.
Penataan itu berdiri diatas tindakan sewenang-wenang atas rakyat kecil. Penggusuran sepihak yang seringkali melibatkan aparat negara menjadi tanda bahwa ruang dialog tak tersedia.
Kecaman terhadap sikap represif Ahok yang sudah berulang kali disuarakan oleh masyarakat dianggap sebagai angin lalu. Lebih menyedihkan adalah perilaku sewenang-wenang ini tampaknya mendapat dukungan dari sebagian kelas menengah Jakarta, yang menganggap mereka sebagai penduduk ilegal.
Ahok menyebut penggusuran yang dilakukannya sebagai tindakan tidak populer. Hal ini sebenarnya keliru. Penggusuran menjadi hal yang populis di mata sebagian kelas menengah Jakarta.
Mereka menganggap orang-orang di pemukiman yang digusur sebagai orang-orang yang menghalangi pembangunan Jakarta. Tentu saja persepsi ini tidak hadir dari ruang hampa, tetapi justru dari label yang diberikan oleh Ahok sendiri pada orang-orang yang akan digusurnya.
Sebutan mulai dari 'manja' hingga 'ilegal' menancap di benak sebagian masyarakat kelas menengah Jakarta yang amat mendukung pembangunan. Sehingga empati pun diabaikan ketika mereka melihat aksi-aksi penggusuran ini dan tetap memberikan dukungannya.
Ironi sikap sebagian masyarakat kelas menengah Jakarta yang abai terhadap sesama ini bukan hal baru. Orientasi politik kelas menengah seringkali digugat karena kecenderungannya yang apatis dan oportunis.
Aktivitas politik kelas menengah digugat karena kecondongan mereka untuk mengamankan posisi dan kenyamanan mereka sendiri. Akar sikap apatis dan oportunis kelas menengah ini bisa ditelusuri sejak era politik etis di masa kolonial.
Kelas menengah di Indonesia muncul saat monetisasi ekonomi di masa kolonial, khususnya era politik etis. Pemerintah kolonial memberikan pendidikan bagi orang pribumi untuk menopang sistem kolonialisme. Orang-orang pribumi yang biasanya dari kalangan priyayi ini kemudian mendapat kesempatan untuk memupuk kekayaan yang sayangnya bertopang pada kolonialisme di tanah airnya (Sritua Arif: 2006).
Orientasi politik kelas menengah ini tumbuh subur di era neo-liberalisme pasar. Wacana politik oleh media didominasi orientasi ekonomi (pasar) dan konsumsi. Kelas menengah yang memiliki akses informasi melimpah pun akhirnya tak lepas dari (informasi) politik yang telah diperantarai oleh media.
Hasilnya adalah informasi politik bertautan dengan estetika. Hiburan melebur dengan fakta. Liputan mengenai kehidupan pribadi politisi berjalin dengan talkshow yang ringan dengan politisi. Substansi kebijakan yang harusnya ditampilkan (secara kritis) tertutup oleh liputan ala showbiz.
Pesona pribadi untuk mendulang kepercayaan lebih ditonjolkan daripada ideologi atau program. (Dick Pels: 2003, W. Lance Bennet: 2003, Peter Dahlgren: 2003)
Kita tak perlu heran jika menemukan figur Ahok dikemas secara menghibur dengan menampilkan dirinya berlaku stand up comedy, liputan intens tentang Ahok dan selebriti, atau figur Ahok ditampilkan dengan kostum superhero.
Bukan sekali-dua kali Ahok tampil bincang ringan, diselingi humor dalam talk show ternama sebuah stasiun televisi dan 'disejajarkan' dengan tokoh besar semacam BJ Habibie. Pesona pribadinya diekspos lebih dekat. Semua hal itu memungkinkan di era poltik yang diperantarai oleh media.
Pemahaman kita akan politik dikonstruksikan oleh media. Media pula yang mengangkat citra politisi dan membentuk persepsi tertentu di masyarakat. Estetika jadi lebih menonjol ketimbang etika dan substansi. Ikatan emosional menjadi lebih kuat ketimbang penilaian rasional.
Strategi marketing yang diterapkan pun sales oriented, mengutamakan pendulangan suara (dukungan) pada segmen tertentu. (John Street: 2003, Andrew Hughes: 2011) Hal ini yang dapat kita lihat ketika brand Ahok dipasarkan. Dukungan pada Ahok diusung oleh kelompok yang disebut 'Teman Ahok.'
Kelompok ini (awalnya) menolak untuk memercayai partai politik. Penolakan terhadap partai politik ini yang membuat mereka mengusung Ahok maju tanpa parpol (perseorangan) dan memakai kata 'independen' ketimbang perseorangan, agar memberi kesan bebas dari intervensi atau kepentingan. Meski KPU memakai istilah 'Perseorangan', istilah independen ini tetap dipakai oleh media massa, dan membantu menciptakan citra yang seakan bebas dari kepentingan.
