Catatan Akhir Pekan /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 13/07/2016 09:16 WIB

Ngaji Kitab Ayyuhal Walad di Pesantren Shoul Lin Depok

Dr Adian Husaini
Dr Adian Husaini

Ngaji Kitab Ayyuhal Walad di Pesantren Shoul Lin Depok
Oleh: Dr. Adian Husaini

Alhamdulillah, pada 11-20 Ramadhan 1437 Hijriah, Pesantren Shoul Lin al-Islami Depok telah menamatkan kajian Kitab Ayyuhal Walad karya Imam al-Ghazali (w.1111 M). Para santri (kelas 7 dan 8 setingkat SMP) diajak untuk menelaah kitab ini kata per kata, di bawah bimbingan langsung mudir (pemimpin) Pesantren,  Ust. Muhammad Ardiansyah.

Kitab Ayyuhal Walad merupakan kitab kecil yang berisi nasehat Imam al-Ghazali kepada salah satu muridnya.  Meskipun dikaji oleh anak-anak, tetapi isi Kitab ini tetap sangat penting untuk kita renungkan, tanpa pandang usia. Nasehat-nasehat yang disampaikan Sang Imam sangatlah bernas.  Karena itu,  melalui tulisan ini, kita coba mengutip sejumlah nasehat Imam al-Ghazali kepada salah satu muridnya tersebut:
“Wahai Ananda, diantara nasehat Rasulullah saw kepada umatnya, ialah, bahwa diantara tanda-tanda Allah berpaling dari seseorang adalah orang itu menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.  Dan, jika satu “sa’at” saja umur seseorang hilang – karena digunakan bukan untuk yang semestinya ditentukan Allah – maka patutlah ia menyesali tanpa putus-putusnya. Juga, barang siapa yang umurnya melewati 40 tahun, sedangkan amal baiknya belum melebihi amal jahatnya, maka siap-siaplah ia masuk neraka.”

Nasehat Imam al-Ghazali ini sangatlah penting untuk kita renungkan. Betapa berharganya waktu kita.  Rasulullah saw telah mengingatkan kita semua: “Dua nikmat, yang kebanyakan manusia terlena adalah nikmat sehat dan waktu luang”. (HR Bukhari).

Nasehat Imam al-Ghazali ini begitu berharga. Sebab, ini menyangkut efisiensi waktu. Anak-anak yang mengaji kitab Ayyuhal Walad  rata-rata sudah berumur di atas 12 tahun. Anak perempuan sudah dewasa secara fisik. Anak laki-laki biasanya sudah mendekati dewasa. Mereka diingatkan agar memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk hal-hal bermanfaat, khususnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat.
Masa-masa tersebut adalah umur keemasan bagi seseorang untuk meraih ilmu. Karena itu jangan sampai waktu untuk meraih ilmu bermanfaat itu disia-siakan.  Imam Syafii, dalam salah satu syairnya berpesan: ”Wa man faatahu at-ta’liimu waqa syabaabihi; fakabbir ’alaihi arba’an li-wafaatihi.” (Barangsiapa yang tidak menggunakan masa mudanya untuk mencari ilmu, maka bacakan takbir empat kali). ”Wa dzaatul fataa wallaahi bil-ilmi wat-tuqaa; idza lam yakuunaa laa-i’tibaara lidzaatihi” (Demi Allah, hakekat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan taqwa; jika kedua  hal itu tiada padanya maka tak bisa disebut pemuda).   ”Wa man lam yadzuq murrat-ta’allumi saa’atan; tajarra’a dzullal jahli thuula hayaatihi” (Barangsiapa yang tidak pernah merasakan pahitnya mencari ilmu – walaupun sesaat – maka ia akan terjerumus dalam kebodohan yang hina sepanjang hayat.).     

Dalam syair lainnya, Imam Syafii berkata: Wa’lam bi-anna al-ilma laysa yanaaluhu, man hammuhu fi math’amin aw malbasin.  (Ketahuilah,  ilmu itu tidak akan didapat oleh orang yang cita-cita hidupnya hanya untuk makanan dan pakaian); Falaw laa al-ilmu maa sa’idat rijaalun, wa laa ’urifa al-halaalu wa laa al-haraamu. (Andaikan tanpa ilmu, maka seorang tidak akan mendapatkan kebahagiaan dan tidak dapat mengetahui mana halal dan mana haram). (Lihat, buku Koleksi Syair Imam Syafi’i, karya Yusuf Syekh Muhammad al-Baqi (Terj. Drs. Abdul Rauf Jabir, Pustaka Amani Jakarta).

