Jum'at, 25/11/2016 07:30 WIB
Menakut-nakuti Demonstrasi: Media dan Upaya Membangun Rasa Takut
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Komunitas Kultura
Menjelang aksi damai 2 Desember 2016, publik sudah dpenuhi berbagai spekulasi dan wacana di layar kaca (ponsel atau televisi kita). Pemerintah dan elit parpol wara-wiri berkonsolidasi. Namun yang paling massif adalah pernyataan-pernyataan yang disebut terindikasi makar pada rencana aksi 212. Pernyataan itu misalnya disebut Kapolri, Tito Karnavian, pada (21/11/2016).
Sayangnya isu makar tersebut menjadi bola liar di masyarakat. Penjelasan pemerintah tak terang benderang. Kapolri misalnya ketika ditanya sosok aktor di balik rencana makar, meminta masyarakat untuk membacanya di Google. Begitu pula Menkopolhukam Wiranto, ketika ditanya sumber informasi tentang makar, menjawab mengetahuinya dari media sosial.
Nyatanya informasi yang beredar di media sosial adalah informasi yang amat sumir dan harus di verifikasi kebenarannya. Majalah Nieman Reports yang dikeluarkan oleh Nieman Foundation di Harvard bahkan sampai mengeluarkan edisi khusus yang membahas kebenaran informasi di era digital. (Nieman Reports vol 66: 2012)
Sumirnya informasi tentang makar ini tak ayal akan menimbulkan rasa cemas dan ketakutan di masyarakat. Boleh jadi masyarakat akan saling mencurigai satu sama lain. Ketakutan di masyarakat ini bukan kebetulan. Melainkan diperkokoh oleh media massa yang amat mengeksploitasi informasi tentang makar yang sumir tersebut.
Pembahasan soal rencana demonstrasi (aksi damai) 2 Desember 2016, terpusat pada isu makar yang dilontarkan pemerintah.
Hal ini misalnya dapat dilihat dari pemberitaan media online nasional di tanah air seperti detik.com, kompas.com, Tempo.co dan cnnindonesia.com. Detik.com bahkan merangkum topik rencana demonstrasi 2 Desember 2016 dengan judul “Awas Demo Makar.” Sedangkan CNN Indonesia merangkum dengan judul “Aksi Menghadang #212.” Kedua judul tersebut memberikan kesan negatif pada aksi 2 Desember nanti. Sementara Kompas.com lebih memilih merangkum dengan judul yang lebih netral, yaitu “Demo 2 Desember 2016.“ Sedangkan Tempo.co memang tidak melakukan kebijakan pengelompokan khusus dengan memberi judul tertentu pada pemberitaannya. Dari ketiga media tersebut tak ada yang memuat rencana demonstrasi tersebut dengan sebutan resmi yang dikeluarkan oleh GNPF-MUI, pemrakarsa demonstrasi, yaitu Aksi Super Damai Jilid 3.
Isu makar yang diekspos begitu masif oleh media massa bukan kebetulan semata. Hal ini terlihat dari pemberitaan sejak menjelang aksi demonstrasi pertama yang menuntut proses hukum Gubernur non aktif Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) tanggal 14 Oktober 2016. Pemberitaan menjelang demonstrasi 14 Oktober 2016 kala itu sudah didominasi pemberitaan yang mengambil sudut pandang keamanan.
Pemberitaan lebih banyak diberikan porsi pada persiapan keamanan yang dilakukan pemerintah. Pun ketika demonstrasi tanggal 14 oktober berlangsung tertib tak banyak perhatian yang diberikan. Media-media lebih memilih untuk memberitakan soal dampak dari demonstrasi seperti pengalihan arus lalu lintas.
Bahkan kita tahu, media kemudian lebih tertarik memberitakan soal taman yang rusak akibat demonstrasi ketimbang aspirasi tersebut. Pemberitaan soal taman yang rusak ini amat diekspos oleh media massa. Salah satunya Detik.com yang bahkan memberitakan soal taman secara tiga hari berturut-turut dan setidaknya terdapat 10 berita soal rusaknya taman, di luar berita foto tentang taman tersebut sejak tanggal 14 hingga 16 Oktober 2016.
Salah satu bentuk pemberitaan lain untuk mengecilkan demonstrasi pertama adalah dengan mengecilkan beragamnya peserta demonstrasi. Hal ini yang dilakukan oleh Tempo.co. Tempo.co menyebut peserta demonstrasi sebagai FPI belaka.