Teman Ahok juga menyebut orang-orang yang membantu mereka sebagai 'relawan.' Dua kata ini, 'independen' dan 'relawan' menjadi slogan yang menyasar kelas menengah yang sudah antipati terhadap (praktik) partai politik.
Sayangnya, kita kemudian tahu bahwa slogan 'independen' dan 'relawan' menjadi tak bermakna. Istilah 'relawan' sendiri, menimbulkan perdebatan, karena belakangan diketahui ada relawan yang bekerja dengan upah. Sedangkan (citra) 'independen' disingkirkan oleh Ahok sendiri, karena ia memilih untuk ikut serta dalam jalur parpol. Sebuah ironi, setelah sekian lama ia dan ‘Teman Ahok’ memandang negatif partai politik.
Menariknya, meski prinsip 'independen' dan penolakan terhadap partai politik diabaikan, namun Ahok tetap mendapatkan dukungan. Tampaknya prinsip bukan hal yang penting bagi pendukungnya.
Citra personal Ahok yang demikian kuat melekat dibenak sebagian kelas menengah Jakarta merupakan buah dari pemasaran Ahok sebagai brand. Estetika yang dibentuk melampaui prinsip dan etika. Ikatan emosional melampaui penilaian rasional. Penerimaan ini hanya dapat berjalan ketika pemahaman budaya politik diperantarai oleh media.
Kekecewaan masyarakat kelas menengah terhadap partai politik seringkali dilampiaskan dengan sikap apatis. Di lain sisi, komunikasi antara kandidat dan pemilih tak lagi melalui partai politik, tetapi cukup diperantarai oleh media.
Akibatnya muncul 'pengultusan' dan ekspektasi berlebihan pada kandidat baru. Dick Pels (2003) menyebut hal ini sebagai 'Audience Democracy.' Pada akhrinya sikap 'pengultusan' (atau fanatisme buta) pada politisi tertentu inilah yang kita lihat saat ini.
Ia lahir dari kombinasi antara marketing, politik yang aktif diperantarai oleh media dan respon masyarakat yang memiliki kekecewaan pada partai politik. Itu sebabnya ketika dahulu Ahok melancarkan serangan pada partai politik, ia mendapat sambutan meriah dan dukungan semakin mengalir tatkala sempat mendeklarasikan diri akan maju tanpa parpol.
Sesungguhnya kelas menengah dapat melepaskan diri dari jerat orientasi politik yang apatis dan oportunis ini. Para pendiri bangsa yang menjadi intelektual dan politisi yang Indonesia juga berasal dari kelas menengah.
Mereka adalah kelas menengah yang menyatukan diri rakyat untuk mengakhiri penjajahan di Indonesia. Terlepas dari perbedaan cara pandang untuk mengelola Indonesia, masing-masing memiliki ideologi. (Sritua Arif: 2006) Ideologi pada kelas menengah ini yang dapat menjadi faktor penting untuk menghindarkan diri dari sikap oportunis dan memiliki orientasi politik yang jelas.
Umat Islam kelas menengah, khususnya di Jakarta dapat menjadi penggerak perubahan dengan menjadikan Islam sebagai pemandu politiknya. Islam seperti dinyatakan Moh. Natsir (1908-1993) adalah ideologi dan sistem perikehidupan.
Islam bukan saja sebatas identitas tetapi juga landasan untuk menolak penindasan, dan mendorong keadilan. Baiknya kita resapi Buya Hamka dalam Islam: Revolusi, Ideologi dan Keadilan Sosial (1984) ketika menafsirkan surat Al-Maun.
Ia menjelaskan, “Masih dipandang mendusta akan agama, orang yang agamanya itu untuk kepentingan dirinya sendiri, padahal korban-korban masyarakat tak diperhatikannya. Walaupun dia sembahyang tunggak-tunggik, walaupun keningnya sampai hitam karena sujud, masih masuk neraka dia, sebab amalnya itu hanya karena ambil muka, karena ria, dan dalam jiwanya tidak ada perasaan tolong-menolong, tidak ada solidaritas!”
Editor | : | |
Sumber | : | Komunitas Kultura |
- Potensi Covid-19 Klaster Industri di Bekasi
- Geliat Ekonomi Bekasi di Tengah Pandemi Covid-19
- Rintihan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi
- Masih Efektifkah Sistem Zonasi Covid-19 di Bekasi?
- Wabah Virus Corona, Haruskah Disyukuri?
- Bekasi Siapa Gubernurnya?
- Ancaman Transgender, Haruskah Kita Diam?
- Kenapa Bekasi Tenggelam?
- Nasib Bekasi : Gabung Jakarta Tenggara atau Bogor Raya?
- Air Bersih atau Air Kotor?
- Agustus Bulan Merdeka Bagi Sebagian Rakyat Indonesia (1)
- Refleksi Emas Kampung Buni di Tengah Gelar Kota Industri
- Apa Kata Netizen: Catatan Mudik 2019 Si Obat Rindu Masyarakat +62
- Diksi Kafir dalam Polemik
- Ironis, Kasus Nuril Tunjukkan Kebobrokan Hukum
0 Comments