Opini /
Follow daktacom Like Like
Ahad, 28/06/2020 11:47 WIB

Ambisi Kapitalis Materialis Membuka Sektor Pariwisata di Masa Pandemi

Kawasan Gunung Bromo (istimewa)
Kawasan Gunung Bromo (istimewa)

DAKTA.COM - Oleh: Sri Puji Hidayati, M.Pd, Pendidik & Pemerhati Generasi

 

Saat ini sudah mulai diberlakukannya masa new normal pandemi Covid 19. Hal ini membuka kesempatan untuk seluruh aktivitas berjalan seperti biasa kembali. Salah satunya sektor pariwisata, di mana tempat-tempat pariwisata sudah mulai diperbolehkan untuk dibuka kembali. Bahkan, Presiden Jokowi meminta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Wishnutama untuk menyiapkan promosi pariwisata dalam negeri yang bebas dari ancaman virus corona.(Detik.com, 5/6/20).

 

Menanggapi hal tersebut, akhirnya ada beberapa wilayah pariwisata di Indonesia yang mulai dibuka kembali, dengan menerapkan protokol kesehatan agar menekan penyebaran virus. Salah satu wilayah yang dijadikan sebagai daerah pariwisata percontohan adalah Taman Safari Indonesia Bogor yang sudah dibuka 15 Juni lalu. Pembukaan tempat wisata terus diikuti oleh daerah-daerah lain di Indonesia.

 

Sejumlah daerah lain, seperti Jawa Tengah, Candi Borobudur, juga telah dibuka sejak 8 Juni yang lalu dengan menerapkan program dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yaitu CHS (Cleanliness, Health, and Safety). (PortalJember, 8/6/20).

 

Tidak ketinggalan juga daerah Jawa Timur yang merupakan penyumbang pasien Covid tertinggi, juga bersiap membuka wilayah pariwisatanya. Banyuwangi dipilih sebagai tempat percontohannya di wilayah Provinsi ini. Pantai Teleng Ria Pacitan sudah dibuka 18 Juni. (Pacitanku, 11/6/20). Sedangkan Telaga Ngebel Ponorogo juga telah ramai dikunjungi wisatawan setelah pemberlakuan New Normal pada 2 Juni 2020. (PortalJember, 10/6/20)

 

Resiko Penyebaran Tinggi

 

Pembukaan tempat wisata di tengah kasus Covid-19 yang belum melandai atau saat masa pandemi memiliki risiko besar. Yaitu bisa kembali membentuk cluster baru penyebaran Covid-19 di daerah wisata atau tempat wisata. Apalagi jika tidak ada pengamanan secara khusus, pengunjung dapat membludak dan secara otomatis social distancing tidak akan terealisasi, sehingga kasus Covid-19 dapat kembali melonjak.

 

Eddy Krismeidi Soemawilaga sebagai Ketua Deputy of President ASEAN Tourism Association (ASEANTA) membenarkan tentang hal itu, Beliau mencontohkan kasus Covid-19 di Korea Selatan kembali melonjak seiring dengan pembukaan kembali pariwisatanya, pada akhir mei 2020.

 

Seharusnya hal ini menjadi perhatian pemerintah sebelum membuka kembali sektor pariwisata untuk memastikan bahwa kondisi benar-benar sudah bebas dari pandemi Covid-19. Apakah demi mengejar keuntungan untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi agar membaik, namun mengambil resiko dengan mengabaikan keselamatan nyawa rakyatnya?

 

 

Ambisi Kapitalis yang Materialis

 

Tidak bisa dipungkiri dengan memberlakukan new normal termasuk membuka sektor pariwisata di masa pandemi oleh pemerintah terkesan terburu-buru dan dipaksakan. Berdasarkan standar WHO terhadap masa new normal baru dapat dijalankan jika tidak ada penambahan kasus.

 

Ambisi untuk mendapatkan materi atau keuntungan dan menaikkan perekonomian negara yang sedang melemah karena wabah menjadi alasannya. Bahkan kebijakan pembukaan pariwisata terlihat sebagai keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha di bidang pariwisata yang merugi saat pandemi.

