Nasional / Pendidikan /
Follow daktacom Like Like
Ahad, 26/09/2021 15:00 WIB

KPAI Terima Pengaduan Pelanggaran Prokes Saat PTM

Pembelajaran Tatap Muka Terbatas di sekolah
Pembelajaran Tatap Muka Terbatas di sekolah
JAKARTA, DAKTACOM - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengapresiasi keterbukaan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktur Jenderal (Dirjen) PAUD dan Pendidikan Dasar Menengah Kemendikbudristek, Jumeri, yang menyampaikan bahwa sebanyak 2,8 persen atau 1.296 satuan pendidikan melaporkan warga sekolah yang terkonfirmasi  Covid-19 selama pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Jumlah itu berdasarkan hasil survey terhadap 46.500 sekolah hingga 20 September 2021. 
 
Meski kemudian ada ralat yang menyatakan bahwa data yang beredar ke publik bukan menunjukkan klaster Covid-19 di sekolah, tetapi data satuan pendidikan yang melaporkan adanya warga sekolah yang pernah tertular Covid-19 dan akumulasi selama 14 bulan (sejak Juli 2020). 
 
Data tersebut menurut Kemendikbud didapatkan dari laporan 46.500 satuan pendidikan yang mengisi survei dari Kemendikbudristek. Namun menurutnya, penularan Covid-19 tersebut belum tentu terjadi di satuan pendidikan. Sebab, satuan pendidikan yang melapor itu ada yang sudah melaksanakan PTM Terbatas dan ada yang belum.
 
Meski demikian, KPAI tetap mendorong kewaspadaan semua pihak bahwa sekolah juga berpotensi menjadi tempat penularan covid-19 jika protocol kesehatan banyak dilanggar warga sekolah. Data tersebut juga membuktikan bahwa klaster sekolah ada, meskipun jumlahnya kecil. 
 
Pelanggaran atas protokol kesehatan kerap dijumpai KPAI saat melakukan pengawasan langsung PTM ke berbagai sekolah di sejumlah daerah sejak 2020 hingga 2021. Pelanggaran prokes yang terutama adalah  3M, diantara masker yang diletakan di dagu, masker yang digantungkan di leher, tempat cuci tangan yang tidak disertai air mengalir dan sabun, bahkan ada sebagian guru dan siswa tidak bermasker saat berada di lingkungan sekolah. 
 
“Bahkan ada SD yang memiliki tempat cuci tangan di setiap depan kelas, namun saat KPAI datang dan duduk di dekat pintu gerbang sekolah, tak ada satu pun peserta didik dan pendidik yang mencuci tangan saat tiba di sekolah”, ungkap Komisioner KPAI Retno Listyarti, Ahad (27/9). 
 
Ada juga sekolah yang mayoritas siswanya melepas masker saat tiba di sekolah. Saat diwawancara, anak-anak mengatakan mereka memakai masker saat diperjalanan pergi dan pulang sekolah. Fungsi masker sama dengan helm. Retno mengaku menerima pengaduan masyarakat melalui aplikasi whatsApp di ponselnya. 
 
“Saya menerima pengaduan dari kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, Pengaduan berasal dari jenjang Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar dengan disertai foto,” sebutnya.
 
Retno menambahkan dalam foto tersebut nampak seorang siswa laki-laki berseragam putih merah sedang diperiksa suhu tubuhnya dengan Thermogun oleh seorang guru perempuan yang tidak mengenakan masker. Sedangkan foto yang satu lagi adalah suasana di dalam kelas dimana anak-anak sedang berdiri dengan tangan diangkat ke depan. Ada 1 guru perempuan dan 9 siswa/siswi TK, semuanya tidak menggunakan masker, baik guru maupun muridnya.
 
"Seharusnya pendidikan dibuka dari Perguruan Tinggi dan SMA/SMK serta SMP yang peserta didiknya sudah divaksin dan perilakunya sudah terkontrol. Sementara PT belum dibuka, namun PAUD/TK dan SD malah sudah buka. Padahal anak PAUD/TK dan SD belum mendapatkan vaksin dan perilaku anak TK dan SD sulit dikontrol. Ini sangat beresiko," ungkapnya. 
 
Pihaknya juga memberikan rekomendasi diantaranya harus memastikan sekolah sudah memenuhi segala syarat dan kebutuhan penyelenggaraan PTM, termasuk memastikan protokol kesehatan dapat terpenuhi. Jika belum, maka pemerintah daerah harus membantu pemenuhannya, terutama untuk sekolah yang miskin dan sedikit peserta didiknya
 
"Kemudian pemerintah pusat wajib melakukan percepatan vaksinasi kepada peserta didik usia 12-17 tahun. Tingkat vaksinasi harus mencapai minimal 70 persen dari populasi di sekolah agar terbentuk kekebalan kelompok. Kalau hanya guru yang divaksinasi, maka kekebalan komunitas belum terbentuk, karena jumlah guru hanya sekitar 10 persen dari jumlah siswa. Selain itu, pemerintah pusat harus memastikan penyediaan vaksin untuk anak merata di seluruh Indonesia. Survei singkat KPAI pada Agustus lalu menemukan bahwa vaksinasi anak didominasi oleh Pulau Jawa dan itupun hanya menyasar anak-anak di perkotaan," katanya. 
 
Ia mendorong pemerintah daerah harus jujur dengan angka penularan kasus Covid-19 di daerahnya. Sesuai ketentuan WHO, jika laju penularan kasus berada di bawah 5 persen baru aman untuk membuka sekolah tatap muka. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan 3T (testing, tracing, treatment), bukan malah menguranginya sehingga menghasilkan laju penularan kasus yang rendah. Karena angka penularan kasus itu diperoleh dengan membagi total kasus positif dengan jumlah orang yang dites dan dikalikan 100.
 
"Sekolah perlu melakukan pemetaan materi untuk setiap mata pelajaran, mengingat PJJ dan PTM dilaksanakan secara beriringan. Materi yang mudah dan sedang diberikan di PJJ dengan bantuan modul, sedangkan materi yang sulit disampaikan saat PTM agar ada interaksi dan dialog langsung antara guru dan siswa. Hal ini juga bagian dari upaya membantu anak-anak memahami materi yang sulit dan sangat sulit sehingga mengurangi stress peserta didik," jelasnya. 
 
Dijelaskan Retno, guru dan orang tua harus mengedukasi dan menjadi panutan perubahan perilaku anak-anak dalam melaksanakan protokol kesehatan 3 M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak). PTM di masa pandemi sangat berbeda dengan PTM sebelum pandemi. Berdasarkan pemantauan langsung KPAI di sejumlah sekolah di beberapa daerah, pelanggaran PTM terbanyak adalah pada penggunaan masker yang salah. Bahkan ditemukan guru dan siswa yang tidak memakai maskernya. 
 
"Menggelar PTM  dalam kondisi laju penularan kasus yang belum di bawah 5 persen dan lemahnya kepatuhan dalam penerapan protokol kesehatan merupakan suatu keputusan yang riskan bagi anak-anak Indonesia. Hak hidup anak adalah nomor satu. Yang nomor dua adalah hak sehat anak sedangkan hak pendidikan anak bisa ditaruh di nomor tiga. Argumentasinya adalah jika anak sehat dan tetap hidup maka semua ketertinggalan pelajaran masih dapat dikejar," tutupnya***
 
Reporter : Ardi Mahardika
- Dilihat 1915 Kali
Berita Terkait

0 Comments