Oase Iman /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 11/10/2016 10:30 WIB

Karamah dan Isu Penyimpangan Agama

Ilustrasi hamba Allah
Ilustrasi hamba Allah
Oleh: Ahmad Kholili Hasib, Peneliti di Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS)
 
Istilah karamah belakangan ini banyak dibicarakan di media. Hal ini menyusul, ramainya pemberitaan nasional tentang seseorang yang disebut-sebut memiliki ‘karamah’ tertentu. Atas ‘kemampuan luar biasa itu’, banyak masyarakat dari level pendidikan rendah sampai level intelektual tinggi tersedot hatinya untuk menjadi pengikut setianya.
 
Karamah merupakan istilah yang sering terkait dalam dunia tasawuf. Kemunculan karamah dalam diri seorang hamba yang sudah dekat dengan Allah merupakan kemuliaan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena itu, kemampuan melakukan sesuatu yang diluar kebiasaan manusia lain (khariq al-‘adah) ini terjadi pada orang shalih, orang yang telah sampai pada level kedekatan dengan Allah Subhanahu wa ta’ala, melalui pengamalan syariah pada tingkat puncak (ihsan) dan pembersihan hati (tazkiyatun nafs) yang sempurna.
 
Jadi, karamah tidak diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya yang belum sempurna pengamalan syariahnya. Apalagi kepada manusia yang ingkar atau keyakinannya menyimpang dari batas-batas agama. Orang yang ingkar terhadap syariah Allah atau tidak sempurna dalam pengamalan ibadahnya, bisa mendapatkan kemampuan luar biasa. Namun, istilahnya bukan karamah, tetapi istidraj.
 
Istidraj merupakan kemampuan luar biasa yang dilakukan oleh orang yang maksiat kepada-Nya, inkar terhadap syariah, orang kafir, atau para pelaku pelanggaran hukum-hukum agama. Dalam al Quran misalnya diceritakan tentang kemampuan tukang sihir Fir’aun.
 
Karamah itu wujud kemuliaan dari Allah. Maka, orang yang inkar pada syariahnya tidak mungkin mendapatkan kemuliaan. Istidraj bukan kemuliaan, justru merupakan wujud berlepas dirinya Allah terhadap hamba yang inkar tersebut.
 
Dalam dunia tasawuf, karamah ada dua; karamah hissiyah dan karamah ma’nawiyah. Karamah yang biasa disebut secara umum oleh manusia dengan ‘kemampuan luar biasa’ itu umumnya menunjuk kepada karamah jenis hissiyah.
 
Karomah jenis hissiyah termasuk kategori pemberian yang bersifat ‘bendawi’. Dalam dunia Islam, memang ada orang-orang shalih yang mendapatkannya. Biasanya karamah hissiyah itu datang secara tiba-tiba pada saat orang yang dikasihi oleh Allah (auliya’ Allah) itu membutuhkan.
 
Dalam al-Qur’an terdapat kisah-kisah tentang karamah jenis ini. Seperti yang dialami oleh Maryam, ibu Nabi Isa. Ketika Maryam menyendiri di mihrab ia selalu mendapatkan makanan-makanan lezat, tidak diketahui dari mana datangnya makanan tersebut. 
 
Difirmankan oleh Allah dalam al-Qur’an: “… Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia mendapati makanan di sisi Maryam. Maka Zakariya berakata: “Hari Maryam dari mana kamu memperoleh makanan ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab”.
 
Maryam bukan seorang Nabi. Tetapi dia hamba Allah yang dikasihi-Nya. Maka, datangnya makanan secara ajaib di sisinya itu menurut para ulama adalah karamah dari Allah, bukan mukjizat. 
 
Maryam tidak berniat secara khusus untuk mengadakan makanan lezat itu, tapi karena dia sedang membutuhkan dan dalam hati berdoa, maka Allah secara langsung mengirimkan makanan kepadanya.
 
Apa yang dialami ashabul Kahfi, seperti juga diceritakan dalam al-Qur’an, juga merupakan karamah jenis ini. Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga banyak mendapatkan karamah-karamah jenis ini.
 