 

Namun, sudah jelas dengan membuka sektor pariwisata saat pandemi belum selesai mempunyai resiko yang besar, yaitu harus mempertaruhkan nyawa rakyat. Hal ini menunjukkan betapa murahnya nyawa rakyat di mata rezim.

 

Inilah gambaran rezim yang menerapkan sistem sekuler kapitalis yang berambisi dan berorientasi materi tanpa mempertimbangkan apakah kebijakannya solusi yang tepat atas permasalahan umat. Kebijakan yang muncul juga cenderung tidak konsisten dan memaksakan.

 

Dalam sistem sekuler kapitalis yang diterapkan saat ini, sektor pariwisata menjadi salah satu aspek penyokong perekonomian dan penyumbang APBN atau pendapatan negara setelah pajak.

 

Padahal, pendapatan yang diperoleh dari sektor pariwisata hasilnya jauh lebih kecil dibandingkan hasil pengelolaan Sumber Daya Alam yang berlimpah ruah di negeri ini, jika dikelola secara mandiri oleh negara. Namun sangat disayangkan, sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan telah menjadikan sumber daya alam tersebut diserahkan pengelolaannya kepada swasta/asing.

 

Seandainya pengelolaan sumber daya alam yang melimpah ruah di negeri ini, pengelolaannya dilakukan secara mandiri dapat membuka lapangan pekerjaan yang luas untuk rakyatnya. Lapangan pekerjaan yang terbuka luas ini akan memudahkan rakyat mendapatkan pekerjaan, pendapatan dan memperkuat ekonomi.

 

Penerapan sistem ekonomi kapitalis membuat pemerintah tidak serius untuk menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya dan menggantungkan perekonomian pada salah satunya pariwisata.

 

Deindustrialisasi akan terjadi di dalam negeri karena tidak adanya industri yang tumbuh dan menampung jumlah tenaga kerja yang besar. Pemimpin dalam sistem sekular kapitalis hanya berperan sebagai regulator, bukan sebagai pengatur urusan umat. Padahal setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya.

 

Sementara dalam Islam memandang berwisata merupakan sarana untuk mendekatkan diri pada Rabbnya dan membangun keakraban keluarga dengan tetap berlandaskan hukum syara. Berwisata akan dilakukan jika kondisi aman dan tidak membahayakan masyarakat.

 

Saat pandemi seperti ini, negara Islam dalam hal ini khilafah akan lebih fokus pada penyelesaian wabah, mengisolasi pasien terinfeksi dan menyembuhkannya, serta lebih mengutamakan rakyat untuk terpenuhinya kebutuhan primer dan sekundernya pada masyarakat terdampak wabah dibanding berwisata yang termasuk kebutuhan tersier, maka tidak diprioritaskan.

 

Hal ini dikarenakan tugas seorang pemimpin dalam Islam, yaitu mengatur dan mengurusi urusan rakyat. Disamping itu kegiatan berwisata di daerah umum akan ditutup sampai wabah benar-benar hilang atau selesai.

 

Islam juga tidak menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan utama. Islam tidak berambisi mengambil keuntungan materi dan memperkuat perekonomian negara dengan membuka sektor pariwisata saat wabah belum usai.

 

Islam memiliki sumber pendapatan lain, seperti memaksimalkan pengelolaan sektor strategis seperti potensi sumber daya alam, industri berat, pembangunan sektor vital negara yang dikelola oleh negara, bukan diserahkan kepada asing. Hal ini akan memperkuat dan membuat stabil finansial ekonomi negara. Selain itu ada kharaj, jizyah, dan yang lainnya yang dapat dijadikan sebagai pemasukan negara.

 

Islam menjadikan sumber daya alam sebagai kepemilikan umum, yaitu milik rakyat. Negara akan menjadi pihak yang mengelola kekayaan alam milik umum tersebut dan mendirikan industri berat, sehingga akan membuka lapangan pekerjaan yang luas untuk rakyatnya. Hal  ini pernah dicontohkan oleh Rosulullah SAW dan diteruskan oleh para sahabat dan kaum muslimin yang telah terbukti bertahan 1300 tahun lamanya. Sudah saatnya kita perjuangkan dan tegakkan kembali kemenangan Islam. **

 

Editor :
Sumber : Sri Puji Hidayati
- Dilihat 3050 Kali
Berita Terkait

0 Comments