Itulah nasehat para ulama yang agung tentang berharganya masa muda untuk meraih ilmu dan ketaqwaan.  Imam al-Ghazali benar-benar memperingatkan muridnya, bahwa tanda Allah berpaling dari seorang manusia adalah ketika manusia itu menyibukkan diri pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Rugi sekali jika waktu terbuang percuma, walaupun hanya untuk mengerjakan yang mubah. Karena bertambahnya umur tidak menambah kebaikan baginya.

Niat dan amal
Sejumlah hadits Nabi saw mengingatkan perlunya perhatian khusus terhadap masa muda. Diantaranya, Rasulullah saw bersabda:
 "Tidaklah akan bergeser kaki manusia pada hari Kiamat dari sisi Tuhannya, sampai ia ditanya tentang lima hal; tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa dia gunakan; tentang hartanya  -- dari mana dia peroleh dan untuk apa dia gunakan -- dan tentang apa yang dia lakukan dengan ilmunya." (HR Tirmidzi).

Rasulullah saw pun  mengingatkan, agar kita memanfaatkan masa muda untuk persiapan masa tua. Kata Nabi saw:  “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara. (1) Masa mudamu sebelum datang masa tuamu, (2) Masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, (3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, (4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, (5) Masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim).  
Imam al-Ghazali sangat menekankan arti penting masa muda ini, sehingga jangan sampai berlalu sia-sia. Karena itulah, dalam Kitab Ayyuhal Walad, al-Ghazali menasehati muridnya agar lebih menfokuskan mencari ilmu yang bermanfaat. Yakni, ilmu yang dicari dengan niat yang ikhlas dan ilmu yang diamalkan.  

Seorang yang bersungguh-sungguh mencari ilmu, pagi siang dan malam, tetapi dengan tujuan untuk meraih harta benda, mengejar kesenangan dunia, dan berlomba-lomba saling mengungguli antar kawan, maka ia termasuk orang yang malang.  “Maka celakalah kamu, dan celakalah kamu! (fa-waylun laka tsumma waylun laka!)” tegas Imam al-Ghazali.  

Sebaliknya, jika seorang mencari ilmu diniatkan untuk menghidupkan syariat Nabi Muhammad saw, mensucikan jiwa, dan menundukkan hawa nafsu, maka ia termasuk manusia beruntung. “Maka, berbahagialah kamu, dan berbahagialah kamu!” (fa thuuba laka, tsumma thuuba laka),”  begitu petuah Imam al-Ghazali, “Hiduplah kamu sesuka hatimu, tetapi ingatlah, kamu pasti akan mati!  Cintailah siapa pun yang kamu cintai, tapi ingatlah kamu pasti akan berpisah dengan dia! Dan berbuatlah kamu sesuka hatimu, tetapi ingatlah bahwa kamu pasti akan menerima balasan yang setimpal!”

Disamping niat yang ikhlas, Imam al-Ghazali pun menekankan pentingnya ilmu untuk diamalkan.  Kata Sang Imam:  “Ilmu tanpa amal adalah gila, dan amal tanpa ilmu adalah sia-sia.” (al-‘ilmu bilaa ‘amal junuun, wal-‘amal bi ghayri ‘ilmin laa yakûn). Ingatlah, ilmu yang tidak menjauhkan seseorang dari maksiat dan tidak mengantarkan kepada ketaatan, tidak akan bisa membebaskan manusia dari siksa api neraka jahannam.
“Dan jika kamu tidak mengamalkan ilmumu di dunia ini dan tidak menyesali kelalaianmu di masa lalu, maka kamu akan berkata di akhirat nanti: Ya Allah kembalikanlah kami ke dunia, kami akan beramal shaleh (QS 32:12), maka kamu akan mendapatkan jawaban: Hai bodoh, bukankah kamu sudah datang dari dunia!” demikian antara lain nasehat Imam al-Ghazali kepada muridnya.

