Nasional / Sosial /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 27/09/2016 13:00 WIB

Psikolog UGM Bongkar Dukungan Politik Feminisme bagi Homoseksual

DR Bagus Riyono Psikolog UGM
DR Bagus Riyono Psikolog UGM
JAKARTA_DAKTACOM:  Dalam seminar kebangsaan “Reformasi KUHP: Delik Kesusilaan dalam Bingkai Nilai-nilai Keindonesiaan” di Gedung Nusantara V, Komplek MPR/DPR RI, Senin (26/9), pakar psikologi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Dr. Bagus Riyono, MA., Psikolog menyampaikan presentasinya berjudul “Politisasi Ilmu Psikologi”. 
 
Dalam bahasannya, diulas tentang gerakan feminisme yang menjelma menjadi gerakan mendukung homoseksual.
 
Dr. Bagus memaparkan pernyataan Leona Tyler, presiden dari American Psychological Association (APA) pada tahun 1973 yang mengatakan, APA adalah organisasi profesi yang memiliki otoritas untuk mempublikasikan dan menentukan standar keilmuan di bidang psikologi.
 
“Sebagai Presiden APA, Leona Tyler sadar, bahwa ilmu psikologi harus dijaga objektivitasnya agar tidak menyesatkan. Karena itu dia menginisiasi sebuah komitmen dalam APA untuk tidak mempublikasikan standard keilmuan, sebelum teruji dengan kuat melalui prinsip-prinsip ilmiah. Aturan ini disebut sebagai Leona Tyler Principle,” papar Bagus.
 
Prinsip tersebut terus ditegakkan hingga tahun 1979, ketika jabatan Presiden APA dipegang oleh Nicholas A. Cummings, PhD. Dia menyaksikan perubahan trend di APA di era 1970-an seraya mengatakan, pada waktu muncul gerakan feminisme (woman rights movement) yang mulai masuk dan mempengaruhi APA. Gerakan feminisme ini kemudian menjelma menjadi gerakan mendukung homoseksual (gay rights movement).
 
Sulit membedakan antara gerakan feminisme dan gerakan pembela homoseksual, karena orang-orangnya sama. Terlebih dalam perkembangannya, semakin banyak psikolog yang homoseks dalam tubuh APA, sehingga menyebabkan wacana yang mengarah pada topik homoseksual.
 
Lebih lanjut, Dr. Bagus mengungkapkan, pada waktu homoseksual masuk ke dalam klasifikasi abnormalitas. Kemudian pembela homoseksual mengusulkan sebuah resolusi melalui Dewan Pakar APA (APA Council) untuk mengembangkan status abnormalitas ini dengan janji akan dilakukan penelitian ilmiah untuk memutuskan apakah homoseksualitas itu normal atau abnormal. Keputusan diambil dengan suara terbanyak (voting) dan Dewan Pakar menyetujui untuk mengeluarkan resolusi tersebut.
 
“Kesaksian Dr. Cumming mengatakan, setelah itu tidak ada penelitian ilmiah tentang homoseksual, seperti yang sudah disepakati bersama. Leona Tyler Principle sudah tidak dipakai lagi, walaupun tidak ada pencabutan prinsip itu secara resmi. Hal itu menimbulkan pertanyaan bagi Dr. Cumming. Ternyata, belakangan diketahui, bahwa para pimpinan APA sebagian besar adalah homoseksual, baik gay maupun lesbian,” jelas Dr. Bagus.
 
Akhirnya, Dr. Cumming, seorang ilmuwan senior mantan Presiden APA, didepak dari APA, karena tidak sejalan dengan mayoritas . Dr. Cumming kemudian mendirikan NARTH (National Association for Research & Theraphy of Homosexuality) dengan menegakkan kembali Leona Tyler Principle. Namun demikian, sebagai organisasi baru, NARTH belum bisa menyaingi APA yang usdah menjadi organisasi ‘raksasa’ yang telah menguasai keilmuan psikologi dunia, termasuk Indonesia.
 
Belakangan, APA melakukan penelitian-penelitian yang mendukung kelompok homoseksual. Penelitian yang dilakukan oleh kelompok homoseksual ini bertujuan untuk melegalkan homoseksual sebagai sesuatu yang normal. Penelitian tersebut tidak mengikuti kaidah-kaidah ilmiah dan bias kepentingan.
 
“Namun, publikasi penelitian-penelitian pro-homoseksual ini didukung media massa yang juga sudah dikuasai oleh kaum homoseksual. APA kemudian sudah menjadi organisasi politik untuk kepentingan homoseksual. Terbukti, pada tahun 2013, gerakan pendukung homoseksual ini berhasil meloloskan legalisasi pernikahan sejenis dalam Mahkamah Agung Amerika melalui voting,” tandas Dr. Bagus.
Editor :
Sumber : Islampos.com
- Dilihat 2417 Kali
Berita Terkait

0 Comments