Rabu, 14/12/2016 06:00 WIB
Respon atas Nota Keberatan Ahok di Persidangan
Buya Hamka Bukan “Politisi Busuk”
Oleh: Dr. Adian Husaini (Guru Pesantren at-Taqwa Depok)
Setelah Basuki Thajaja Purnama (Ahok) bicara soal pembodohan dan pembohongan memakai surat al-Maidah:51, kini giliran adiknya mengungkap soal “politisi busuk”.
Saat membacakan Nota Keberatan atas dakwaan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum, Selasa (13/12/2016), pengacara Basuki, Fifi Lety Indra menyebut adanya peran politikus busuk dalam kasus yang menyeret Basuki Tjahaya Purnama tersebut.
Fifi yang juga adik Basuki, menyatakan: "Selalu ada ayat yang sama digunakan politisi busuk untuk memecah belah rakyat dengan tujuan memuluskan jalan untuk meraih puncak kekuasaan oleh politisi busuk yang kerasukan roh kolonialisme," ujar Fifi.
Menurut Fifi, ayat tersebut sengaja disebarkan politikus busuk karena tidak sanggup bersaing dengan Basuki. Terutama terkait visi misi, program dan integritas yang ada dalam diri Basuki. "Politisi busuk itu berlindung di balik ayat-ayat suci itu agar rakyat dengan konsep seiman dapat memilihnya," tandas Fifi. (http://news.liputan6.com/read/2676745/pengacara-ungkap-peran-politikus-busuk-di-balik-kasus-ahok).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘busuk’ bermakna: rusak dan berbau tidak sedap (tentang buah, daging, dan sebagainya), berbau tidak sedap (tentang bangkai dan sebagainya). Untuk pemimpin, kata ‘busuk’ bermakna: buruk; jelek; tidak menyenangkan. Jadi, politisi busuk adalah “politisi yang buruk, jelek, atau tidak menyenangkan.
Siapakah yang dimaksud sebagai “politisi busuk” oleh si Fifi, pengacara Basuki tersebut? Fifi tidak menjelaskannya. Tetapi, “kriteria politisi busuk” yang digunakan pengacara Basuki itu cukup jelas. Yakni, politisi itu menggunakan ayat-ayat suci al-Quran agar rakyat dapat memilihnya karena konsep seiman.
Lalu, apakah seorang politisi muslim yang menggunakan QS al-Maidah:51 agar memilih pemimpin yang seiman, dapat dikatakan sebagai “politisi busuk”?
Marilah kita telaah kembali makna QS al-Maidah ayat 51: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin; sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka pemimpin di antara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah tergolong dari mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”
Ulama terkemuka, Buya Hamka, dalam Kitab Tafsirnya – Tafsir al-Azhar -- menguraikan kandungan makna ayat tersebut: “Maka orang yang telah mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya itu nyatalah sudah zalim. Sudah aniaya, sebagaimana kita maklum kata-kata zalim itu berasal dari zhulm, artinya gelap. Mereka telah memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut Allah dari dalam jiwa mereka. Mereka telah memilih musuh kepercayaan, meskipun bukan musuh pribadi. padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah diperingatkan Allah bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha, selama-lamanya tidaklah mereka ridha, sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka. Mereka itu bisa senang pada lahir, kaya dalam benda, tetapi umat mereka jadi melarat karena kezaliman mereka. Lantaran itu selamanya tidak akan terjadi kedamaian.”
Tafsir al-Azhar itu ditulis pada awal tahun 1960-an. Selama puluhan tahun, tidak ada manusia di bumi Indonesia yang menuduh Buya Hamka telah membohongi atau membodohi umat Islam ‘pake’ surat al-Maidah:51.
Maka, kita patut bertanya, jika ada politisi muslim yang memahami QS al-Maidah:51 seperti dijelaskan oleh Buya Hamka tersebut, apakah ia dapat dikatakan sebagai “politisi busuk”?
Konsekuensi berikutnya, dari tuduhan itu, apakah Buya Hamka dan para ulama lain yang memiliki pemahaman yang sama terhadap QS al-Maidah:51 juga dikatakan sebagai “ulama busuk”? Lalu, bagaimana jika ada pengacara yang menggunakan ayat-ayat al-Quran untuk memenangkan perkaranya? Apakah ia juga disebut “pengacara busuk”?
