Nasional / Politik dan Pemerintahan /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 13/10/2022 06:48 WIB

Kriminalisasi Anies Bisa Ciptakan Ledakan Sosial

ANIES BASWEDAN 1 1
ANIES BASWEDAN 1 1

DAKTA.COM - Soal konflik, ledakan sosial dan transformasi politik, saya sedikit ngerti ilmunya. Karena saya menulis disertasi tentang solidaritas sosial dan transformasi politik berbasis teori konflik. Dari riset ini saya menemukan teori Lima Tahap Transformasi Politik.

Saya ingin menggunakan back ground saya ini untuk mencoba menganalisis apa yang terjadi terkait dengan "percobaan memenjarakan Anies".

Berawal dari video Andi Arief yang mengungkap adanya instruksi untuk menjegal Anies. Dilanjutkan video Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membongkar sekenario pilpres dengan dua pasang kandidat tanpa Anies. Berita ini sebelumnya sudah beredar kencang di kalangan elit. Andi Arief dan SBY membawanya ke publik.

Belakangan muncul berita dari salah satu elit Nasdem bahwa ada gelar perkara di KPK terkait kasus Formula E. Sempat dibantah oleh pihak KPK. Tapi, Koran Tempo kemudian membongkar  adanya gelar perkara tersebut. Tidak hanya sekali, tapi bahkan tiga kali yaitu tanggal 12, 19 dan 28 September. Dalam gelar perkara tersebut, Firli Bahuri, Ketua KPK, mendorong agar Anies segera ditetapkan jadi tersangka.

Menurut info yang diperoleh Koran Tempo, mayoritas peserta gelar perkara yaitu satgas penyelidik, tim penyidik dan tim penuntutan menganggap tidak ada pelanggaran hukum di Formula E. Ahli hukum pidana yang dimintai pendapat, termasuk Prof. Dr. Romli Atma Sasmita satu kata dengan mayoritas tim penyidik: "Tidak Ada Pelanggaran Hukum di Formula E". Tapi, Firli, sesuai berita Koran Tempo, kekeuh mendesak agar Anies ditetapkan jadi tersangka. Bahkan Firli pun akan melobi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk bersedia mengeluarkan hasil auditnya bahwa ada pelanggaran hukum di Formula E.

Kalau nantinya tim penyidik tidak menemukan alat bukti cukup, KPK punya kewenangan untuk SP3, sesuai pasal 40 UU KPK, kata Firli. Ungkapan ini memiliki kesan kuat adanya upaya paksa untuk menetapkan Anies sebagai tersangka.

Ada pertanyaan nakal: Apakah ini inisiatif dan kehendak Firli Bahuri sendiri? Atau ada keterlibatan dan instruksi pihak lain? Silahkan simak kembali video Andi Arief dan SBY.

Kalau dibilang kejam, sebagaimana kata SBY, ini memang teramat kejam. Dibilang merusak demokrasi, ini tidak hanya merusak, tapi memporakporandakan demokrasi. Terkesan ada pihak-pihak yang tidak siap berkompetisi secara fair dengan Anies di pilpres 2024. Ada yang merasa tidak aman jika Anies jadi presiden.

Isu yang berkembang di lingkaran kekuasaan, calon diupayakan hanya dua pasang. Alasannya untuk antisipasi keamanan dan menekan biaya pemilu. Dua alasan yang jauh dari tepat. Ini menunjukkan negara tidak siap dengan sistem demokrasi. Menyoal keamanan dan biaya pemilu sebagai konsekuensi demokrasi itu terkesan aneh dan ganjil. Jauh dari rasional.

Lepas dari semua itu, saya ingin menganalisis kemungkinan apa yang terjadi jika Anies dipaksakan jadi tersangka. Apalagi setelah Partai Nasdem mendeklarasikan Anies menjadi capresnya, dan gombang dukungan makin besar, termasuk dari para tokoh nasional sekelas Akbar Tanjung.