Disebutkan oleh Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib, bahwa ketika jenazah Abu Bakar al-Shiddiq radhiallahu ‘anhu dibawa menuju tempat pemakaman di sisi makam Rasulullah, orang-orang yang  mengusungnya memberikan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Assalamu Alaika Ya Rasulullah, ini Abu Bakar sedang diluar pintu”. 
 
Ajaibnya, dari pintu makam Nabi tersebut terdengar suara, dan para sahabat sangat mengenali itu suara Nabi. “Masuklah orang yang dicintai kepada orang yang mencintainya”, bunyi suara dari makam Nabi tersebut. Inilah bentuk kehebatan Abu Bakar, setelah wafat pun, dia beri karunia oleh Allah.
 
Karamah seperti tersebut, menurut para ulama, juga berlaku pada orang-orang shalih, dekat dengannya yang disebut auliya’.Syekh Yusuf Nabhani menulis kitab Jami’ Karamati al-Auliya’ yang memuat banyak kisah-kisah karamah.
 
Akan tetapi, dalam dunia para sufi dan hamba Allah yang dekat dengan-Nya, karamah jenis hissiyah termasuk kategori pemberian Allah yang dianggap biasa-biasa. Tidak terlalu istimewa. Karena, para wali Allah itu merupakan orang yang hatinya terpaut hanya kepada Allah. 
 
Hal-hal yang sifatnya bendawi tidak dianggap keistimewaan. Ibnu ‘Athoillah al-Sakandari mengatakan: “Terkadang karamah diberikan kepada orang yang belum sempurna istiqamahnya”.
 
Karena itu, para wali bahkan menginginkan karamah bendawi itu dicabut karena bisa menjadi cobaan yang bisa mengganggu hubungan dia dengan Allah. Bukan malah bangga dengan khariqul ‘adah-nya, tetapi takut dengan kemampuan yang demikian. Bisa saja terjadi ke-wali-annya dicabut oleh Allah karena dia tergoda oleh ‘ujub, sombong dan penyakit-penyakit hati lainnya.
 
Makanya, karamah ma’nawiyah merupakan karamah yang dianggap para wali sebagai karamah yang sesungguhnya. Karamah ma’nawiyah berupa kemampuan hebat dalam melaksanakan ibadah kepada Allah (istiqamah) yang belum tentu bisa dilakukan oleh orang pada umumnya.
 
Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Randi dalam syarah kitab al-Hikam berpendapat, karamah yang benar itu sesungguhnya berupa kemampuan istiqamah, sampai pada level kesempurnaan istiqamah. Dan landasannya ada dua; yaitu iman kepada Allah dengan benar, dan mengikuti apa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara dzahir maupun secara batin. 
 
Adapun karamah berupa khariq al-‘adah oleh para ahli tidak terlalu dianggap, sebab hal itu bisa saja terjadi pada orang yang tidak taat beribadah (Muhammad bin Ibrahim al-Randi,Ghaits al-Mawahib al-‘Aliyyah fi Syarh al-Hikam al-‘Athoiyyah, hal.  214).
 
Karamah berupa istiqamah beribadah itu diakui keistimewaannya oleh pembesar-pembesar sufi seperti Abul Hasan al-Syadzili, Abul Abbas al-Mursi, Ibnu Athoillah al-Sakandari, Abu Yazid al-Busthomi, dan lain-lain.
 
Kisah-kisah kehebatan ulama dahulu dalam ilmu dan beribadah juga dikategorikan karamah. Imam Syafii memiliki kebiasaan membagi waktu malamnya menjadi tiga. Malam pertama untuk menulis, malam kedua untuk ibadah (baca al-Qur’an, dzikir dan shalat) dan sepertiga malam akhir, untuk istirahat (Al-Dzahabi,Siyar A’lam al-Nubala/10, hal 35). 
 
Di bulan Ramadhan beliau khatam al-Qur’an sebanyak 60 kali. Berarti dalam sehari khatam al-Qur’an dua kali. Dalam satu kisah, ketika menginap di rumah imam Ahmad, muridnya, imam Syafi’i dalam waktu hanya separuh malam mampu menyelesaikan 72 masalah dalam ilmu fikih.
 
Seorang tabi’in bernama Aswad bin Yazid pada bulan Ramadhan mengkhatamkan al-Qur’an setiap dua malam saja. Tidak pernah tidur, kecuali pada waktu antara maghrib dan isya. Para kekasih Allah zaman dahulu jarang yang tidur. Jika tidur, biasanya bukan sengaja memejamkan mata, tetapi tertidur. 
 
