Kurban dan Arab Saudi dalam Logika Ahok
Oleh: Azeza Ibrahim, Jurnalis
Menjelang hari raya Idul Adha, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama menerbitkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 168 Tahun 2015 tentang Pengendalian, Penampungan, dan Pemotongan Hewan.
Dalam aturan tersebut, Ahok, melarang penjualan serta pemotongan hewan kurban di pinggir jalan. Sebagai orang nomor satu di Ibukota, dirinya merasa khawatir bahwa darah kurban yang sudah tumpah dalam jumlah yang tidak sedikit itu akan mengancam kesehatan warga.
Aturan ini mendapat respon beragam, mulai dari anggota dewan hingga tokoh masyarakat. Rata-rata mengecam dan menganggap Ingub ini sebagai campur tangan berlebihan dari pihak pemkot dalam urusan umat Islam. Sentimen pun berkembang, mengingat pada Idul Adha lalu, wacana ini sudah pernah digulirkan oleh sang Gubernur, walau tampaknya masih "malu-malu".
Selain mengeluarkan Ingub yang "khusus" diterbitkan menjelang Idul Adha ini, Ahok juga memperkuatnya dengan penalaran-penalaran khas a la dirinya yang dikenal lugas dan tegas itu.
Satu yang paling menarik untuk disorot adalah penalarannya terkait Islam dan Arab Saudi, ini tercermin dari pernyataannya sebagai berikut: "Arab Saudi saja larang darah hewan tercurah ke tanah, masa kita enggak ikuti? Kalau kita enggak mau ikuti Arab Saudi, ya lo kalau shalat enggak usah hadap kiblat," ujar Ahok sebagaimana dikutip dari Kompas.
Sekilas, statement Ahok ini tampak seperti silogisme yang tepat dan sesuai dengan klausa yang ada. Adalah tepat bahwa Islam lahir dan muncul dibawa oleh Muhammad Rasulullah SAW di tanah yang kini menjadi negara Arab Saudi. Pun, Arab Saudi sebagai kiblat ibadah sholat umat Islam seluruh dunia adalah hal yang tak terbantahkan. Namun pertanyaannya, apakah ibadah kurban dengan segala warnanya harus menjiplak Arab Saudi? Benarkah darah hewan kurban tak boleh sampai bercecer ke tanah?
Di sini, dapat kita rasakan, betapa Ingub yang diterbitkan oleh Ahok sama sekali tidak menimbang nilai-nilai kultural di daerah yang ia pimpin. Dan dari logikanya itu, kita bisa lihat, walau dari pengakuannya Ahok tidak anti Islam, sungguh ia tidak paham bagaimana Islam melihat dan mengatur ibadah kurban.
Betawi, sebagai etnis yang bertempat dan terbentuk di tanah Jakarta jauh sebelum Ahok muncul sebagai politisi dengan segala citranya, telah menjalankan identitas budayanya dengan nafas Islami. Warga Betawi paham betul, bahwa urusan kurban, bukan hanya sekedar interaksi antara hamba dan Rabbnya (hablumminallah), tapi juga terkait urusan interaksi antara hamba yang satu dengan hamba yang lain (hablumminannaas). Sederhanannya, ibadah kurban tidak bisa dimaknai sebagai ibadah personal, karena besaran nilai sosialnya lah yang justru jadi target utama.
Bercampurnya nilai-nilai keagamaan dalam ranah kultur dan budaya tampaknya tidak dicermati oleh Ahok secara baik. Ia tampak menilai urusan agama sebagai urusan privat yang tidak boleh ditampilkan di dalam ruang publik seperti sekolah, lapangan, dan tepian jalan.
Hal ini sejatinya harus dimaklumi, mengingat dalam ajaran agama yang dianut oleh sang Gubernur, kultur dan budayalah yang menjadi pewarna, bukan agama.
Islam sebagai agama, tidaklah sama dengan Katolik atau Protestan yang justru diwarnai kebudayaan. Islam bukanlah agama yang diwarnai oleh adat dan aturan Arab Saudi. Kalau Islam adalah agama budaya dan kultur Arab Saudi, tentu umat Islam di Indonesia akan mempraktikkan kebiasaan mengubur hidup-hidup anak perempuan.
Kesimpulannya, adalah keliru jika hendak menyeragamkan aturan kurban Arab Saudi versi Ahok yang masih butuh verifikasi, dengan aturan kurban di DKI Jakarta, mengingat dalam ranah sosial, Islam sebagai pewarna budaya, memiliki keluwesan yang unik.
Maka dari itu, jika betul pak Gubernur tidak anti Islam, ada baiknya Ahok membuka kitab fikih soal mu'amalah dan kembali menelaah pernyataan-pernyataannya yang terkait dengan Islam dan umat Islam. Pun kalau Ahok yang katanya kerap beristigfar itu khawatir Jakarta jadi kotor, tinggal titip pesan saja kepada umat Islam, bahwa kebersihan itu sebagian dari Iman dan tak perlu repot-repot menerbitkan Ingub yang justru menuai kontroversi.
Editor | : | |
Sumber | : | dakta.com |
- Potensi Covid-19 Klaster Industri di Bekasi
- Geliat Ekonomi Bekasi di Tengah Pandemi Covid-19
- Rintihan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi
- Masih Efektifkah Sistem Zonasi Covid-19 di Bekasi?
- Wabah Virus Corona, Haruskah Disyukuri?
- Bekasi Siapa Gubernurnya?
- Ancaman Transgender, Haruskah Kita Diam?
- Kenapa Bekasi Tenggelam?
- Nasib Bekasi : Gabung Jakarta Tenggara atau Bogor Raya?
- Air Bersih atau Air Kotor?
- Agustus Bulan Merdeka Bagi Sebagian Rakyat Indonesia (1)
- Refleksi Emas Kampung Buni di Tengah Gelar Kota Industri
- Apa Kata Netizen: Catatan Mudik 2019 Si Obat Rindu Masyarakat +62
- Diksi Kafir dalam Polemik
- Ironis, Kasus Nuril Tunjukkan Kebobrokan Hukum
0 Comments