Tampak bahwa tuduhan pengacara Basuki itu sangat melampaui batas kepatutan. Bahkan, dalam dalam sistem demokrasi seperti di AS, dukung-mendukung calon presiden dengan alasan keagamaan pun sangat lazim dilakukan.
Situs http://www.rightwingwatch.org, misalnya, mengungkapkan sejumlah alasan keagamaan sebagian kalangan Kristen dalam mendukung Donalt Trump.
Misalnya, Trump dianggap sebagai cara Tuhan untuk memuluskan jalan bagi Kedatangan Kristus Kedua kalinya (The Second Coming of Christ). Alasan lain dukungan terhadap Trump, kalangan Kristen Kanan ini menilai, “Trump would make America friendlier to Israel” dan “Trump will make Christianity more powerful”.
Itulah konsekuensi logis dari sistem demokrasi, yang oleh Aristotle (384-322 BC), disebut sebagai bentuk pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity.
Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi dan hampir semua filosof politik menolaknya. (James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing, 1973).
Jadi, dalam kontestasi politik yang terbuka di berbagai daerah seperti saat ini, penggunaan dalil-dalil agama sepatutnya dipandang sebagai hal biasa. Yang penting jangan dimanipulasi maknanya.
Lucunya, dalam persidangan perdana Basuki Tjahaya Pernama, para pengacara Basuki pun berlomba-lomba menggunakan beberapa dalil al-Quran dan kisah di masa Nabi Muhammad saw – meskipun beberapa kali tampak belepotan melafalkan ungkapan-ungkapan tertentu.
Silakan saja pendukung Basuki Tjahaja Purnama menggunakan ayat-ayat Bibel untuk mendukung calon beragama Kristen. Itu lebih jujur, lebih fair, sesuai dengan agamanya.
Begitu juga sangat sah jika seorang politisi muslim atau seorang kyai mengajak umat Islam untuk memilih pemimpin yang seiman, berdasarkan pemahamannya terhadap QS al-Maidah:51, dan ayat-ayat al-Quran lainnya.
Pengacara Basuki tidak berhak melarang kaum muslim berpolitik berdasarkan ayat-ayat al-Quran. Apalagi, menuduh mereka sebagai “politisi busuk”.
Buya Hamka, disamping seorang ulama, juga dikenal sebagai politisi muslim terkemuka yang pernah menjadi anggota Majelis Konstituante. Apakah karena pemahamannya yang semacam itu terhadap QS al-Maidah:51 lalu dituduh sebagai “politisi busuk?” Buya Hamka jelas bukan “politisi busuk”. Beliau ulama dan politisi cerdas dan beradab.
‘Bau busuk’
Sepatutnya, sebagai pengikut Kristen, Basuki Tjahaja Purnama tidak perlu memasuki wilayah Tafsir al-Quran. Apalagi, sampai menuduh ada yang membodohi dan membohongi masyarakat ‘pake’ al-Maidah:51. Ia harusnya gunakan saja ayat-ayat Bibel, sesuai dengan keyakinan agamanya.
Setelah melakukan kajian dan penelitian terhadap ucapan Basuki di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, maka pada 11 Oktober 2016, MUI secara resmi menyatakan, bahwa Basuki telah telah menghina al-Quran dan menghina ulama-ulama Islam.
Inilah ucapan Basuki Tjahaja Purnama yang juga dikutip dalam pernyataan resmi MUI: "… Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya.."
Apa para ulama di MUI itu lalu dituduh sebagai “ulama busuk” karena merugikan karir politik Basuki Tjahaja Purnama?
Dalam ucapannya yang disiarkan secara langsung oleh stasiun TV nasional, adik Basuki Tjahaja Purnama berulang kali menyebut kata “busuk”, “busuk” dan “busuk”. Entah kenapa, sebagai perempuan, ia suka menggunakan istilah itu. Apakah tidak ada kata lain yang sedikit lebih halus?
