Oleh: Ahmad Kholili Hasib, Peneliti InPAS
Imam al-Ghazali pernah bercerita tentang ilmuan pengikut hawa nafsu. Siapa dia? Salah satu dicontohkan adalah ada seseorang yang menyatakan diri sebagai faqih (ahli fikih) yang ujub. Fanatik pada keahliannya, sehingga menolak ilmu-ilmu lain yang dianggapnya rendah.
Siang-malam dihabiskan untuk meneliti persoalan kecil dalam hukum demi mendebat rivalnya, namun melupakan penyakit yang menempel dalam hatinya sendiri. Berprasangka bahwa tidak ada ilmu lain yang menarik perhatiannya, kecuali ilmu perdebatan (munadzarah), membela diri, mengalahkan lawan-lawannya demi eksistensinya sebagai ilmuan yang ‘ahli’ fikih. Ilmu tasawwuf, ilmu tafsir, hadis, ilmu lughah dan lain-lain disingkirkan. Dikiranya, hanya modal hafal fatwa hukum dan sedikit berdalil al-Qur’an ia menjadi hebat.
Sang hujjatul Islam menyebutnya sebagai maghruur (orang yang tertipu). Semangatnya mendebat, ternyata bukan untuk Allah dan Rasul-Nya. Tetapi untuk ketenaran dirinya dihadapan orang banyak. Dalil pun dicari-cari untuk direkayasa, supaya rivalnya tidak bisa menjawab.
Begitulah, jika nafsu yang menjadi landasan sikap, -- yang cendekia menjadi bodoh, dan amal yang semestinya benar menjadi salah. Statemen dan pendapatnya mengandung kepentingan. Baik kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Beribadah kepada Allah Swt itu baik, akan tetapi bila niatnya karena nafsu, maka ibadah itu bisa berubah menjadi maksiat. Sedekah itu ibadah sosial yang baik. Namun bila sedekahnya dipamerkan, menjadi riya. Sedangkan pamer amal sholih dilarang agama.
Seharusnya, marah, bertindak dan diam itu karena Allah SWT. Imam al-Ghazali mengatakan: ‘Ikhlas itu bila kamu diam atau bergerak, hanya karena Allah’. Beribadah karena Allah, meninggalkan maksiat juga karena-Nya. Begitu pula mendukung tokoh fulan semestinya karena Allah, menolak dukungan kepada tokoh fulan, juga semata-mata atas alasan agama.
Sebuah fatwa agama harus kita terima jika dari ulama yang alim. Jika, hati kita menolak sebuah fatwa ulama disebabkan gara-gara muftinya itu berasal dari lembaga lain, maka ini namanya nafsu. Menolak dan menerima karena dorongan hawa nafsu.
Syekh Ibnu Athoillah al-Sakandari mengingatkan, nafsu itu bukan hanya bermain-main di ‘wilayah’ maksiat. Tetapi, nafsu juga bermain dalam ibadah seorang Muslim. Bahkan, nafsu yang menyusup ke dalam ibadah itu lebih sulit dikenali, daripada nafsu yang mendorong maksiat. Sehingga, menghilangkannya pun lebih susah.
Semangat ibadah karena dorongan nafsu ini bahayanya melebihi nafsu dalam maksiat. Mereka yang menjadi pengikut hawa nafsu, bahkan intensitas ibadahnya melebihi ibadah orang pada umumnya.
Ketika semangat ibadah seseorang sedang naik, maka ada dua kemungkinan; bila dia orang baik, berarti dorongan itu semata karena Allah Swt. Akan tetapi, jika dia penderita penyakit hati, maka dipastikan dorongan itu karena hawa nafsu.
Mereka ini penyembah hawa nafsu, bukan penyembah Allah Swt. Amalaiyah keagamaannya diletup oleh nafsu, bukan ilmu. Karena itu, biasanya keliru.
Ibnu Athoillah al-Sakandari memberi contoh penyembah nafsu yaitu; seseorang yang semangat beribadah sunnah tetapi malas beribadah wajib. Beliau mengatakan: “Salah satu tanda seseorang itu mengikuti hawa nafsu adalah, bersegera dalam menjalankan ibadah sunnah, tetapi malas menunaikan kewajiban” (Ibnu Athoillah al-Sakandari,Al-Hikam,hal.23).
Mestinya, kewajiban itu diutamakan daripada sunnah. Inilah adab dalam ibadah. Kewajibaan saat ini yang banyak dilupakan banyak orang adalah menuntut ilmu (thalibul ilmi). Hukumnya fardhu ‘ain (kewajiban personal). Akhirnya, terjadi kerusakan ilmu.
Muhammad bin Abil Warud mengatakan: “Kerusakan manusia itu karena dua hal:pertama, sibuk mengamalkan sunnah, dan melalaikan kewajiban. Kedua, melakukan amaliyah dzahir, tanpa membersihkan hati” (Abdullah Muhammad bin Ibrahim,Ghaits al-Mawahib al-‘Aliyyah fi Syarh al-Hikam al-Athoiyyah, hal.243).