Tentu saja, nasehat ini juga begitu berharga untuk  kita semua. Betapa pentingnya masalah niat mencari ilmu itu mendapatkan perhatian kita. Sebab, hadits Nabi Muhammad saw pun mengingatkan, bahwa sesungguhnya nilai suatu amal itu bergantung pada niatnya.  Perbuatan bisa sama bentuknya. Tetapi, niat yang berbeda, menjadikan nilai amal itu berbeda pula. Sama-sama berjilbab; yang satu berjilbab karena terpanggil oleh kesadaran kewajiban menutup aurat; satu lagi berjilbab karena tuntutan peran dana syuting sinetron.

Karena itu, hati-hatilah dalam soal niat mencari ilmu. Sama-sama nyantri, sama-sama sekolah, sama-sama kuliah, belum tentu nilai dan hasilnya sama. Itu tergantung niat mencari ilmu.  Di dalam kitabnya, al-‘Ilmu, Syaikh Amin al-Hajj al-Sudaniy menekankan pentingnya keikhlasan niat dalam mencari ilmu, baik bagi murid maupun guru. Sebab, ikhlas adalah asas setiap perbuatan, dan Allah tidak menerima amal yang mengandung unsur syirik. (QS 98:5).

Beberapa hadits Rasulullah saw mengingatkan, bahwa siapa yang mencari ilmu untuk mencari kehebatan di kalangan ulama dan mencari pujian di kalangan manusia, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka. Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang mencari ilmu yang sepatutnya ditujukan untuk mencari keridhaan Allah, lalu ia mencarinya hanya untuk kepentingan dunia semata, maka ia tidak akan mencium bau sorga di Hari Kiamat.” (HR Abu Dawud).

Beberapa tahun lalu saat mengisi sebuah acara khutbatul wada’ di sebuah Pesantren di Garut, pimpinan Pesantren bercerita bahwa guru beliau dulu sangat enggan memberikan ijazah kepada santri-santrinya. Pernah, katanya, sang guru memberikan ijazah sambil berkata, “Mudah-mudahan ijazah ini tidak laku!”  Kyai tersebut melakukan tindakan itu karena khawatir ilmu yang telah diberikan akan digunakan tidak pada tempatnya. Ilmu bukan untuk beribadah kepada Allah, menegakkan ajaran Islam, tetapi digunakan untuk mencari keuntungan dunia.

Di buku biografi KH Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pesantren Gontor Ponorogo, dikisahkan, ada seorang santri yang sudah lulus, lalu ditanya oleh Sang Kyai, “Apa kamu sudah mengajar?”  Dijawab oleh santri, “Belum, Pak Kyai!”  Maka, keluarlah pernyataan tajam Pak Kyai, “ Mati kamu!”  
Itu bermakna, Kyai tidak ridho jika ilmu yang sudah diajarkan di pesantren tidak diamalkan dan diajarkan oleh para santri.  Karena itu, kita jumpai satu tradisi yang baik di pondok-pondok pesantren dulu, bahwa “sejelek-jeleknya santri, jika pulang ke kampungnya, cita-citanya adalah mengajarkan ilmunya.” Tradisi semacam inilah yang selama beratus-ratus tahun menghidupkan budaya ilmu dan dakwah di tengah masyarakat kita. Betapa pun penjajah kafir berusaha mengganti agama penduduk Indonesia, masyarakat muslim tetap lebih taat kepada Kyai ketimbang kepada penguasa.   

Demi waktu
“Demi waktu, sungguh manusia itu dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan saling menasehati dalam kebenaran dan dalam kebenaran.” (QS al-‘Ashr).

Kita sangat akrab dengan surat al-‘Ashr tersebut. Betapa berharganya waktu bagi kita, dan bagi manusia. Karena itu, sangatlah aneh, jika dalam sistem pendidikan kita, anak-anak kita diajari berbagai ilmu yang tidak bermanfaat dan mereka dipaksa selama bertahun-tahun menjadi anak-anak. Padahal mereka, sejatinya, sudah dewasa (akil-baligh).

Kini, karena mengikuti konsep psikologi perkembangan yang “aneh”, anak-anak pada jenjang pendidikan SMP-SMA, dipaksa untuk menjadi anak-anak. Mereka dianggap sebagai “remaja” yang (harus) labil kejiwaannya dan (dianggap) belum bisa menentukan sikap sendiri. Ini aneh. Sebab, labil atau tidaknya jiwa seseorang tergantung dari proses pendidikan yang diterimanya.  Lucunya, meskipun sudah bisa memperkosa dan membunuh dengan biadab, masih juga dianggap sebagai anak-anak.

