Selasa, 23/01/2024 10:00 WIB
Ekonomi Israel Makin Babak Belur
TEL AVIV -- Israel disebut kian sukar menyembunyikan dampak menghancurkan dari segi ekonomi serangan brutal yang mereka lakukan ke Jalur Gaza. Perekonomian negara Zionis tersebut belakangan terus menerima serangkaian “pukulan menyakitkan” ketika serangan yang dilancarkan pendudukan di Jalur Gaza terus berlanjut selama lebih dari 100 hari.
Menurut para pengamat dan ahli yang diwawancarai Aljazirah, pemerintahan Benjamin Netanyahu gagal menetralisir perekonomian Israel dan menghindari kerugian seperti perang-perang sebelumnya. Hal ini terutama karena daerah Israel yang diserang pejuang Palestina dalam Operasi Badai al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 bertanggung jawab untuk memasok sekitar 75 persen hasil tani Israel. Perang mengubah wilayah -wilayah itu dari kawasan pertanian menjadi kawasan militer tertutup.
Pakar ekonomi Yordania, Amer Al-Shoubaki, melukiskan gambaran suram mengenai realitas dan masa depan perekonomian Israel sehubungan dengan berlanjutnya perang di Jalur Gaza dan kerugian ekonomi tidak langsung dari perang penjajahan. Sejak 7 Oktober, Israel disebut telah merugi sebesar 165 miliar dolar AS.
Al-Shoubaki menambahkan, apa yang diumumkan Israel hanyalah sebagian kecil dari kerugian militer sebenarnya. Gambarannya, biaya operasional perang mencapai 280 juta dolar per hari atau setara dengan 28 miliar dolar dalam 100 hari pertama pertempuran. Ini di luar kerugian akibat hancurnya seribu lebih kendaraan lapis baja dan tank oleh pejuang Palestina.
Menurut Al-Shoubaki penggunaan ratusan ribu tentara cadangan Israel telah mengosongkan banyak sektor pekerja Israel. Pasukan cadangan yang jumlahnya melebihi 300 ribu pegawai itu bekerja di berbagai sektor vital, yang terpenting adalah sektor teknologi, yang memasok separuh ekspor Israel. Sektor ini telah menderita kerugian melebihi 20 miliar dolar.
Investasi asing juga mandek akibat perang di Gaza sehingga menimbulkan kerugian yang sangat besar, mencapai 15 miliar dolar AS yang membutuhkan waktu lama untuk pulih. Perang juga memangkas 75 persen pendapatan dari sektor pariwisata. Sebelum perang, sektor ini menghasilkan sekitar 20 miliar dolar AS ke kas Israel setiap tahunnya.
Israel juga harus mendanai keluarga-keluarga yang kehilangan tempat tinggal akibat perang di Jalur Gaza dan di daerah perbatasan utara dengan Lebanon, yang jumlahnya diperkirakan mencapai satu juta pemukim dan saat ini tinggal di 280 hotel. Hal ini memerlukan dana yang sangat besar, tidak kurang dari 10 miliar dolar AS per bulan.
Israel juga harus memberikan kompensasi dan perawatan terhadap warga sipil dan tentara yang terluka akibat perang, selain memberikan kompensasi kepada keluarga tentara yang tewas, merawat yang terluka dan cacat akibat perang. Selain itu, memberikan kompensasi kepada mereka yang rumahnya rusak akibat dihantam pejuang Palestina, yang meningkatkan biaya tambahan pada perbendaharaan penjajah, dalam jangka pendek dan panjang.
Migrasi lebih dari 400.000 warga Israel yang memiliki kewarganegaraan ganda ke benua Eropa dan Amerika akibat perang juga memicu penurunan pendapatan pemerintah dan pembayar pajak.
Hilangnya tenaga kerja Palestina di sektor konstruksi di wilayah yang diduduki pada tahun 1948, dan kaburnya tenaga kerja Thailand di fasilitas pertanian di sekitar Jalur Gaza menambah beban baru bagi perekonomian Israel, sebagai akibat dari penghentian total sektor penting ini.
Sedangkan krisis navigasi berlanjut di Laut Merah, dengan kelompok Houthi mencegah kapal-kapal yang datang menuju Israel, atau kapal Israel, untuk berlayar melalui Bab al-Mandab. Hal ini telah menghentikan lalu lintas maritim di pelabuhan Eilat Israel sebesar 95 persen. Israel juga menjadi bergantung pada kapal-kapal yang datang dari Mediterania, yang telah meningkatkan biaya pengiriman dan menyebabkan kenaikan tajam harga barang-barang konsumen dan harga kendaraan di negara pendudukan.