Padahal, publik di Indonesia pernah disuguhi tontonan wawancara Basuki Tjahaja Purnama yang sangat jorok ucapannya di satu stasiun TV. Tayangan itu berbuntut kepada jatuhnya sanksi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, berupa sanksi administratif Penghentian Sementara Segmen Wawancara pada program jurnalistik “Kompas Petang”.
Surat Sanksi Administratif disampaikan KPI Pusat ke Kompas TV, Senin 23 Maret 2015. Berdasarkan nomor surat 225/K/KPI/3/15 yang disiarkan di website resmi KPI, program yang disiarkan secara langsung pada Selasa, 17 Maret 2015 pukul 18.18 WIB itu dikategorikan sebagai pelanggaran norma kesopanan, perlindungan anak-anak dan remaja, pelarangan ungkapan kasar dan makian. Serta melanggar prinsip-prinsip jurnalistik.
“Tayangan yang memuat ungkapan atau perkataan kasar/kotor demikian dilarang untuk ditampilkan, karena sangat tidak santun, merendahkan martabat manusia, dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat serta rentan untuk ditiru oleh khalayak, terutama anak-anak dan remaja,” demikian pernyataan KPI.
Berikut perkataan kasar dan kotor Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang digarisbawahi KPI Pusat saat wawancara langsung di Kompas TV;
“…istri saya mau nerima CSR untuk main di kota tua. Lu buktiin aja nenek lu sialan bangsat gua bilang. Lu buktiin aja. Gue juga udah keki”.
“…lu lawan bini gua kalah lu mati aja lu. Kasih taik aja muka lu”.
“…kalau betul ada suap 12,7 triliun kenapa si DPRD membatalkan lapor ke Bareskrim? Kok goblok sekali lu orang? …kalau ada bukti memang nyuap apa lu laporin dong bego. …bego banget lu gitu lho. …sementara ada bukti gua mau nyuap lu 12,7 triliun, kok lu nggak berani laporin? Gua kuatir lu kemaluan lu punya ga nih? …eh dibalikin ini yang buat suap. Sialan nggak tuh? Makanya gua bilang panggil gua datang ke angket. Kapan lu panggil biar gua jelasin semua. Gua bukain lu taik-taik semua itu seperti apa. …nggak apa-apa, biar orang tau emang taik gua bilang…. …kalau bukan taik apa? Kotoran. Silakan. Emang taik namanya kok. Emang taik, mau bilang apa. …TV jangan pernah wawancara gua live kalo nggak suka kata gua taik segala macem. Itu bodohnya anda mau live dengan saya…”
(http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2015/03/24/67216/inilah-perkataan-kasar-ahok-yang-akibatkan-kompas-tv-disanksi.html).
Itulah kata-kata ‘busuk’ sang kakak, Basuki Tjahaja Purnama yang bau busuknya terlanjur menyengat kemana-mana. Kini, meski berlangsung lancar, patut disayangkan, sidang pertama kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama pun dikotori dengan aroma kata-kata tak sedap: “politisi busuk”.
Kepada yang suka berkata jorok dan bau, kita hanya bisa berpesan: “Silakan dinikmati sendiri baunya!” (Depok, 13 Desember 2016).
Editor | : | |
Sumber | : | Radio Dakta |
- Potensi Covid-19 Klaster Industri di Bekasi
- Geliat Ekonomi Bekasi di Tengah Pandemi Covid-19
- Rintihan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi
- Masih Efektifkah Sistem Zonasi Covid-19 di Bekasi?
- Wabah Virus Corona, Haruskah Disyukuri?
- Bekasi Siapa Gubernurnya?
- Ancaman Transgender, Haruskah Kita Diam?
- Kenapa Bekasi Tenggelam?
- Nasib Bekasi : Gabung Jakarta Tenggara atau Bogor Raya?
- Air Bersih atau Air Kotor?
- Agustus Bulan Merdeka Bagi Sebagian Rakyat Indonesia (1)
- Refleksi Emas Kampung Buni di Tengah Gelar Kota Industri
- Apa Kata Netizen: Catatan Mudik 2019 Si Obat Rindu Masyarakat +62
- Diksi Kafir dalam Polemik
- Ironis, Kasus Nuril Tunjukkan Kebobrokan Hukum
0 Comments