Seharusnya, sistem pendidikan nasional kita konsisten dengan tujuan Pendidikan Nasional, yaitu membentuk manusia beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, dan seterusnya. Untuk mencapai tujuan itu, maka haruslah disusun kurikulum pendidikan yang berbasis kepada wahyu Tuhan Yang Maha Esa.  Jika tujuannya membentuk manusia beriman dan bertaqwa, maka logikanya, kurikulum yang disusun adalah “kurikulum taqwa”. Yakni, kurikulum yang mengarahkan anak didik menjadi manusia beriman dan taqwa. Itulah manusia yang mulia.

Selanjutnya, Standar kompetensi lulusan setiap jenjang pendidikan, juga ditentukan berdasarkan ketentuan standar adab dan ilmu yang ditentukan oleh Allah SWT. Itu yang paling utama. Jika tidak begitu, lalu untuk apa Tuhan Yang Maha Esa dibawa-bawa dalam Konstitusi dan UU Pendidikan Nasional? Bukankah Tuhan Yang Maha Esa telah mengirim utusan-Nya yang terakhir untuk menjadi suri tauladan (uswah hasanah) dan rahmah untuk seluruh manusia?

Karena itulah, mengingat begitu berharganya WAKTU bagi anak-anak kita, seharusnya kita berpikir serius, selama 14 tahun anak-anak menempuh pendidikan (TK-SD-SMP-SMA), ilmu apakah yang sudah mereka dapatkan?  Apakah masa belajar yang begitu panjang itu lebih banyak digunakan untuk meraih ilmu yang bermanfaat atau bahkan ilmu yang tidak  bermanfaat dan merusak? Adalah sangat menyedihkan, jika sampai lulus pendidikan tingkat SMA, anak-anak muslim masih belum tahu, ilmu apa yang harusnya dia cari ketika memasuki jenjang pendidikan tinggi!

Cobalah kita pikirkan, ratusan juta rupiah telah digelontorkan untuk biaya sekolah; bertahun-tahun anak-anak diajar dan dilatih menjawab soal-soal ujian supaya bisa diterima di Perguruan Tinggi favorit; tetapi kemudian, ketika ditanya, untuk kamu kuliah, mau kemana setelah kuliah, dan sebagainya, si anak tidak mampu menjawab dengan baik. Lebih memilukan jika bertahun-tahun belajar di sekolah, dia tidak mengenal asal-usulnya sendiri, tidak mencintai Nabi saw, tidak kenal sahabat Nabi, tidak kenal para ulama dan para tokoh pendidikan Islam.  

Adalah ironis, anak-anak muslim diwajibkan memperingati Maulid Ki Hadjar Dewantara setiap 2 Mei, tetapi tidak mengenal sosok dan perjuangan para tokoh pendidikan sejati seperti Syekh Abdus Shamad al-Falimbani, Syekh Yusuf Maqassari, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Buya Hamka, Mohammad Natsir, KH Imam Zarkasyi dan sebagainya.    

Jadi, kembali kepada nasehat Imam al-Ghazali, bahwa diantara tanda-tanda berpalingnya Allah dari seseorang, adalah orang itu menyibukkan diri dalam hal yang tidak bermanfaat. Maka,  betapa berartinya sang waktu. Jangan sampai anak-anak mendapatkan pendidikan yang begitu banyak buang-buang waktu percuma; mempelajari ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat; yang ujung-ujungnya mencetak generasi bingung, generasi aji-mumpung, dan generasi lemah bermental “lempung”.
Ingatlah pesan penyair terkenal Mohammad Iqbal:

“Oleh sebab wujudmu belum masak,
Kau menjadi hina-terlempar
Oleh sebab tubuhmu lunak,
Kau pun dibakar orang,
Jauhilah ketakutan, duka dan musuh hati,
Jadilah kuat seperti batu, jadilah intan.”

(Dr. Moh. Iqbal, dari puisi bertajuk “Kisah Intan dan Batu Arang”, terjemah Kol. Drs. Bahrum Rangkuti dalam buku Asrari Khudi, Rahasia-Rahasia Pribadi, (Jakarta: Pustaka Islam, 1953).

(Yogyakarta, 13 Juli 2016).

Editor : Dakta Administrator
Sumber : Dr. Adian Husaini
- Dilihat 5073 Kali
Berita Terkait

0 Comments