Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Senin, 26/09/2022 08:00 WIB

Integrasi Indonesia ke Rantai Nilai Global Dukung Perkembangan Industri Mamin

PRODUK UKM MAMIN 2
PRODUK UKM MAMIN 2

 

DAKTA.COM -  Integrasi ke dalam rantai nilai global atau Global Value Chain (GVC) dapat mendukung perkembangan industri makanan dan minuman Indonesia.

 

“Indonesia perlu memanfaatkan rantai nilai global, serangkaian kegiatan pengolahan barang yang melibatkan berbagai perusahaan di beberapa negara yang berbeda, dalam mendukung perkembangan industri mamin di dalam negeri. Namun hal ini perlu diawali dengan membuka diri terhadap pasar dan pertukaran barang dan jasa dengan seluruh dunia,” jelas Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta.

 

Memahami dan memanfaatkan rantai nilai global akan menjadi kunci bagi Indonesia untuk menumbuhkan industri maminnya.

 

Data OECD 2020 menyebut, secara global, 70% dari perdagangan internasional saat ini dilakukan dalam rantai nilai global. Dengan kata lain, alih-alih membangun rantai nilainya sendiri untuk memproduksi barang ekspor, perusahaan menjadi bagian dari jaringan produksi dimana bahan baku, bagian, dan komponen barangnya diproduksi dan diperdagangkan di berbagai negara.

 

Industri mamin adalah salah satu industri yang paling dipengaruhi oleh rantai nilai global karena perbedaan keunggulan alam antar negara dalam hal produksi pertanian, perkebunan, bahkan tambang (garam). Melihat hal ini, industri mamin memang idealnya menghasilkan output dengan menggabungkan aneka bahan yang tidak dapat diproduksi hanya di satu tempat.

 

Di samping itu, pertumbuhan industri mamin Indonesia telah lama terlalu bergantung pada produk kelapa sawit dan turunannya. Kisruh kelangkaan minyak goreng baru-baru ini telah menunjukkan betapa rentannya sektor ini dari gejolak dunia maupun disrupsi kebijakan pemerintah.

 

Agar industri mamin lebih kuat dan resilien, diperlukan diversifikasi industri makanan yang lebih kompleks.

 

Selain efisiensi bahan baku, partisipasi dalam rantai nilai global juga dapat memfasilitasi akses perusahaan terhadap jejaring, pasokan, pengetahuan dan teknologi. Hal ini bisa meningkatkan kegiatan manufaktur, yang akan menyokong pembangunan ekonomi suatu negara.

 

Partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Partisipasi rantai nilai global ke belakang, yang diukur dari rasio muatan bernilai tambah asing terhadap total ekspor bruto (yakni, input impor yang digunakan untuk produksi domestik dan kemudian diekspor), menurun dari 16,9% menjadi 10,1% antara tahun 2000 hingga 2017.

 

Sementara itu, partisipasi dalam rantai nilai global ke depan, yang diukur dari rasio nilai tambah domestik yang dikirim ke luar negeri terhadap total ekspor bruto, menunjukkan penurunan yang lebih tajam, dari 21,5% menjadi 12,9% pada periode yang sama, tetapi tetap lebih besar dari partisipasi ke belakang, berdasarkan data Bank Pembangunan Islam & Bank Pembangunan Asia, 2019.

 

“Indonesia perlu membuka diri terhadap impor, terutama impor bahan-bahan yang tidak tersedia di sini untuk menambah nilai tambah pada produknya. Kita dapat memanfaatkan keunggulan komparatif dari negara lain untuk mendukung industri makanan dan minuman,” terangnya.

 

Ia melanjutkan, peluang ini semakin terbuka dengan disahkannya RCEP baru-baru ini. Hanya negara yang mampu memanfaatkan rantai nilai di regional Asia+5 yang akan mengalami pertumbuhan yang signifikan, dan Indonesia ada di posisi yang tepat untuk melakukannya, terlebih untuk memperkuat posisi industri maminnya dalam rantai nilai global.

 

Penelitian terbaru CIPS yang berjudul Perdagangan untuk Pemulihan Ekonomi: Kebijakan Impor untuk Mendukung Sektor Makanan dan Minuman Indonesia merekomendasikan Kementerian Perdagangan untuk mengklarifikasi dan menyederhanakan prosedur perizinan impor. Peninjauan kembali peraturan-peraturan yang saling bertentangan dan berkoordinasi dengan kementerian-kementerian teknis untuk mengubah atau mencabut peraturan-peraturan yang tidak konsisten, seperti Permentan nomor 2/2020, juga diperlukan.

 

Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian perlu melonggarkan restriksi kuantitatif pada produk-produk pangan dan pertanian yang digunakan untuk produksi manufaktur mamin.

 

 

Kementerian Perdagangan perlu mengevaluasi Neraca Komoditas dan mengubah perannya dalam proses perizinan impor. Neraca Komoditas sebaiknya hanya dijadikan sebagai basis data statistik terpadu untuk dasar informasi dalam pengambilan keputusan kebijakan strategis terkait kestabilan pangan.

 

Sumber : CIPS
- Dilihat 1123 Kali
Berita Terkait

0 Comments