Tempo tetap konsisten dengan menyebut demonstrasi sebagai demonstrasi FPI baik di judul maupun isi berita mereka. Hal itu dapat dilihat misalnya pada berita “Unjuk Rasa FPI, Polda Siapkan Buka-Tutup Jalur Ini” dan “Hadang FPI, Ribuan Personl Gabungan Bersiaga di Balaikota DKI.” Begitu intensnya Tempo.co hendak mengidentifikasi peserta aksi yang beragam hanya sebatas FPI, dalam sebuah pemberitaannya Tempo.co menyesatkan pembaca dengan ‘meminjam mulut Presiden'.
Hal ini dapat kita lihat pada berita yang berjudul “Jokowi: Demo FPI Jangan Paksakan Kehendak.“ Pernyataan Presiden ini disampaikan pada 31 Oktober 2016, menanggapi rencana demonstrasi jilid dua yang meminta proses hukum terhadap Ahok. Tempo.co menulis dalam beritanya:
“Presiden Joko Widodo mengaku sudah mendengar soal rencana demo besar Front Pembela Islam pada Jumat, 4 November 2016. Ia mempersilakan FPI melakukan demo tersebut. (cetak tebal dari penulis). "Demonstrasi adalah hak tiap warga. Silakan, boleh saja demo," ucap Presiden Jokowi saat dicegat awak media di Jakarta Convention Center, Senin, 31 Oktober 2016.”
Pertanyaan yang dapat kita ajukan, apakah Presiden Joko Widodo mengatakan secara literal FPI boleh melakukan demonstrasi? Ternyata tidak. Presiden Joko Widodo tidak menyebut pihak tertentu. Ia hanya menyebut demonstrasi hak setiap warga.
Tidak berhenti disitu, Tempo.co kembali menyesatkan pembaca dengan ; meminjam pernyataan presiden untuk menekankan identifikasi terhadap FPI. Dalam berita tersebut di tulis,
“Presiden Joko Widodo berujar, meski diperbolehkan, bukan berarti demo itu tanpa aturan dan batasan. Ia menuturkan FPI boleh berdemo, asal tidak memaksakan kehendaknya lewat cara apa pun, terutama kekerasan. (cetak tebal dari penulis). Presiden berharap tidak ada tindakan kekerasan apa pun pada unjuk rasa Jumat nanti. Ia mengatakan FPI harus bisa berdemo dengan tertib, aman, dan tidak menimbulkan aksi anarkistis.” (cetak tebal dari penulis)
Benarkah Presiden Joko Widodo benar-benar menuturkan : “FPI boleh berdemo?“ Nyatanya tidak demikian.* Setelah mengatakan, “Demonstrasi adalah hak setiap warga,“ Presiden Joko Widodo hanya mengatakan, “Silakan, boleh. Boleh saja..mau demonstrasi. Tapi yang Penting Jangan memaksakan kehendak.“
Begitu pula dengan kalimat “Ia mengatakan FPI harus bisa berdemo dengan tertib,...“ Apakah presiden benar berbicara demikian? Setelah mengatakan “boleh saja..mau demonstrasi,“ Presiden Jokowi hanya mengatakan, “Tapi yang penting jangan memaksakan kehendak. Atau yang merusak, yang anarkis. Dan Pemerintah terus akan menjamin setiap warga negara untuk menyampaikan pendapatnya. Tapi tetap mengutamakan ketertiban umum“
Lantas mengapa Tempo.co menulis “presiden menuturkan FPI boleh berdemo?“ dan “FPI harus bisa berdemo dengan tertib?“ Bukankah ini dapat menyesatkan pembaca? Tugas jurnalis adalah menulis sesuai fakta, bukan menafsirkan, atau memaksakan fakta sesuai dengan kepentingan media.
Framing dibolehkan dalam pemberitaan, selama tidak mengaburkan fakta. Apa yang dilakukan tempo.co adalah meminjam figur presiden Jokowi (putting words into someone’s mouth) untuk menekankan pemberitaan pada FPI. Cara-cara seperti ini amat kita sesalkan dalam praktek jurnalisme di Indonesia. Memaksakan cara pandang media sehingga mengaburkan fakta.
Seperti yang sudah kita ketahui, demonstrasi 4 November 2016, kemudian bukan saja berlangsung secara damai, tetapi juga diikuti setidaknya 2 juta orang, dan mungkin salah satu demonstrasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Media massa dan masyarakat kemudian mengenalnya sebagai aksi damai 4 November 2016.
Insiden ricuh pada malam harinya pun dimaklumi sebagai tindakan provokator dan tidak menodai kesan aksi damai yang berlangsung dari siang hingga sore harinya. Fokus pemberitaan kembali bergerak pada sentimen politik setelah pemerintah kembali memberi pernyataan yang sumir mengenai aktor politik. Dan isu aktor politik itu pun kembali menjadi bola liar hingga menjelang demonstrasi ketiga.