Ada orang tua sangat menekankan anak-anaknya untuk kursus bahasa Mandarin, kursus menari, musik, bimbingan belajar matematika dan lain-lain. Bahkan beban itu terlampau melewati batas normal kemampuan anak. Dengan biaya mahal sekalipun.
Tapi lupa anaknya belum bisa membaca surat al-Fatihah, belum hafal bacaan shalat dan tata caranya, dan buta terhadap maksud rukun iman dan Islam. Padahal bahasa Mandarin tidak wajib, sedangkan shalat itu wajib.
Dalam Islam, adab ibadah itu penting, karena berefek kepada sah dan tidak sahnya pahala. Haji dan umrah adalah ibadah dengan pahal besar. Tetapi bila umrah berkali-kali tetapi tetangga dan saudaranya kelaparan, tidak bisa membayar sekolah, maka umrah itu bukan berbuah pahala. Bersemangat umrah berkali-kali, bermalas-malas menyantuni tetangga dan saudarnya yang fakir, merupakan contoh ibadah yang didorong nafsu.
Kisah pengalaman pribadi Abu Muhammad al-Murtaisy (w.940M), seorang sufi dari negeri Nisapur, ini bisa menjadi ibrah. Ia berhaji berkali-kali, tiada lelah sama sekali. Padahal, ibadah haji itu sangat berat. Butuh biaya banyak dan tenaga kuat. Ia sadar, bahwa semangatnya berhaji sampai berkali-kali itu karena nafsu setelah ia merenung. Suatu kali ia disuruh orang tuanya mengambilkan segelas air minum, tetapi dalam hatinya berat sekali melaksanakannya. Ia lalu mengetahui, beratnya melaksankan perintah ibu ini karena nafsu, dan semangatnya berhaji tanpa beban itu juga karena nafsu.
Jadi, nafsu itu bisa ‘menyulap’, ibadah yang berat menjadi ringan, serta ibadah yang ringan menjadi berat. Memang sifat dasar nafsu itu selalu menipu. Namun, jika manusia mampu mengendalikan nafsu yang liar, maka manusia bisa menjadi rasional kembali.
Dalam perang Khandaq, sayidina Ali bin Abi Thalib ra pernah membatalkan untuk membunuh musuh. Padahal, musuhnya yang kafir terjatuh tersungkur, sedangkan sayidina Ali sedang menghunus pedang. Tinggal satu pukulan, musuhnya itu kalah. Tetapi, di saat sayidina Ali mengarahkan pedangnya, musuhnya meludahi muka beliau.
Sayidina Ali bukannya tambah marah, tetapi malah diam menahan pedangnya. Hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, orang kafir tersebut bertanya.”Mengapa engkau tidak jadi membunuhku, wahai orang baik?”
Sayidina Ali menjawab,”Harta benda dan hidupmu menjadi berharga bagiku. Aku tak berhak membunuhmu. Aku diperbolehkan membunuh hanya dalam perang suci, yaitu perang yang diperintahkan oleh Allah dan semata-mata karena-Nya. Barusan aku telah mengalahkanmu dalam peperangan, memukulmu jatuh, dan hampir saja membunuhmu.
Namun ketika engkau meludahi wajahku, kemarahanku sendirilah yang bangkit untuk menghabisimu. Jika jadi membunuhmu, aku melakukannya bukan karena Allah, tetapi karena kemarahan dan nafsuku sendiri.
Karena itu, Allah Swt mengingatkan: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS. Al-Furqan: 43). Ibadah karena nafsu seperti tersebut di atas adalah menjadikan nafsu sebagai tuan dan tuhannya. Jika segalanya karena hawa nafsu, maka dia menjadikan nafsu sebagai agamanya.
Editor | : | |
Sumber | : | Ahmad Kholili Hasib |
- Mengapa Agama Jadi Kriteria Utama Calon Istri Menurut Islam? Begini Penjelasannya
- Banyak Gunung Alami Erupsi, Benarkah Pertanda Kiamat Dekat?
- 8 Keutamaan Mengajarkan Ilmu
- Sikap-Sikap yang Termasuk dalam Kemurtadan
- Ramadhan Telah Pergi, Bagaimana Kualitas Keimanan Kita?
- Hindari Kufur Nikmat, Berikut Lima Cara Mendapat Kepuasan Hidup
- Empat Janji Allah yang Tertuang Dalam Alquran
- Muhasabah Bagi Mukmin
- Cara Mempertahankan Iman Setelah Ramadhan
- Istighfar Sebagai Pembuka Pintu Rezeki
- Parfum Jabir bin Hayyan
- Bagaimana Islam Memandang Kesehatan Mental?
- Doa Meminta Keturunan yang Saleh
- Ikhtiar dan Tawakal
- Janganlah Mencela Makanan
0 Comments