Bekasi / Kota /
Follow daktacom Like Like
Senin, 27/04/1970 14:00 WIB

Akselerasi Tri Adhianto Di Tengah Pusaran Politik Kota Bekasi

TRI ADHIANTO 4
TRI ADHIANTO 4
BEKASI, DAKTA.COM - Sejak ditetapkannya Tri Adhianto sebagai Plt Walikota Bekasi oleh gubernur Jawa Barat secara mendadak karena peristiwa OTT KPK terhadap Walikota Bekasi non-aktif Rahmat Effendi, proses administrasi pemerintahan di Kota Bekasi terus berjalan. 
 
Ada yang membandingkan proses transisi kepemimpinan birokrasi antara Mochtar Mohammad ke Rahmat Effendi dengan Rahmat Effendi ke Tri Adhianto. Tidak salah melakukan komparasi seperti itu. Namun kurang memenuhi unsur perbandingan yang setara. Tidak apple to apple. Walaupun ada persamaannya; Walikota Mochtar dan Walikota Rahmat sama-sama ditangkap lembaga anti rasuah. 
 
Sekarang mari kita kupas perbedaannya agar lebih objektif. 
 
Pertama, umur periode kekuasaan antara Mochtar dan Rahmat. Mochtar memimpin bekasi tidak genap satu periode, bahkan waktu efektif kurang dari setengah periode. Sedangkan Rahmat, dengan segala lebih dan kurangnya, berhasil menduduki kursi orang nomer satu di Kota Bekasi selama 12 tahun! 
 
Kenapa kita perlu memahami umur pemerintahan keduanya? Karena lamanya waktu memimpin amat berpengaruh pada kondisi objektif dan budaya kerja birokrat. Dan Tri Adhianto, sebagai mantan ASN sangat memahami situasi dan suasana batin ini.
 
Kedua, latar belakang Tri Adhianto tentunya berbeda dengan latar belakang kedua pendahulunya. Mochtar dan Rahmat, keduanya adalah sosok politisi murni yang sebelumnya tanpa pengalaman sebagai birokrat. Keduanya adalah kader partai. Politik-lah yang membesarkan nama mereka. Bukan profesionalisme kerja sebagai pelayan rakyat yang terbiasa bekerja berdasarkan aturan-aturan yang baku dan mengikat. 
 
Benar bahwa Tri Adhianto saat ini telah bertransformasi menjadi politisi dengan posisinya sekarang sebagai ketua salah satu partai besar di Kota Bekasi. Namun, karakter sebagai pribadi yang berhati-hati terhadap aturan sebagai pejabat negara tetap melekat. Dan itu bagus bagi perjalanan Pemerintah Kota Bekasi kedepan, ditengah pengalaman buruk dua kali jatuh ke lubang yang sama. 
 
Justru, pilihan berhati-hati adalah pilihan ideal yang paling tepat diterapkan oleh Tri Adhianto bagi Pemerintah Kota Bekasi untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sudah terkoyak. 
 
Berkaca pada kasus yang pernah terjadi sebelumnya di beberapa daerah di Indonesia. Seperti Plt Gubernur Gorontalo yang kalah dalam gugatan yang dilayangkan anak buahnya sendiri pada tahun 2017 terkait pemberhentian PNS dalam jabatan Administrator, kasus plt Bupati Biak pada tahun 2017 dalam menunjuk kepala RSUD Kabupaten Biak dimana keputusan tersebut pada akhirnya dibatalkan oleh pengadilan karena dilakukan tanpa persetujuan Mendagri dan juga kasus mutasi 15 Pejabat Daerah oleh Plt Bupati Muba pada tahun 2016 yang oleh Mendagri diminta untuk dibatalkan keputusan tersebut dan dikembalikan lagi pada posisi semula, hal ini dapat dijadikan pelajaran bagi Tri Adhianto untuk tidak gegabah dan buru-buru untuk melakukan pengambilan keputusan.
 
Ketiga, dalam konteks status Tri Adhianto sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Bekasi, melekat asas legalitas sebagai prinsip utama dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai  Plt Walikota. 
 
Yang dimaksud asas legalitas disini adalah dasar penyelenggaraan pemerintah yang harus memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Administrasi pemerintahan dapat menjalankan fungsinya atas dasar kewenangan yang telah diperoleh. 
 
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus berdasar atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber;  atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. 
 
Apabila dikaji melalui teori kewenangan diatas, Plt Walikota memperoleh kewenangan melalui mandat yang bersumber dari kewenangan atributif yaitu berdasarkan aturan perihal ketentuan mandat dan delegatif dari pejabat diatasnya yaitu Mendagri. Karena mendapatkan perolehan kewenangan melalui mandat, Plt Walikota tidak memiliki kewenangan yang sama dengan pejabat definitif yang sedang digantikan. 
 
Sebagai penerima mandat, Plt Walikota hanya bertindak untuk dan atas nama pejabat definitif yang digantikan atau pejabat diatasnya sebagai pemberi mandat dan keputusan akhir tetap berada pada pemberi mandat
 
Kewenangan yang dapat dijalankan oleh Plt Walikota hanya bersifat administratif seperti menandatangani dokumen yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh Walikota dan/atau tugas administratif lainnya serta melaksanakan kebijakan yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh pejabat definitif yaitu Walikota yang sedang berhalangan menjalankan tugas.
 
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (7) UU Administrasi Pemerintahan menjelaskan bahwa kewenangan yang bersumber dari mandat tidak dapat mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang mempunyai dampak terhadap perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
 
Kemudian untuk menegaskan ketentuan mengenai batas dan kewenangan Plt Walikota yang dimuat dalam ketentuan UU Administrasi Pemerintahan, Badan Kepegawaian Negara melalui SK BKN 26/2016 menjelaskan bahwa pejabat pemerintahan yaitu Plh dan Plt yang memperoleh kewenangan melalui mandat untuk mengisi kekosongan jabatan pejabat definitif yang sedang berhalangan menjalankan tugas, tidak berwenang untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. 
 
