Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Sabtu, 01/01/2022 18:00 WIB

REFLEKSI EKONOMI AKHIR TAHUN 2021

CORE INDONESIA
CORE INDONESIA

JAKARTA, DAKTA.COM : Pada 29 Desember 2021, CORE Indonesia menggelar CORE Media Discussion dengan tajuk “Refleksi Ekonomi Akhir Tahun.” CORE Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di kisaran 3,6—4 persen dan akan meningkat pada tahun depan di kisaran 4—5 persen dengan asumsi bahwa penanganan pandemi lebih bagus serta tidak ada lonjakan kasus Covid-19.

 

Terdapat sejumlah kebijakan yang berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi tahun depan, seperti pengetatan fiskal dan potensi inflasi akibat kenaikan beberapa komoditas. Kebijakan normalisasi global meskipun akan direspon oleh BI dengan menaikkan suku bunga masih akan tetap akomodatif mendukung pemulihan ekonomi.

 

Peningkatan kebijakan afirmatif pemerintah untuk membenahi competitiveness berbagai sektor ekonomi domestik akan sangat dibutuhkan selama masa emas dalam beberapa tahun ke depan. Ini ditujukan untuk memperbaiki kualitas ekonomi dalam jangka menengah dan jangka panjang.

 

Ekonomi Digital, Pertanian, dan Industri Manufaktur

 

Ada beberapa catatan sepanjang tahun 2021 yang dapat dijadikan pelajaran untuk mengarungi tahun 2022 mendatang, di antaranya ekonomi digital, sektor pertanian, dan sektor industri manufaktur.

 

Hendri Saparini, Founder CORE Indonesia, berpendapat bahwa internet memiliki potensi yang sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, di beberapa peningkatan penetrasi internet yang lumayan signifikan belum berdampak cukup besar terhadap peningkatan PDB per kapita.

 

Perlu ada dorongan kebijakan yang mengubah pola penggunaan internet, terlebih Indonesia merupakan pengguna e-commerce tertinggi di dunia. Sayangnya, transaksi e-commerce masih didominasi oleh produk impor karena Indonesia belum siap dari sisi produksi. Distribusi produk-produk yang ada di e-commerce belum mengoptimalkan potensi produksi dalam negeri.

 

Pemerintah juga dapat memanfaatkan fintech untuk meningkatkan pembayaran pajak dan transparansi sehingga dapat meminimalisir potensi korupsi. Fintech juga dapat digunakan untuk penyaluran bansos, sekaligus dapat mengumpulkan big data penerima bansos, sehingga dapat digunakan untuk analisis kebutuhan ekonomi-sosial lebih lanjut.

 

 

Dengan anggaran sebesar Rp50 triliun misalnya, dimodifikasi untuk mendorong produksi pangan yang dikolaborasikan dengan pemanfaatan anggaran pengembangan UMKM dan Kartu Prakerja.

 

Meskipun demikian, Hendri mengingatkan agar digitalisasi harus didorong lebih inklusif dan jangan sampai digitalisasi ekonomi mengakibatkan penurunan penyerapan tenaga kerja. kerja atau bahkan mendorong kenaikan angka pengangguran. Peer to peer (P2P) lending misalnya jangan sampai mendestruksi Lembaga keuangan mikro (LKM). Oleh karenanya perlu melakukan inovasi untuk merangkul LKM tersebut dengan mendorong digitalisasi pada kelompok-kelompok LKM tersebut.

 

Pada kesempatan yang sama, Dwi Andreas, associate researcher CORE Indonesia, sekaligus guru besar IPB, menyampaikan pandangannya mengenai sektor pertanian. Salah satu kebijakan pemerintah yang ia soroti adalah kebijakan food estate atau lumbung pangan nasional. Kondisi musim saat ini sangat menopang stabilnya pasokan pangan tahun ini kecuali pada industri minyak goreng.

 

Ia juga memperkirakan bahwa pada tahun 2022 tidak akan terjadi krisis pangan karena faktor-faktor penyebab krisis pangan tidak ada. Sepanjang tahun 2021 pasokan pangan cukup terjaga. Namun, harga komoditas seperti vegetable oil mengalami lonjakan yang sangat tinggi sehingga mengurangi daya beli masyarakat.