Kepala ekonom Kementerian Keuangan Israel, Shmuel Abramson, memperkirakan perekonomian akan menyusut sebesar 1,5 persen jika perang di Gaza berlanjut hingga akhir tahun ini. Ia sebelumnya ia memperkirakan pertumbuhan sebesar 2,7 persen untuk tahun 2024 pada awal perang, menurut laporan yang dimuat oleh surat kabar ekonomi Israel Globes.
Pakar ekonomi Hossam Ayesh kepada Aljazirah menegaskan bahwa Israel tidak berencana memperluas perangnya di Jalur Gaza selama lebih dari 100 hari. Hal ini karena negara itu menderita kerugian ekonomi yang sangat besar akibat perang. Mereka mengalami dilema nyata akibat tingginya utang yang harus dibelanjakan Operasi militer.
Israel juga menderita defisit anggaran yang parah akibat penurunan pendapatan, yang berarti peringkat kreditnya menurun dari stabil menjadi negatif. Hal ini dengan ekspektasi Israel akan menghadapi defisit pemerintah sebesar 5,3 persen pada 2023 dan 2024, mengingat besarnya belanja pertahanan yang diakibatkan oleh perang.
"Kerusakan ekonomi, militer dan teknologi yang ditimbulkan oleh penjajah selama 100 hari terakhir melebihi 100 miliar dolar AS, menambahkan bahwa semakin besar perang, semakin besar pula persentase kerugiannya," kata Ayesh.
Ia melanjutkan, sektor teknologi yang menjadi tulang punggung perekonomian Israel - karena keunggulannya di bidang ini - mulai menurun, mengingat penerimaan pajak terkait sektor ini telah menurun hingga 80 persen. Cadangan militer Israel sebagian besar pekerja di sektor ini, disertai dengan ketidakpastian akibat perang ini, dan semua ini telah menyebabkan kerugian yang sangat besar."
Ayesh, menekankan bahwa pemerintahan Netanyahu menyembunyikan kebenaran mengenai kerugian ekonominya agar tidak mengganggu jalannya pertempuran di Jalur Gaza. Namun, media Barat – terutama Amerika – baru-baru ini mempublikasikan kebenaran tersebut. tentang kerugian yang diderita pendudukan sejak lebih dari 100 hari agresi terhadap Jalur Gaza.
Sedangkan akuntan Jenderal Departemen Keuangan Israel, Eli Rotenberg, memperkirakan proporsi utang publik akan meningkat menjadi 62,1 persen dari produk domestik bruto pada 2023 sebagai akibat dari dampak finansial perang ini. Hal ini setelah ekspektasi menunjukkan penurunan sebesar 1 persen setiap tahun menjadi 59 persen sebelum operasi Badai al-Aqsa, menurut surat kabar Globes. Data resmi juga menunjukkan bahwa defisit anggaran diperkirakan meningkat dari 2,25 persen menjadi 6,6 persen PDB pada tahun berjalan.
Sumber | : | REPUBLIKA |
- Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina (ARIBP) Mendesak Bantuan Militer untuk Palestina
- Bayi Palestina Lahir Selamat dari Rahim Ibu yang Tewas Dibunuh Israel
- Rusia Mengingatkan Turki Agar tak Berilusi Jadi Anggota Uni Eropa
- Filipina Evakuasi Ribuan Warga Saat Topan Mawar Semakin Mendekat
- Korsel Berhasil Luncurkan Satelit Komersial Pertama Kali
- China Minta Bantuan Selamatkan 39 Awak Kapal Tenggelam, 17-nya WNI
- China Ingatkan Jepang Terkait Tanggung Jawab Limbah Nuklir Fukushima
- Madinah Siapkan Diri Sambut Jamaah Haji 2023
- Yordania Tuan Rumah Pembahasan Nasib Suriah di Liga Arab
- WHO Masih Mengidentifikasi Asal-Usul Covid-19
- Jepang Cari Dukungan G7 Untuk Pembuangan Air Olahan PLTN Fukushima
- Turki Desak AS Cabut Sanksi di Bidang Industri Pertahanan
- NATO Tolak Kirim Jet Tempur ke Ukraina
- Kuwait Nyatakan Tetap dalam Solidaritasnya Bersama Rakyat Palestina
- Jepang Bertekad Perkuat Kerja Sama dengan ASEAN
0 Comments