Pemberitaan yang kita simak saat ini tampaknya memang akan terus berpusar pada persoalan makar yang sangat diekspos oleh media. Lantas mengapa media begitu intens memberikan pemberitaan yang membangun rasa takut di masyarakat terhadap demonstrasi?
David L. Altheide (2003) menyatakan bahwa kecondongan media untuk menyajikan pemberitaan yang membangun rasa takut terinspirasi dari dunia hiburan. Penyajian yang membangun rasa takut ini bukan hanya perkara kriminalitas, tetapi juga hal lain yang terasosiasi dengan rasa takut, seperti wabah, AIDS terorisme, anak-anak dan sekolah. Dan biasanya hal ini juga diikuti dengan komunikasi yang membangun rasa takut dan kontrol dari pemerintah.
Dampak dari pemberitaan yang membangun rasa takut ini tentu bukan sepele. Media memiliki kemampuan untuk berkontribusi di agenda politik dan sosial. Media bukan saja memberikan informasi tetapi juga dapat mengarahkan orang untuk fokus dan takut pada kejahatan, ia bahkan dapat menanamkan nilai dan perspektif tertentu. Masyarakat akibatnya merasa tak aman dan merasa dapat menjadi korban. (David L. Altheide : 2003)
Dampak terbesar dari wacana ketakutan adalah mempromosikan rasa tidak teratur, (disorder), dan percaya keadaan sudah diluar kendali. Kehidupan sosial bisa menjadi lebih berbahaya jika aktor sosial mendefinisikan situasi mereka sebagai "menyeramkan" dan terlibat dalam masyarakat lewat wacana ketakutan.
Ketika masyarakat sudah terfokus dalam ketakutan (dan kekalutan), mereka tak lagi mampu memilah secara rasional, informasi yang disajikan tak lagi diseleksi sehingga kehadiran pemerintah yang seakan menjadi "penyelamat" tanpa dikritisi lagi.
Membangun rasa takut terhadap demonstrasi tak ayal adalah salah satu ciri dari rezim orde baru. Demonstrasi dianggap sebagai sebuah aksi subversif terhadap pemerintah. Stempel baik ekstrim kiri atau ekstrim kanan ditimpakan begitu saja kepada mereka yang terlibat demonstrasi.
Sehingga ketika masyarakat dilanda ketakutan terhadap demonstrasi, masyarakat akhirnya membiarkan begitu saja tindakan represif bahkan berujung pembantaian terhadap demonstran, seperti misalnya yang terjadi pada Tanjung Priok tahun 1984.
Demonstrasi seharusnya tidak perlu ditakuti. Selain dijamin oleh Undang-Undang, demonstrasi juga sebuah pertanda hidupnya demokrasi di sebuah negara. Di Indonesia, demonstrasi menjadi seiring dengan perjalanan bangsa kita.
Bahkan demonstrasi menentang penistaan agama sudah terjadi sejak tahun 1918, ketika surat kabar Djawi Hiswara menerbitkan tulisan Djojodikoro yang berjudul “Pertjakapan antara Marto dan Djojo.” Dalam artikelnya, Djojodikoro menulis“Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. gin, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium.”
Tulisan ini mengundang reaksi hebat umat Islam kala itu. Dimotori oleh Sarekat Islam, organisasi bercorak nasional pertama di Indonesia, protes terhadap penistaan agama itu menghebat di berbagai tempat.
Tjokroaminoto kemudian membentuk Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM), melakukan aksi protes di 42 tempat di seluruh Jawa dan sebagian Sumatera dihadiri oleh lebih dari 150.000 orang. Perlu diingat, saat itu Indonesia masih dalam keadaan terjajah oleh kolonial Belanda, namun aksi protes tetap bisa berlangsung. Pun, sepanjang sejarah bangsa kita, aksi massa terus mewarnai. Berkumpulnya massa di lapangan IKADA tahun 1945 juga bagian dari sejarah bangsa. Bahkan reformasi yang menandai pergerakan Indonesia lepas dari sistem otoriter di tahun 1998 juga tak lepas dari aksi demonstrasi.
Di era digital saat ini, aksi demonstrasi justru menjadi pertanda baik hadirnya aktivitas politik masyarakat yang nyata. Sejak hadirnya media digital, terutama media sosial seperti Facebook dan Twitter, masyarakat seperti amat aktif berpolitik dan menjadikan politik isu keseharian mereka. Aktivisme politik pada era digital saat ini bernuansa kontestasi kuasa dan makna dalam dunia maya dan ditentukan pembagian peran oleh buzzer, influencer dan followers.
