Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Senin, 13/03/2023 06:00 WIB

Kompleksitas Regulasi Hambat Investasi Sistem Komunikasi Kabel Bawah Laut

KABEL BAWAH LAUT
KABEL BAWAH LAUT

JAKARTA , DAKTA.COM Pembangunan Sistem Komunikasi Kabel Bawah Laut (SKKL) masih terhambat kompleksitas regulasi terkait investasi.

 

“Salah satu tulang punggung utama infrastruktur pita lebar adalah SKKL. Hampir seluruh lalu lintas internet bergerak melalui SKKL karena ia menghubungkan pengguna internet berbagai layanan seperti cloud, transmisi konten dan aplikasi, serta memfasilitasi komunikasi ke seluruh dunia,” terang Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ajisatria Suleiman.

 

Pembangunan SKKL sendiri membutuhkan keterlibatan swasta seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap data dan layanan dengan bandwith tinggi.

 

Namun, investasi swasta di SKKL acapkali terhambat iklim regulasi yang kompleks dan dihadapkan pada proses birokrasi yang melibatkan lintas instansi pemerintah, seperti bidang telekomunikasi, pertahanan, lingkungan hidup hingga kelautan.

 

UU Cipta Kerja sebetulnya sudah merespons kebutuhan akan regulasi yang sederhana karena UU ini menjadi dasar reformasi regulasi telekomunikasi yang sangat dibutuhkan, serta mendorong pendekatan baru untuk perizinan usaha berbasis risiko melalui sistem One Single Submission (OSS). Namun masih banyak tantangan implementasi di lapangan.

 

“Meskipun pemerintah sudah menyederhanakan proses perizinan usaha melalui OSS, masih banyak proses yang belum terintegrasi”, lanjut Ajisatria.

 

Misalnya, sebelum mengajukan permohonan izin lokasi (dikenal sebagai PKKPRL) ke OSS, calon operator harus menjalani setidaknya enam proses perizinan yang panjang, mulai dari security clearance hingga survei laut. Bahkan untuk survei laut, calon operator membutuhkan persetujuan dari setidaknya lima kementerian untuk memulai studi kelayakan.

 

Ajisatria mengapresiasi terbitnya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 42/2022 tentang Mekanisme Penyelenggaraan Pendirian dan/atau Penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut, yang disebutnya dapat menjadi wadah koordinasi antara pihak swasta dan berbagai instansi untuk menyelesaikan berbagai masalah teknis di lapangan.

 

Tantangan selain kompleksitas regulasi adalah kurangnya kejelasan mengenai proses persetujuan untuk rute dan titik pendaratan (landing points) kabel internasional. Masih terdapat perbedaan penafsiran mengenai sejauh mana kabel dapat menyimpang dari rute yang sudah ditetapkan oleh Keputusan Menteri KKP 14/2021 tentang Alur Pipa dan/atau Kabel Bawah Laut.

 

Pengambilan keputusan yang terjadi saat ini masih dilakukan secara case by case tanpa pedoman.

 

Akibatnya, investor SKKL menghadapi ketidakpastian dan harus berkomunikasi dengan banyak lembaga pemerintahan yang berbeda untuk mendapatkan rute yang ideal.

 

Padahal fleksibilitas rute penting untuk memastikan pengoperasian kabel yang aman sesuai dengan praktik terbaik internasional. Hal ini memperlambat proses bisnis untuk menggelar SKKL dan mencapai realisasi investasi SKKL.

 

Kebijakan maritim nasional perlu mendukung rencana konektivitas internet dan investasi infrastruktur yang terkait. Dalam jangka panjang, Indonesia perlu menyelaraskan kebijakan maritim dengan visi ekonomi digital.

 

Sebuah studi dari RTI yang dirilis pada tahun 2020 menyimpulkan bahwa kabel bawah laut telah berkontribusi pada peningkatan PDB per kapita Indonesia sebesar 5,4% antara 2012 - 2017.

 

Konektivitas internet Indonesia saat ini masih berada peringkat 66 secara global, di bawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam (Economist Intelligence Unit, Inclusive Internet Index, 2021).

Sumber : CIPS
- Dilihat 864 Kali
Berita Terkait

0 Comments