Kita mesti melihat situasi politik saat ini  Selama periode Jokowi, ada sejumlah kelompok yang diduga kuat sangat ingin Jokowi mundur sebelum 2024. Pertama, mereka menganggap pemerintah gagal mengurus negara ini. Banyak kasus yang mereka uraikan. Jika Jokowi tetap berkuasa sampai 2024, maka negara akan semakin amburadul. Kedua, mereka menganggap percuma ada pemilu jika rezim ini masih berkuasa. Mereka meyakini pemilu akan direkayasa untuk memenangkan calon yang disiapkan rezim. Kasus Firli jegal Anies di KPK semakin menguatkan keyakinan mereka.

Kelompok ini kemudian berkolaborasi dengan sejumlah kekuatan yang berkepentingan ingin mengambil alih kekuasaan. Sejumlah upaya telah dilakukan, namun selama ini belum berhasil mendesak Jokowi mundur. Rezim masih terlalu kuat untuk ditumbangkan.

Sesuai teori Ibnu Khaldun, yang kuat itu yang menang. Kemenangan hanya diraih oleh pihak yang kuat, bukan pihak yang baik dan bermoral.

Di sisi lain, sebagian besar rakyat masih menaruh harapan akan terjadi perubahan melalui pemilu 2024. Mereka secara menjaga agar situasi bangsa tetap aman, dan suksesi kepemimpinan bangsa berjalan normal yaitu melalui pemilu 2024. Suksesi di tengah jalan akan dibayar dengan cost sosial dan ekonomi yang teramat mahal. Boleh jadi juga cost politiknya. Karena itu, mereka tetap ingin suksesi normal. Yaitu pemilu 2024.

Dalam situasi seperti ini, nama Anies Baswedan muncul sebagai sebuah harapan. Makin hari makin besar dukungannya. Survei terakhir CSIS, Anies menang jika head to head lawan Ganjar maupun Prabowo. Dari trend survei yang ada, harapan perubahan itu dianggap semakin nyata.

Anda bisa bayangkan jika harapan itu mendadak hilang dengan dipaksakannya Anies sebagai tersangka. Dipastikan ini akan membuat rakyat frustasi. Jumlah rakyat yang frustasi cukup besar. Mereka menganggap tidak ada lagi harapan buat masa depan bangsa.

Frustasi kolektif akan mendorong rakyat melakukan konsolidasi. Satu tujuannya: melawan pihak yang merenggut harapan mereka. Dari sini, akan terjadi kolaborasi semua kelompok yang selama ini tidak percaya dengan pemerintah. Kaum tengah dan cendekia yang semula diam, sebagian akan ikut gerbong karena menganggap negara telah dikelola semakin tidak rasional. Mesin sosial dan mesin partai akan bekerja. Semakin banyak elit yang akan berselancar di atas gelombang massa.

Mengkasuskan Formula E berpotensi menjadi jahitan terhadap semua "protes massal" yang terjadi sepanjang delapan tahun kepemimpinan Jokowi. Perlawanan akan semakin terkonsolidasi, matang, terukur dan militan. Kepercayaan diri kelompok anti Jokowi akan semakin menguat seiring gelombang kekecewaan para pendukung Anies terhadap ulah oknum KPK yang gegabah. Kasus Formula E akan membuat rakyat oposisi semakin solid. Kesadaran kolektif untuk meledakkan kemarahan terindikasi semakin kuat sejak Andi Arief, SBY dan Koran Tempo membongkar rahasia gelar perkara Formula E. Ini nampaknya yang kurang diperhitungan secara matang oleh elit penguasa, terutama Firli dan pihak di belakangnya.

Analisis intelijen tentang dampak sosial-politik yang ditimbulkan oleh dugaan adanya rekayasa pada kasus Formula E perlu secara lebih cermat dikaji ulang. Salah perhitungan, bangsa ini bisa jadi korban.

Betul kata Tamsil Linrung, anggota DPD dari Sulawesi Selatan ini bahwa Jokowi tidak boleh diam. Jokowi harus ambil sikap. Hentikan Firli. Jika tidak, rakyat akan berasumsi bahwa istana ada di belakang Firli, sebagaimana tuduhan Andi Arief. Situasi ini dapat memicu lahirnya ledakan. Saatnya Jokowi tampil sebagai negarawan untuk hentikan segala upaya yang berpotensi menciptakan ledakan sosial ini. Bukan intervensi, tapi tindakan pro-aktif untuk selamatkan negara.

 

Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Reporter : Warso Sunaryo
- Dilihat 824 Kali
Berita Terkait

0 Comments