Benar atau salah dihitung dari seberapa banyak menuai like dan seberapa viral di dunia maya. Selain itu aktivisme politik di dunia maya saat ini memang condong pada saling perang kepentingan yang diungkap secara reaksioner dan emosional. Hujat menghujat meramaikan aktivisme politik ini. (Wasis Raharjo Jati : 2016)
Namun aktivisme politik ini dipertanyakan wujudnya dalam dunia nyata. Seberapa besar aktivisme di dunia maya ini mampu menggerakan masyarakat dalam politik yang nyata? Ataukah hanya keriuhan di dunia maya semata. Hadirnya gelombang informasi yang begitu massif memang bukan berarti hidupnya demokrasi di masyarakat.
Hadirnya internet, terutama media sosial juga bukan berarti memberi pengetahuan politik yang memadai bagi masyarakat. Masyarakat dibanjiri informasi, namun tak dapat memilah. Masyarakat (merasa) hanya perlu dilibatkan saat politik elektoral saja.
Ketika menjelang pemilu, mereka dilibatkan. Namun setelah para politisi terpilih, mereka menyerahkan pada politisi semata untuk mengurus soal politik. Schudson menyebut fenomena ini sebagai ‘political backpackers.’ "Why we should expect when we are all wired, we'll be closer to some kind of democracy?" (Michael Schudson: 2001)
Maka ketika masyarakat turun ke jalan untuk melakukan aksi demonstrasi, itu berarti masyarakat telah menyalurkan aspirasinya dalam ruang demokrasi. Pertanda yang baik bahwa gelombang protes masyarakat di dunia digital khususnya media sosial, untuk menuntut penegakan hukum terhadap kasus penistaan agama oleh ahok bukanlah gelombang protes yang diciptakan oleh aktor-aktor palsu semacam buzzer. Mereka benar adanya orang-orang yang menyalurkan aspirasinya baik di dunia maya maupun dunia nyata.
Media massa tak seharusnya membangun rasa takut di masyarakat dengan mengeksploitasi pemberitaan yang 'seram' dan menakut-nakuti aksi demonstrasi. Media adalah pilar demokrasi. Amat ironis jika sebagai pilar demokrasi, media turut merubuhkan demokrasi itu sendiri.
Seiring dengan media, perilaku pejabat di negeri ini juga seharusnya tidak reaktif dan kalut menghadapi demonstrasi. Tak perlu mengungkap pernyataan-pernyataan yang mengambang, dan hanya menimbulkan kebinungan serta rasa khawatir di benak masyarakat. Demonstrasi adalah bagian dari aspirasi rakyat yang dilindungi oleh undang-undang. Ia adalah pertanda hidupnya dialog di sebuah negara.
Ada baiknya para pejabat pemerintahan belajar kembali dari para pendiri negeri ini. Salah satunya adalah sikap Bung Hatta menghadapi demonstrasi. Suatu ketika di bulan April tahun 1962, saat ia sudah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI, Bung Hatta di demonstrasi di Bandara Kemayoran.
Di depan ruang VIP Bandara Kemayoran, ratusan pemuda, yang disebut Rosihan Anwar sebagai orang suruhan PKI, mencemooh dan memrotes dirinya. Mereka membawa berbagai poster yang bertuliskan "Hatta tetap Hatta, Belanda tetap Belanda," "Bung Hatta berevolusilah," dan “Bung Hatta jangan bermuka dua."
Para demonstran liar itu berada dekat sekali dengan Bung Hatta yang berada di ruang VIP bandara Kemayoran. Namun Bung Hatta tetap terlihat tenang-tenang saja. Malah ia kemudian berjalan menuju mobilnya dan sambil berkata kepada mereka, "Saya tetap Hatta", "Muka saya cuma satu." (Rosihan Anwar : 2006)
*Pernyataan Presiden Joko Widodo dapat di lihat pada tautan ini:
https://www.youtube.com/watch?v=XSWcx9f9ivQ
Editor | : | |
Sumber | : | Komunitas Kultura |
- Potensi Covid-19 Klaster Industri di Bekasi
- Geliat Ekonomi Bekasi di Tengah Pandemi Covid-19
- Rintihan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi
- Masih Efektifkah Sistem Zonasi Covid-19 di Bekasi?
- Wabah Virus Corona, Haruskah Disyukuri?
- Bekasi Siapa Gubernurnya?
- Ancaman Transgender, Haruskah Kita Diam?
- Kenapa Bekasi Tenggelam?
- Nasib Bekasi : Gabung Jakarta Tenggara atau Bogor Raya?
- Air Bersih atau Air Kotor?
- Agustus Bulan Merdeka Bagi Sebagian Rakyat Indonesia (1)
- Refleksi Emas Kampung Buni di Tengah Gelar Kota Industri
- Apa Kata Netizen: Catatan Mudik 2019 Si Obat Rindu Masyarakat +62
- Diksi Kafir dalam Polemik
- Ironis, Kasus Nuril Tunjukkan Kebobrokan Hukum
0 Comments