Namun jika diperlukan suatu kebijakan yang bersifat strategis yang harus diambil oleh Plt Walikota, maka Pasal 132 A ayat (1) PP 49/2008 bisa dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan yang bersifat stategis. Ketentuan dalam pasal ini menjelaskan bahwa penjabat atau Plt Kepala Daerah yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan Kepala Daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan kembali menjadi calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, serta Kepala Daerah yang diangkat dari Wakil Kepala Daerah yang menggantikan Kepala Daerah dilarang: 
 
a. Melakukan mutasi pegawai;
 
b. Membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya;
 
c. Membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan
 
d. Membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
 
Akan tetapi, menurut ayat (2) ketentuan pasal ini disebutkan bahwa 4
(empat) larangan tersebut dapat dikecualikan setelah memperoleh persetujuan atau izin tertulis dari Mendagri. 
 
Namun Pasal 132 A ayat (1) PP 49/2008 masih belum membahas mengenai kewenangan Plt Kepala Daerah. Sehingga melalui Pasal 9 Permendagri 1/2018 perubahan atas Permendagri 76/2016, Mendagri memberikan satu pasal yang mengatur tugas dan kewenangan penjabat sementara atau Plt Kepala Daerah, yaitu:
 
a. Memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
 
b. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
 
c. Memfasilitasi penyelenggaraan pemilihan Gubernur, wakil gubernur,
Bupati dan wakil bupati, Walikota dan wakil wali kota definitif serta
menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil;
 
d. Melakukan pembahasan rancangan peraturan daerah dan dapat
menandatangani peraturan daerah setelah mendapat persetujuan tertulis
dari Mendagri;
 
e. Melakukan pengisian kekosongan pejabat berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan setelah mendapat persetujuan tertulis dari
Mendagri.
 
Sampai disini sudah cukup jelas, bahwasannya Plt Walikota dibatasi kewenangannya melalui aturan yang mewajibkan untuk mendapatkan persetujuan Mendagri dalam hal keputusan yang bersifat strategis. 
 
Jadi, bukan karena unsur kecakapan memimpin. Itu adalah argumen yang tidak berdasar. Dalam hal tata kelola administrasi negara ada proses yang tidak bisa ditabrak. Hal seperti ini harusnya tidak menjadi polemik. 
 
Keempat, setelah ditetapkannya Rahmat Effendi sebagai tersangka, terjadi perubahan peta politik dalam waktu singkat. Sebelumnya, Tri Adhianto dengan posisinya sebagai Wakil Walikota memang dianggap banyak pihak sebagai suksesor Rahmat setelah periode mereka berdua sebagai pasangan Walikota-Wakil Walikota berakhir di September 2023. Tapi ternyata momentum itu datang lebih cepat. 
 
Dan fenomena itu berubah secara drastis menjadi fenomena politik yang dengan cepat ditangkap oleh politisi-politisi senior di Kota Bekasi. Muncul kesan tidak sabar dari sebagian politisi itu. Entah apa motifnya, namun patut diduga, gejolak datang dari mereka yang selama kepemimpinan Rahmat Effendi tidak maksimal mendapatkan keuntungan politik karena begitu kuatnya kepemimpinan Rahmat. 
 
Dalam konteks politik, sebenarnya wajar saja jika ada sebagian politisi mengalami “lapar kekuasaan” karena puasa terlalu lama. Namun dalam konteks etika publik, tentu ini sangat disayangkan. Ketika Plt Walikota sedang berupaya keras mengembalikan kepercayaan masyarakat malah sebagian politisi memanfaatkan peluang untuk merangsek masuk mengambil keuntungan politik. Celakanya, “lapar kekuasaan” ini bukan hanya dilakukan oleh politisi namun juga oleh oknum birokrasi yang seharusnya tegak lurus mendukung langkah Plt Walikota untuk terus memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat Kota Bekasi. 
 
Salah satu bentuk akselerasi yang dilakukan oleh Plt Walikota Tri Adhianto adalah kembali harmonisnya hubungan vertikal antara Pemerintah Kota Bekasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Tak butuh waktu lama, Plt Walikota menunjukkan bahwa Kota Bekasi mendapat kepercayaan dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk merealisasikan beberapa program yang menjadi solusi bagi masyarakat. 
 
Peresmian Bekasi Creative Center untuk kiprah anak-anak muda Kota Bekasi dan Taman Tarum Bhagasasi sebagai ruang publik yang nyaman serta bagian dari revitalisasi kalimalang tahap 1, semakin menegaskan visi Plt Walikota Tri Adhianto untuk menjadikan Kota Bekasi menjadi kota yang humanis dan berorientasi pada kepentingan publik.
 
Masyarakat Kota Bekasi berharap agar semua pihak menahan diri dan menghentikan semua manuver yang kontraproduktif terhadap upaya pemulihan pemerintahan yang telah porak-poranda karena kasus hukum. Apalagi masih dalam suasana pemulihan ekonomi akibat pandemi covid-19. 
 
Kita sama sekali tak pernah mendengar ide dan terobosan dari sebagian politisi tersebut dalam upaya mengentaskan persoalan ekonomi masyarakat yang terdampak pandemi. Malah secara telanjang mempertontonkan atraksi politik yang memalukan dan cenderung haus kekuasaan ditengah penderitaan rakyat. (*)
 
Ahmad Fadhli
Direktur Riset Trust Indonesia
Reporter : Warso Sunaryo
- Dilihat 746 Kali
Berita Terkait

0 Comments