Oase Iman /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 06/05/2020 13:16 WIB

Kartosoewirjo, Tokoh Islam yang Mengambil Jalan Keras

Tentara membawa SM Kartosoewirjo, imam DI/TII ke tempat eksekusi di Pulau Ubi. (Koleksi Fadli Zon).
Tentara membawa SM Kartosoewirjo, imam DI/TII ke tempat eksekusi di Pulau Ubi. (Koleksi Fadli Zon).
DAKTA.COM - Oleh: Nuim Hidayat, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kota Depok 
 
Perlawanan Kartosoewirjo bersemai ketika Indonesia mengikat perjanjian dengan Belanda. Perdana Menteri Amir Sjarifuddin menandatangani perjanjian di atas kapal perang USS Renville milik Amerika pada 17 Januari 1948. Salah satu butir kesepakatan Renville adalah penetapan garis Van Mook sebagai batas wilayah Indonesia dengan Belanda. Konsekuensinya semua tentara Indonesia harus keluar dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda.
 
Kartosoewirjo kecewa. Bersama pasukan Sabillah dan Hizbullah, Karto menolak mengikuti jejak Divisi Siliwangi mundur ke Jawa Tengah. Dia bertekad tetap bertahan di Jawa Barat serta terus melawan Belanda.
 
Melihat ini, PM Mohammad Hatta kemudian menunjuk Mohammad Natsir sebagai penghubung pemerintah yang saat itu berdomisili di Yogyakarta dengan Karto. Hatta menganggap Natsir cukup kenal Karto. Selain sama-sama orang Masyumi, Natsir dan Karto beberapa kali berjumpa di rumah guru Natsir, A Hassan, tokoh Persatuan Islam, di Bandung.
 
Natsir dalam wawancara dengan Tempo, Desember 1989, menggambarkan hubungan Kartosoewirjo dengan pemerintah saat itu masih lumayan mesra. Berkali-kali Karto datang ke Yogyakarta minta bantuan makanan atau dana bagi pasukannya. “Bung Hatta memberikan bantuan supaya Kartosoewirjo bisa mendinginkan hati orang-orang Jawa Barat yang merasa ditinggalkan Republik,” kata Natsir.
 
Namun kemudian baku tembak antara pasukan Tentara Islam dan Tentara Nasional Indonesia tak terhindarkan. Kontak senjata pertama terjadi 25 Januari 1949 di Kampung Antralina, Ciawi Tasikmalaya. Pertempuran pecah akibat masing-masing pihak mengklaim diserang lawan. Sejak itu bara permusuhan Tentara Islam dan Tentara Nasional Indonesia terus menyala.
 
Bagi Kartosoewirjo kekosongan kekuasaan di Jawa Barat berarti peluang mendirikan Negara Islam. Puncaknya pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong Tasikmalaya, Kartosowirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia. Tanggal itu persis dengan keberangkatan Hatta ke Den Haag Belanda untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar.
 
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan niat Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia atau Darul Islam. Sebelum berangkat Hatta berpesan kepada Natsir agar berbicara dengan Kartosoewirjo.
 
Ketika itu, 4 Agustus 1949, Natsir menginap di Hotel Homann Bandung. Ia menulis pesan di selembar kertas hotel, kemudian minta tolong A Hassan menyampaikan ke Kartosoewirjo. Sayangnya surat itu sampai ke tangan Kartosoewirjo tiga hari setelah proklamasi Darul Islam. “Ya terlambat, itu takdir Tuhan,” kata Natsir kepada Tempo.
 
Menurut Natsir, Kartosoewirjo dijaga ketat pengawal. Tak sembarang orang bisa bertemu. A Hassan pun diminta menunggu beberapa hari. Kalaupun tiba tepat waktu, tak mudah menggeser sikap Karto. “Bagi dia yang berat itu menjilat ludah sendiri,” terang Natsir.
 
Kartosoewirjo terus bergerilya. Tapi hubungan Karto-Natsir tetap tersambung. Selama bergerilya paling tidak dua kali Kartosoewirjo mengirim surat rahasia kepada Presiden Soekarno yang ditembuskan kepada Natsir.
 
Surat pertama dikirim 22 Oktober 1950. Isinya pujian atas keputusan pemerintah menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut dia, kebijakan itu menunjukkan sikap pemerintah telah bergeser dari politik netral menjadi politik antikomunis. Di surat berikutnya, enam bulan kemudian, Kartosoewirjo menjanjikan dukungan kepada pemerintah melawan komunisme. 
 
“Republik Indonesia akan mempunyai sahabat sehidup semati,” katanya. 
 
Namun Kartosoewirjo memberikan syarat : pemerintah harus mengakui Darul Islam.
 
Usaha Natsir melunakkan hati sang Imam tak terhenti. Pada Juni 1950, Natsir mengutus Wali al Fatah menemuinya. Ia teman lama kartosoewirjo. Namun Karto menolak bertemu. Sang Imam menyatakan hanya bersedia menerima pejabat tinggi Indonesia bukan utusan. (Lihat buku Kartosoewirjo, Tempo dan KPG, Jakarta, 2016)
 
Berguru dengan Tjokroaminoto
 
Tjokroaminoto memang membuka pintu rumahnya untuk orang-orang muda yang tertarik pada pemikiran politiknya. Di rumah Tjokro pernah belajar Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo.
 
Karto pindah ke Surabaya pada 1923, setelah lulus dari Europeesche Lagere School, sekolah dasar Eropa khusus untuk kalangan Eropa dan yang berdarah Indo Eropa, dengan pengecualian pribumi berstatus sosial tinggi.
 
Anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan elite ini diharapkan bisa menjadi tenaga pembantu jika disekolahkan ke lembaga pendidikan dokter, sekolah ahli hokum atau sekolah pamong praja. Ayah Kartosoewirjo menginginkan anaknya yang saat itu berusia 18 tahun ini menjadi dokter.
 
Dari Europeesche Lagere School di Bojonegoro, ia dikirim ke Nedelandsch Indische Arstsen School atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya. Namun lulusan sekolah tingkat dasar sepertinya baru bisa mengikuti pelajaran kedokteran setelah lulus kelas persiapan selama tiga tahun.
 
Saat mengikuti kelas persiapan itulah Kartosoewirjo mulai aktif di politik. Mula-mula ia bergabung ke Jong Java. Organisasi ini pecah karena anggotanya yang lebih radikal memilih mendirikan gerakan yang tak terlalu mengagungkan tradisi Jawad an pemikiran Barat. Mereka mendirikan Jong Islamieten Bond, yang lebih menyuarakan aspirasi Islam. 
 
Kartosoewirjo pun memilih hijrah ke organisasi baru ini. Selain berguru kepada Tjokro, Karto juga membaca buku-buku kiri. Buku itu ia peroleh dari pamannya, mas Marco Kartodikromo. Marco pernah aktif di Sarekat Islam, tapi belakangan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia.
 
Buku-buku Marco lah yang membuat pemerintah Hindia Belanda mencoret nama Kartosoewirjo dari Sekolah Dokter. Ia didepak pada 1927 lantaran kedapatan memiliki bacaan komunis dan antikolonial. Akibat putus sekolah, hubungan Karto dan Tjokro menjadi lebih akrab.
 
Karto sering mendengarkan ceramah-ceramah Tjokroaminoto. Saat Sarekat Islam menggelar rapat akbar di Surabaya, karto ikut serta. Bubar rapat, anggota Sarekat Islam pergi shalat. Seusai shalat, Karto mendekati Tjokro untuk menyatakan ingin menjadi murid. Ia diterima.
 
Kartosoewirjo kemudian mondok di rumah Tjokroaminoto. Sebagai ganti ongkos pemondokan, Karto diminta bekerja di surat kabar Fadjar Asia. Karto juga sempat menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. Karto kepada gurunya belajar Islam dan Politik.
 
Tjokro menggembleng muridnya agar banyak menulis di koran dengan tema anticolonial. Awalnya Kartosoewirjo cuma korektor. Lalu pelan-pelan dia naik pangkat menjadi redaktur dan akhirnya menjadi pemimpin redaksi.
 
Tak hanya menulis, Karto juga bergabung dengan Sarekat Islam, organisasi yang dibentuk Tjokroaminoto.
 
Pada 1929, nyantri ilmu politik dan Islam di rumah Tjokroaminoto rampung. Karto ditunjuk menjadi wakil Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) di Jawa Barat. Ia hijrah dari Surabaya ke Malangbong, Garut. Kota di Jawa Barat itu akhirnya menjadi basis Kartosoewirjo dalam memimpin Darul Islam.
 
Setelah aktif di PSII, Kartosoewirjo kemudian aktif di Masyumi (1945). Saat itu ia menjabat sebagai Sekretaris Pertama. Selain itu, Karto juga diberi tugas mendirikan pusat Masyumi di daerah Priangan.
 
Pada Juni 1946, Masyumi daerah Priangan mengadakan konferensi pemilihan pengurus baru di Garut. Kartosoewirjo menunjuk Kiai Haji Mochtar sebagai Ketua Umum dan ia sendiri sebagai wakilnya. Tahun 1948 kecewa dengan perjanjian Renville akhirnya Kartosoewirjo mengadakan gerilya di Jawa Barat. 
 
Hingga pada tahun 1949, ia memproklamasikan Darul Islam. Disitulah Presiden Soekarno dan tentara pendukungnya tidak terima dan memerintahkan TNI untuk menggempur Darul Islam. Selama 13 tahun terjadi peperangan antara TNI dan tentara Darul Islam.
 
Hingga akhirnya, 4 Juni 1962, Kartosoewirjo ditangkap di sebuah hutan yang tidak lebat di Jawa Tengah. Tiga bulan kemudian, tepatnya 5 September 1962 ia dihukum mati. Dalam persidangan, ia divonis melakukan makar dan berencana membunuh presiden.
 
Hukuman mati yang dilaksanakan militer kepada Kartosoewirjo juga penuh rahasia. Kuburannya bertahun-tahun menjadi misteri dan diduga dikuburkan di Pulau Onrust. 
 
Hingga Fadli Zon pada 2012, akhirnya mendapatkan dokumen dan foto-foto cukup lengkap tentang pelaksanaan hukuman mati Kartosoewirjo. Murid Tjokroaminoto ini ternyata dikuburkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, bukan pulau Onrust.
 
Kartosoewirjo bukan orang sembarangan, Presiden Soekarno dalam wawancaranya dengan Cindy Adams menyatakan,” “Di tahun 1918 ia adalah seorang sahabatku yang baik. Kami bekerja bahu membahu bersama Pak Tjokro demi kejayaan Tanah Air. Di tahun 20-an di Bandung kami tinggal bersama, makan bersama dan bermimpi bersama-sama. Tetapi ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, dia berjuang semata-mata menurut asas agama Islam.” **
Editor :
Sumber : Nuim Hidayat
- Dilihat 3411 Kali
Berita Terkait

0 Comments