 

Di sisi lain, sepanjang tahun ini Indonesia masih sangat bergantung pada beberapa komoditas, seperti impor gandum (100%), kedelai (92%), bawang putih (100%), gula (60-70%). Kondisi ini sangat memprihatinkan karena jika terjadi volatilitas pangan internasional, maka akan sangat mengganggu daya beli kondisi domestik sehingga hal tersebut perlu diantisipasi.

 

Andreas juga mengingatkan bahwa meskipun tidak ada impor dalam tiga tahun terakhir, produksi beras mengalami penurunan sebesar 0,13 persen per tahun. Sebelumnya, pada 2019 produksi beras anjlok ke angka 7,7 persen karena ada El-Nino.

 

Seharusnya, menurut dia, Pemerintah dapat mendorong produksi padi lebih besar karena di tahun 2020 terdapat fenomena La-Nina dengan iklim basah yang lebih kondusif untuk masa tanam padi. Sayangnya, pada tahun tersebut kenaikan produksi beras tidak begitu besar. Kemudian, pada tahun 2022 diprediksi akan ada El-Nino sehingga produksi padi lebih sulit digenjot dibanding tahun sebelumnya.

 

Ia juga menyinggung dampak ekonomi digital yang masih kurang berefek ke petani kecil. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), munculnya berbagai pengusaha platform digital yang diharapkan memangkas distribusi produk pertanian belum banyak dirasakan dampaknya oleh petani, dan hanya menguntungkan para pedagang besar.

 

Ekonom CORE lainnya, Ina Primiana memberikan pandangannya bahwa kinerja industri manufaktur menunjukkan pertumbuhan yang cukup ekspansif, dimana pertumbuhan manufaktur bahkan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Purchasing Manager Index (PMI) sejak September telah mengalami peningkatan, bahkan menjadi tertinggi di ASEAN pada November 2021.

 

Meskipun industri manufaktur masih terdampak pandemi, beberapa sektor dapat tumbuh cukup tinggi pada tahun 2021 seperti industri kimia, farmasi, makanan- minuman, dan logam dasar. Di samping itu, pandemi mulai memperbaiki pola konsumsi dalam negeri karena adanya gangguan logistik impor, sehingga terjadi peningkatan bahan baku dalam negeri. Alhasil, TKDN sejumlah produk meningkat.

 

Oleh karena itu pemerintah perlu menginventarisasi ulang persedian barang-barang di dalam negeri yang dapat dioptimalkan lebih lanjut untuk meningkatkan pemanfaatan penggunaan TKDN, sehingga mendukung peningkatan industri manufaktur domestik pada masa mendatang.

 

Industri kecil perlu dikaitkan dengan industri besar sehingga dapat berkontribusi pada supply chain global. Hal penting lainnya adalah penguatan lintas kementerian dan lembaga dalam mendorong pengembangan industri manufaktur.
 

Direktur CORE Indonesia, Mohammad Faisal, berpandangan bahwa struktur ekonomi sangat mempengaruhi kualitas pertumbuhan dan pemulihan ekonomi di masing-masing daerah. Selama masa pandemi, misalnya, Bali sangat bergantung dengan pariwisata, sehingga pertumbuhannya relatif lebih rendah saat pandemi dan pemulihannya juga lebih lambat.

 

Sementara itu, Yogyakarta meskipun juga kota wisata tidak mengalami hal yang sama dengan Bali karena memiliki sektor-sektor pendukung yang tidak begitu terkontraksi, seperti konstruksi, jasa pendidikan, dan industri.

 

Adapun daerah yang bertumpu di sektor pertambangan relatif tumbuh lebih baik dan tidak mengalami kontraksi sebab dorongan harga komoditas tambang yang cukup besar, seperti yang terjadi di Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Papua.

 

Sementara itu, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah hampir tidak mengalami kontraksi karena masuknya investasi, terutama investasi pertambangan dan logam dasar yang mengubah bahan tambang menjadi bahan setengah jadi, sehingga sektor ekonomi mereka lebih terdiversifikasi, khususnya industri pengolahan yang menguat.

 

Oleh karena itu, menurut Faisal ekonomi daerah akan lebih kuat apabila memiliki struktur ekonomi yang tidak didominasi oleh sektor tertentu. Dengan demikian, pemerintah pusat dan daerah perlu mendorong diversifikasi sektor-sektor ekonomi di daerah sehingga lebih resilience menghadapi goncangan.

 

 

Reporter : Warso Sunaryo
- Dilihat 1471 Kali
Berita Terkait

0 Comments