Ada pula kisah ulama yang shalat sehari semalam seribu rakaat. Dalam ilmu, imam Nawawi selama hidupnya telah menulis kitab sebanyak 46 judul. Ada beberapa judul kitab yang berjilid-jilid tebal, juga dikategorikan karamah.
 
Kemampuan para ulama menyembunyikan amal shalih secara rapat hingga bertahun-tahun tidak ada orang yang mengetahuinya juga karamah. Seperti Sayid Ali Zainal Abidin yang tiap malam memikul gandum dibagi-bagi kepada fakir miskin. 
 
Para fakir yang menerima makanan dari Sayid Ali pun tidak mengetahui. Karena memberikannya secara sembunyi-sembunyi di malam hari yang gelap. Hal itu dilakukan selama empat puluh tahun. Ketika meninggal dunia, diketahui punggung Sayid Ali memar karena memikul gandum tiap hari selama bertahun-tahun.
 
Karamah seperti ini lah yang didamba oleh para wali Allah. Karena itu, para ulama sufi mengingatkan agar berhati-hati dengan orang yang memiliki kemampuan luar biasa. Karena bisa saja itu dari setan, sulap atau yang lainnya.
 
Tukang sihir Fir’aun dikisahknya juga hebat-hebat, mengubah kayu jadi ular, megubah batu jadi emas dan lain-lain. Tetapi kemampuan ini atas bantuan setan, bukan bentuk kemulyaan dari Allah.
 
Abu Yazid al-Busthomi ditanya oleh seseorang mengenai orang yang mampu berjalan dari Baghdad ke Makkah dalam semalam. Abu Yazid menjawab: “Setan pun bisa berjalan dari ujung timur bumi sampai ujung barat hanya dalam sekejap, tetapi ia (setan) tetap dalam laknat Allah” ((Muhammad bin Ibrahim al-Randi,Ghaits al-Mawahib al-‘Aliyyah fi Syarh al-Hikam al-‘Athoiyyah, hal.  214). 
 
Dia juga pernah ditanya tentang orang yang mampu berjalan di atas air. Apa jawabnya? Dia tersenyum dan berkata: Saya tidak terkejut. Karena ikan itu berenang di atas air, dan burung terbang di udara.
 
Imam al-Qusyairi mengatakan: Orang yang merasa telah wushul (sampai) kepada tingkat tertentu kemudian meninggalkan aktivitas ibadah yang diwajibkan oleh Allah Swt itu lebih buruk dari orang yang mencuri dan berzina. 
 
Wali yang meninggalkan kewajiban syariat bukanlah wali tapi bodoh mengaku pintar (Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, hal. 368). Imam Junaid al-Baghdadi, berpendapat: “Tidak setiap orang yang memiliki kekhususan, itu sempurna keikhlasannya”.
 
Arti dari penjelasan para ulama sufi tersebut adalah kehebatan melakukan sesuatu yang diluar jangkauan manusia pada umumnya itu bukan satu-satunya tanda kewalian, bukan pula tanda keshalihan. 
 
Karena bisa terjadi pada ahli maksiat dan orang kafir. Kewalian dan keshalihan ditandai dengan istiqamah. Bahkan, orang yang sesat bisa jadi menggunakan istilah-istilah Islam untuk menyimpangkan agama umat Islam.
 
Adapun orang yang memamerkan kehebatan itu bukan orang yang shalih apalagi bukan wali, tetapi orang yang terpacu oleh hawa nafsu dan atas anjuran jin dan setan. Karena sifat dasar setan adalah menipu untuk menyesatkan manusia. 
 
Sedangkan manusia awam mudah tertipu oleh keajaiban-keajaiban bendawi. Maka,  pelaku penyesatan agama biasanya menggunakan bahasa-bahasa agama untuk menipu manusia. Seperti menggunakan istilah wali, karamah, imam, dan lain-lain yang disimpangkan maknanya. Mirip dengan orientalis atau pengikutnya yang membelokkan makna nubuwah, al-Islam,rahmatan lil alamin, dan lain-lain.
Editor :
Sumber : InPAS Online
- Dilihat 4064 Kali
Berita Terkait

0 Comments